sejawat indonesia

Keracunan Pestisida, Pahami Pengelolaannya dalam Emergency

Kejadian keracunan pestisida di Indonesia masih cukup banyak terjadi, mengingat Indonesia merupakan negara agraris dan mata pencaharian sebagian besar penduduknya adalah petani. Minimnya pemahaman dalam pengelolaan keracunan pestisida dapat meningkatkan pengembangan morbiditas yang fatal.

Menurut US Environmental Protection Agency, pestisida adalah setiap zat atau campuran zat yang dimaksudkan untuk mencegah, menghancurkan, mengusir, atau mengurangi hama,  pengatur tanaman, defoliant, atau pengering dan penstabil segala jenis nitrogen.

Pestisida kimia hampir menjadi sarana tunggal pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang paling banyak digunakan oleh petani di Indonesia (95,29%) karena efektif, mudah digunakan dan secara ekonomi lebih menguntungkan.

Kejadian keracunan yang melibatkan pestisida menyumbang sekitar 4 persen dari semua keracunan dan mengakibatkan sekitar 15 kematian per tahun (0,02%) dari semua kejadian keracunan pestisida yang dilaporkan. Untuk itu, penting memahami cara pengelolaan keracunan pestisida dalam layanan kedaruratan (emergency). 

Pelabelan Toksisitas Zat Kimia

Tingkat bahaya akut dari produk kimia ditandai dengan pelabelan. Produk berlabel "beracun" memiliki toksisitas sedang. Produk berlabel "sangat beracun" memiliki toksisitas tinggi. Produk berlabel "hati-hati" memiliki sedikit toksisitas.


Efek Toksisitas Pestisida

Bahan kimia dapat melukai hingga membunuh seseorang dengan mengganggu fungsi biokimia dan fisiologisnya. Pestisida dapat masuk ke dalam tubuh melalui kulit, oral, okuler, dan saluran respirasi.

Penyerapan kulit adalah cara yang paling mungkin pestisida akan masuk ke dalam tubuh. Bahaya penyerapan kulit paling besar ketika kondisi panas dan lembab, dan kulit basah oleh keringat. Sifat dan tingkat cedera tergantung pada toksisitas bahan kimia dan dosis yang masuk ke dalam tubuh.

Toksisitas suatu senyawa dipengaruhi oleh dosis dan frekuensi paparan. Zat yang memiliki derajat toksisitas tinggi dapat menimbulkan gejala keracunan yang parah hanya dengan dosis kecil. Sedangkan zat dengan derajat toksisitas rendah umumnya membutuhkan dosis besar untuk menghasilkan gejala ringan. 

Toksisitas pestisida dapat terjadi baik secara akut maupun kronis. Toksisitas akut terjadi ketika kemampuan suatu zat untuk menimbulkan efek berbahaya yang berkembang dengan cepat setelah terpapar, yaitu beberapa jam atau sehari.

Sedangkan toksisitas kronis dihasilkan dari paparan jangka panjang atau berulang-ulang dalam waktu yang lama. Jenis keracunan ini berbahaya karena tingkat racun menumpuk secara perlahan dan hanya terdeteksi ketika kadarnya cukup tinggi dan menimbulkan gejala. 

Patofisiologi Keracunan Pestisida

Keracunan pestisida adalah penyebab paling umum dari senyawa organofosfat (organophosphorous compound; OPC) dan keracunan karbamat, karena sebagian besar pestisida masih mengandung OPC dan karbamat.

OPC dan karbamat berikatan dengan situs aktif asetilkolinesterase (AChE) dan menghambat fungsi enzim ini melalui penghambatan sterik. Tujuan utama AChE adalah untuk menghidrolisis asetilkolin (Ach) menjadi kolin dan asam asetat.

Oleh karena itu, penghambatan AChE menyebabkan kelebihan Ach di sinaps dan sambungan neuromuskular, menghasilkan gejala dan tanda muskarinik dan nikotinik. Kelebihan Ach di sinaps dapat menyebabkan 3 kondisi gejala dan tanda, yaitu:

  1. Akumulasi Ach pada reseptor asetilkolin muskarinik parasimpatis postganglionik menyebabkan aktivitas parasimpatis otot polos di berbagai organ vital dan peningkatan aktivitas pada reseptor simpatis postganglionik kelenjar keringat yang menghasilkan gejala dan tanda "SLUDGE/BBB" yaitu Salivation, Lacrimation, Urination, Defecation, GI symptoms, Emesis/Bronchorrhea, Bronchospasm, Bradycardia.
  2. Ach yang berlebihan pada reseptor asetilkolin nikotinat pada sinaps simpatis preganglionik dan pada pelat ujung motorik dapat menyebabkan miosis, takikardia, kelemahan, hipertensi, dan fasikulasi.
  3. Saat organofosfat melewati sawar darah otak, zat tersebut dapat menyebabkan kejang, depresi pernapasan, dan depresi SSP.

Pengelolaan Keracunan Pestisida

Mengidentifikasi jenis bahan kimia penting dalam menentukan perjalanan klinis dan prognosis pasien. Memperoleh label atau nama bahan kimia yang terpapar pada pasien akan sangat membantu dalam pengelolaan kasus, karena pestisida dengan senyawa organofosfat yang berbeda memiliki waktu penuaan dan reaktivasi yang berbeda. 

