sejawat indonesia

Mengenal Henoch Schonlein Purpura pada Anak

Henoch Schonlein Purpura (HSP) merupakan kumpulan gejala (sindrom) klinis yang disebabkan vaskulitis yang melibatkan pembuluh darah kecil pada persendian, ginjal, saluran pencernaan, dan kulit.

Henoch Schonlein Purpura dimediasi imunoglobulin A (IgA) akut yang biasanya dapat sembuh sendiri dan hanya memerlukan perawatan suportif meskipun komplikasi serius, seperti gagal ginjal, tidak bisa dihindari kemungkinannya untuk dapat terjadi.

HSP ini tergolong kelainan yang langka terjadi namun umumnya mengenai anak-anak usia <10 tahun.

Secara global, data epidemiologi menyatakan bahwa HSP telah mempengaruhi 10 - 20 anak per 100.000 per tahun. Data dari IDAI menyatakan bahwa HSP lebih sering mengenai anak usia 2-15 tahun dengan puncak usia 4-7 tahun dan lebih banyak pada anak laki-laki dibanding perempuan dengan perbandingan 3:2.

Penamaan Henoch Schonlein Purpura terhadap sindrom klinis ini didasarkan dari dua nama dokter Jerman: dr. Johann Schonlein dan muridnya Eduard Henoch. Schonlein mengidentifikasi hubungan nyeri sendi dan purpura, sementara Henoch mengidentifikasi keterlibatannya terhadap organ gastrointestinal dan ginjal. Sementara seorang dokter Inggris bernama William Heberden dinobatkan sebagai orang pertama yang menggambarkan sindrom tersebut pada awal tahun 1800-an.

Etiologi

Riwayat infeksi saluran pernapasan atas, infeksi gastrointestinal dan infeksi faring adalah tiga penyebab yang paling umum dilaporkan. HSP diduga berkaitan erat dengan infeksi Grup A Streptococcus yang mana telah ditemukan dalam kultur lebih dari 30% pasien dengan nefritis Henoch-Schonlein. Adapun, Coxsackievirus, hepatitis A, hepatitis B, Mycoplasma, parvovirus B19, Campylobacter, Varicella , dan adenovirus juga diketahui menjadi pendahulu kejadian Henoch Schonlein Purpura.

Patogenesis

IgA diperkirakan memainkan peran penting dalam perjalanan HSP. Kompleks imun IgA-antibodi yang disebabkan oleh paparan antigenik dari infeksi atau deposit obat di pembuluh kecil kulit, sendi, gastrointestinal, dan ginjal yang menyebabkan masuknya mediator inflamasi seperti prostaglandin.

Limfosit reseptor C3 komplemen dapat berikatan dengan kompleks imun dan mengendap di dinding pembuluh yang berkontribusi terhadap respons hiperinflamasi. Terdapat beberapa hipotesis mengenai mekanisme patogenik terkait HSP.

Hipotesis pertama adalah adanya mimikri molekuler yaitu kemiripan sekuens antara peptida asing dan diri sendiri cukup memadai menyebabkan aktivasi silang sel T atau B yang autoreaktif oleh peptida turunan patogen, contohnya mikroba dan pembuluh darah kecil host memiliki epitop yang sama. Bersamaan dengan invasi patogen tersebut, respons imunitas seluler dan humoral akan teraktivasi dan terjadi reaksi silang dengan pembuluh darah.

Hipotesis kedua adalah patogen dapat menyebabkan proses inflamasi yang berakibat pada kerusakan sel dan jaringan yang akan membentuk autoantigen.

Hipotesis ketiga adalah kehadiran mikroba yang bersifat sangat invasif yang secara langsung berinteraksi dengan protein pembuluh darah, maka akan terbentuk suatu antigen yang baru (neo-antigen) yang kemudian akan mengaktivasi suatu reaksi imun.

Keempat yaitu hipotesis superantigen, dimana pada beberapa bakteri seperti Streptococcus dan virus dapat menjadi suatu superantigen. Tanpa adanya suatu proses dan presentasi sel penyaji antigen, superantigen akan langsung berinteraksi dan mengaktifkan sel-T.

Diagnosis

Gambaran klasik Henoch Schonlein Purpura meliputi purpura yang dapat diraba (palpable purpura) disertai keluhan yang berkaitan dengan gastrointestinal, arthralgia, maupun ginjal seperti ruam, nyeri sendi, nyeri perut, muntah, edema subkutan, pendarahan dubur, edema skrotum, nyeri kepala, demam, diare, hematemesis dan kelelahan.

Dari pemeriksaan fisik akan didapati beberapa hal berikut:

  1.  Kulit. Keterlibatan kulit muncul pada semua anak dengan HSP dengan klinis yang paling umum berupa petekie dan purpura yang dapat diraba yang menyebar secara simetris di atas permukaan ekstensor tungkai bawah, lengan bawah dan bokong. Lesi tersebut dapat berpotensi menjadi bulosa atau nekrotik. Lesi berubah dari merah menjadi ungu dan kemudian menjadi berwarna karat sebelum memudar. Perubahan ini terjadi selama kurang lebih sepuluh hari.
  2. Gastrointestinal. Temuan gastrointestinal bisa didapatkan sebelum timbul ruam pada 10-40% kasus. Pasien dapat mengalami mual dan muntah yang memburuk setelah makan. Komplikasi HSP yang berpotensi mengancam jiwa terkait gastrointestinal yaitu intususepsi, perforasi usus, gangren usus, dan perdarahan masif. 
  3. Ginjal. Gejala ginjal biasanya terjadi dalam 1 - 3 bulan setelah ruam pada hingga 55% anak dengan HSP dengan hematuria, proteinuria, sindrom nefrotik, sindrom nefritik, dan gagal ginjal. Proteinuria berat dapat muncul sebagai sindrom nefrotik, dan pasien dengan proteinuria persisten berisiko tinggi mengalami glomerulonefritis progresif. Pasien juga dapat mengalami obstruksi ureter.
  4. Sendi. Sekitar 15% pasien dengan HSP datang dengan arthralgia atau arthritis sebagai gejala awal. Temuan didapatkan dengan bengkak pada sendi di area lutut, pergelangan kaki, tangan, dan kaki. 

Diagnosis HSP kemudian ditegakkan berdasarkan adanya petekie (tanpa trombositopenia) atau palpable purpura yang dominan mengenai tungkai bawah ditambah setidaknya satu dari empat karakteristik yaitu:

  1. Nyeri perut
  2. Arthralgia atau radang sendi
  3. Keterlibatan ginjal (proteinuria, gips sel darah merah, atau hematuria),
  4. Glomerulonefritis proliferatif atau vaskulitis leukositoklastik dengan deposisi dominan IgA pada histologi.

Pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan adalah urinalisis untuk mengidentifikasi hematuria, proteinuria, atau gips sel darah merah. Jika dipstick urin positif untuk protein, urin tampung selama 24 jam harus diperoleh untuk mengukur ekskresi protein.

Manajemen

Pada sebagian besar kasus HSP dapat sembuh tanpa pengobatan. Pada keadaan ringan, diberikan tatalaksana suportif berupa pemberian hidrasi, nutrisi, dan pemberian obat simptomatik. Perawatan suportif dan simtomatik dapat meliputi:

  1. Rehidrasi dengan cairan intravena (IV)
  2. Manajemen nyeri
  3. Perawatan luka untuk lesi kulit ulseratif 

Paracetamol dan obat antiinflamasi non steroid dapat digunakan untuk nyeri sendi dan demam; namun, obat antiinflamasi nonsteroid harus dihindari jika ada keterlibatan gastrointestinal atau ginjal.

Pemberian prednison oral dini berguna untuk pengelolaan manifestasi ginjal, sendi, dan gastrointestinal. Prednison tidak mencegah penyakit ginjal; namun, ini mengurangi risiko berkembangnya penyakit ginjal yang persisten pada anak-anak. Beberapa penelitian menyatakan prednison mengurangi durasi dan keparahan nyeri perut selama dua minggu pertama pengobatan.

Sebagian besar pasien dengan HSP mendapatkan kondisi pulih sepenuhnya dalam empat minggu. Kekambuhan dapat timbul pada 25% hingga 50% kasus dalam jangka waktu minimal 6 minggu hingga 6 bulan bahkan juga bertahun-tahun setelah gejala awal timbul.

Morbiditas jangka panjang dari HSP tergantung pada sejauh mana keterlibatan ginjal. Sekitar 1% pasien dengan HSP dapat berkembang menjadi penyakit ginjal stadium akhir dan membutuhkan transplantasi ginjal.

Referensi:

  • Roache-Robinson P, Hotwagner DT. Henoch Schonlein Purpura. In: StatPearls. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022.
  • Dwiputra EC, Noor LIK. Henoch Schonlein Purpura pada Anak Laki-Laki 3 Tahun dengan Akut Abdomen. Majority. 2020. Vol. 9(2):11-15.
  • Matondang CS, Roma J. Purpura Henoch Schonlein. Editor: Akib AAP, Munazir Z, Kurniati N. Buku Ajar Alergi imunologi Anak Edisi kedua. IDAI; Jakarta 2010;373-7.
  • Oni L, Sampath S. Childhood iga vasculitis (Henoch Schonlein purpura)—advances and knowledge gaps. Frontiers in Pediatrics. 2019;7. doi: 10.3389/fped.2019.00257
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaApa yang Terjadi jika Bipolar Tidak Diobati?

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar