Kekerasan Terhadap Dokter dan Tenaga Kesehatan. Kok, Makin Sering, yah?
Kekerasan terhadap Dokter dan Tenaga Kesehatan, akhir-akhir ini makin sering kita temui. Bahkan, jika melihat data dari tahun-tahun sebelumnya, terjadi peningkatan dan tak cuma terjadi di Indonesia, tapi juga secara global.
Menurut US Bureau of Labor Statistics (Biro Statistik Tenaga Kerja AS), petugas layanan kesehatan menyumbang hampir tiga perempat (73%) dari semua cedera dan penyakit non fatal di tempat kerja akibat kekerasan sejak 2018—lima kali lipat dari pekerja di industri lain.
Dalam jajak pendapat yang dilakukan pada tahun 2022 oleh American College of Emergency Physicians (ACEP) dan Marketing General Incorporated, menemukan peningkatan 24% dalam serangan gawat darurat yang disaksikan dalam rentang 4 tahun (79% pada tahun 2022 dibandingkan dengan 55% pada tahun 2018), dengan sekitar 85% dokter melaporkan hilangnya produktivitas, peningkatan kecemasan, dan trauma emosional karena kekerasan.
Yang terbaru, MDLinx melakukan survey dan menemukan Hampir semua responden (96,1%) melaporkan mengalami beberapa bentuk hinaan atau pelecehan verbal, dan lebih dari separuh responden mengatakan bahwa mereka harus menghadapi diskriminasi atau pelecehan seksual.
Sumber: MDLinx
Di Indonesia, selain dari apa yang kita saksikan akhir-akhir ini melalui media sosial, beberapa data dari penelitian telah mencatat tingkat kekerasan terhadap dokter dan tenaga kesehatan. Beberapa di antaranya:
-
50% (Persen) perawat pernah mengalami kejadian kekerasan di tempat kerja, dimana kekerasan verbal merupakan tindakan yang paling umum terjadi (Gacki, 2009; Esmaeilpour et al., 2011).
-
Park (2014) dalam penelitiannya menyajikan data prevalensi Workplace Violence (WPV) di layanan kesehatan selama 1 tahun, dengan kejadian tertinggi pada kekerasan verbal (63,8%), lalu ancaman (41,6%), kekerasan fisik (22,3%), dan pelecehan seksual (19,7%). Selain itu, tindakan bullying adalah kejadian WPV yang memiliki prevalensi terendah (9,7%).
Apa yang menyebabkan kekerasan terhadap dokter dan Tenaga Kesehatan terus terjadi dan mengalami peningkatan?
Waktu tunggu yang lama, kurangnya sumber daya perawatan kesehatan, tuntutan pasien yang tinggi, mungkin akan menjadi jawaban yang pertama kali muncul. Namun, itu belum sepenuhnya.
Pasien masuk rumah sakit/klinik dengan masalah sosial, ekonomi, atau persoalan lain yang dimiliki masing-masing yang diperparah oleh kondisi kesehatan yang sedang buruk. Kombinasi dari pemicu stres luar, rasa sakit, ketakutan, dan kondisi medis atau psikiatris yang tidak terdiagnosis menciptakan perpaduan perasaan kompleks yang mungkin sulit dinavigasi. Belum lagi, jika kompleksitas persoalan tersebut bertemu dengan fasilitas dan sistem keperawatan yang bagi pasien sulit untuk mereka terima.
Di sisi lain, regulasi yang mengatur perlindungan hukum bagi dokter dan nakes dalam pelayanan kesehatan masih sangat minim. Perlindungan hukum kepada tenaga kesehatan hingga dokter telah diatur dalam Pasal 50 Huruf (a) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, namun ini hanya terkait hak dalam memberikan pelayanan kesehatan bukan perlindungan dari tindak kekerasan.
Bandingkan dengan Australia yang memberlakukan ancaman pidana 14 tahun apabila melakukan tindakan kekerasan terhadap perawat, dokter, dan petugas ambulance. Di India, ada ancaman penjara 2-7 tahun apabila melakukan tindakan kekerasan terhadap tenaga kesehatan.
Hambatan lain dalam mengatasi masalah kekerasan di tempat kerja pada sektor kesehatan terjadi adalah insiden kekerasan sering tidak dilaporkan kepada penegak hukum, maupun manajemen yang lebih tinggi. Selain itu, tidak adanya kebijakan pelaporan dari lembaga/institusi, persepsi bahwa insiden yang terjadi adalah bagian dari tugas dan pekerjaan.
Ditambah adanya keyakinan bahwa pelaporan justru tidak menguntungkan bagi pihak tenaga kesehatan, dan kekhawatiran bahwa kekerasan yang didapat justru menjadi bukti kinerja mereka yang buruk (Zahra & Feng, 2018).
Efek kekerasan pada dokter dan tenaga kesehatan
Kekerasan di tempat kerja tentu saja sangat berpengaruh terhadap status kesehatan dokter dan nakes. Itu dapat mengganggu mereka secara psikologi, meningkatkan stres, dan menurunkan kualitas tidur (Zhang et al., 2018).
Survei MDLinx terhadap responden yang mengalami kekerasan di tempat kerja melaporkan berbagai efek negatif setelahnya. Lebih dari separuh menderita trauma emosional atau psikologis, sementara yang lain melaporkan kesulitan dalam kinerja pekerjaan dan perawatan pasien, tantangan hubungan, dampak karir, masalah hukum atau keuangan, dan cedera fisik.
Untungnya, sebagian besar responden survei mencatat bahwa mereka mengambil langkah positif untuk mengatasinya, termasuk mendiskusikan perasaan mereka dengan keluarga dan teman, berfokus pada kesehatan dan hobi, mengambil cuti kerja, dan mencari terapi.
Pengalaman-pengalaman yang mungkin bisa jadi panduan untuk dicoba ketika kita atau ada Teman Sejawat yang mengalami kekerasan.
Referensi:
- US Bureau of Labor Statistics. Fact sheet: Workplace violence in healthcare, 2018. April 2020.
- Unsafe haven: The rise of violence against physicians in the workplace, MDLinx, 2023
- Dadfar M, Lester D. Workplace violence (WPV) in healthcare systems. Nurs Open. 2021
- Zhang L, Wang A, Xie X, Zhou Y, Li J, Yang L, Zhang J. Workplace violence against nurses: A cross-sectional study. Int J Nurs Stud. 2017
Log in untuk komentar