Pada layanan emergency, prinsip pengelolaan keracunan pestisida meliputi

1. Airway, Breathing, and Circulation (ABC)

Melakukan pemeriksaan jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi pasien dan menempatkan pasien pada posisi lateral kiri dengan kepala lebih rendah dari kaki, untuk mengurangi risiko aspirasi isi lambung. Berikan oksigenasi dengan aliran tinggi dan bila perlu intubasi dalam kasus keracunan parah.  Buat akses intravena untuk cairan dan pemberian obat-obatan.

2. Dekontaminasi

Pentingnya dekontaminasi tergantung pada rute keracunan. Pasien dengan keracunan melalui kulit dan inhalasi harus didekontaminasi sebelum dibawa ke unit emergency. Pakaian pasien harus dilepas dan dipisahkan, dan tubuh pasien dicuci dengan air dan sabun.

Untuk paparan agen nervus dan pada permukaan yang kotor, larutan 0,5% natrium hipoklorit dengan pengenceran 1:10, dinilai lebih efektif daripada sabun dan air karena inaktivasi agen melalui klorinasi oksidatif. Dekontaminasi tidak boleh ditunda. Untuk paparan dengan rute saluran pencernaan, dekontaminasi dapat dilakukan dengan pemberian arang aktif secara oral.

3. Atropin

Adalah antagonis muskarinik murni yang bersaing dengan Ach pada reseptor muskarinik. Atropin diberikan dalam bolus intravena (IV) dengan rekomendasi dosis 2-5 mg untuk dewasa dan 0,05 mg/kg untuk anak-anak, dengan dosis minimal 0,1 mg untuk mencegah refleks bradikardia.

Pemberian atropin dapat diulang setiap 5-10 menit jika tidak ada respon. Pada pemberian atropin, perlu disertai infus salin normal 0,9% untuk menjaga tekanan darah sistolik >80 mmHg dan keluaran urin >0,5 ml/kg/jam.

Monitor denyut nadi, tekanan darah, ukuran pupil, keringat, dan temuan auskultasi pada saat pemberian atropin dosis pertama setiap 5 menit. Target pemberian bolus atropin sampai denyut jantung >80/menit, tekanan darah sistolik >80 mmHg, dan respirasi aman. Atropin tidak efektif dalam mengobati toksisitas neuromuskular; kelemahan otot pernapasan, yang memerlukan terapi antidotum oksim. 

4. Oksim

Efek terapeutik utama pralidoksim sebagai antidotum adalah pemulihan transmisi neuromuskular pada sinaps nikotinik. Pralidoksim klorida 2 g (atau obidoksim 250 mg) diberikan secara intravena selama 20-30 menit diikuti dengan infus pralidoksim 0,5-1 g/jam (atau obidoxime 30 mg/jam) dalam salin normal 0,9%.

5. Terapi tambahan

Kejang adalah komplikasi keracunan OPC dalam kadus toksisitas parah. Seperti kejang pada umumnya, benzodiazepin adalah terapi lini pertama. Kejang refrakter benzodiazepin dapat diobati dengan fenobarbital. 

Selain itu, pemahaman terkait riwayat pasien, antidotum dan akses rujukan diperlukan untuk menghindari kegagalan pengelolaan awal.


Penulis : dr. Pamela Sandhya De Jaka

Referensi :

  • Deutsche Welle. Angka Keracunan Diprediksi Meningkat Akibat pestisida [Internet]. Lingkungan. 2022.  Diakses melalui https://www.dw.com/id/angka-keracunan-diprediksi-meningkat-akibat-pestisida/a-60421165.
  • EPA. What is a Pesticide. Environmental Protection Agency. 2022. Diakses melalui https://www.epa.gov/minimum-risk-pesticides/what-pesticide.
  • Mutia V, Oktarlina RZ. Keracunan pestisida kronik pada petani. JIMKI. 2019; 7(2).
  • Wisnujatia NS, Sangadji SS. Pengelolaan Penggunaan Pestisida Dalam Mendukung Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia. SEPA: Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis. 2021;18(1):92. 
  • William M, Simpson J, Schuman SH. Recognition and management of acute pesticide poisoning. American Family Physician.2002. Diakses melalui https://www.aafp.org/pubs/afp/issues/2002/0415/p1599.html#references. 
  • Sánchez-Santed F, Colomina MT, Herrero Hernández E. Organophosphate pesticide exposure and neurodegeneration. Cortex. 2016.
  • James L, Browne B. Preventing and treating pesticide poisoning. NSW Department of Primary Industries. 2016.
  • Eddleston M, Buckley NA, Eyer P, Dawson AH. Management of acute organophosphorus pesticide poisoning. The Lancet. 2008;371(9612):597–607.
  • Daniel KN. Organic phosphorous compound and carbamate toxicity medication: GI decontaminant, antidotes, benzodiazepine. Medscape. 2022. Diakses melalui https://emedicine.medscape.com/article/816221-medication#1. 
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaKegawatdaruratan Dermatologis: Bagaimana Cara Mengenali dan Menanganinya?

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar