sejawat indonesia

Menilai Penggunaan Antikoagulan pada Penyakit Autoimun

Antikoagulan bekerja di tempat kaskade koagulasi yang berbeda-beda, berfungsi untuk mencegah pembekuan darah. Beberapa jenis obat ini bekerja dengan menghambat enzim koagulasi, obat yang lain bekerja secara tidak langsung berlekatan dengan antitrombin atau dengan mencegah pembentukannya di hati. 

Beberapa antikoagulan yang tersedia adalah: 

  • Unfractional Heparin (UHF): Heparin yang berikatan dengan antitrombin 3 dan menginaktivasi beberapa faktor pembekuan. Onset aksi obat ini cepat, waktu paruh yang pendek, dan dapat dipantau melalui pemeriksaan APTT (Activated Partial Thromboplastin Time), waktu pembekuan aktif, dan faktor anti Xa.
  • Low Molecular Weight Heparin (LMWH): Obat yang termasuk LMWH yaitu enoxaparin, dalteparin, tinzaparin, nadroparin yang memiliki durasi kerja lebih lama dengan waktu paruh yang panjang.
  • Antagonis dependen vitamin K: yang banyak tersedia yaitu warfarin. Obat ini bekerja dengan menghambat kerja vitamin K epoxide reductase (VKOR) sehingga menghambat kerja faktor 2, 7, 9, 10, protein C dan protein S yang bergantung kepada vitamin K.
  • Direct Thrombin Inhibitor: Bivalirudin, argatroban, dan dabigatran merupakan Direct Thrombin Inhibitor yang mencegah pecahnya fibrinogen menjadi fibrin oleh kerja trombin.
  • Direct Factor Xa Inhibitor: Yang termasuk golongan ini adalah rivaroxaban, apixaban, edoxaban, betrixaban. Mekanisme kerja obat ini adalah dengan menghambat pecahnya protrombin menjadi trombin dengan berikatan langsung dengan faktor Xa.

Beberapa indikasi penggunaan antikoagulan di antaranya adalah infark miokard akut, trombus pada ventrikel kiri, fibrilasi atrium, aneurisma ventrikel kiri, penggunaan katup jantung prostetik, tatalaksana dan profilaksis tromboemboli vena contoh pada deep vein trombosis (DVT), emboli paru, dll. 


Baca Juga:


Beberapa penyakit autoimun dapat menyebabkan keadaan trombosis. Penyakit autoimun inflamasi seperti SLE (systemic lupus erythematosus), APS (antiphospholipid syndrome), Bechet disease, dan IBD (inflammatory bowel disease) merupakan beberapa keadaan autoimun yang sering disertai dengan kejadian trombotik (tabel 1). 

Terdapat beberapa mekanisme yang menyebabkan keadaan trombotik, di antaranya adalah produksi autoantibodi yang berikatan dengan faktor koagulasi dan trombosit, disfungsi endotel, inhibisi produksi prostasiklin dan terganggunya kerja faktor V. 

Penggunaan antikoagulan harus dihindari pada pasien-pasien dengan keadaan seperti perdarahan aktif, koagulopati, setelah operasi mayor, perdarahan intrakranial akut, dan trauma mayor. Sedangkan yang termasuk kontraindikasi relatif dari antikoagulan seperti adanya perdarahan gastrointestinal setelah operasi ringan, atau pada kasus diseksi aorta dan aneurisma.


PenyakitInsiden Trombosis (%)
Antiphospholipid Syndrome (APS)
20
Systemic Lupus Erythematosus (SLE)22
Behcet's Disease16
Inflammatory Bowel Disease (IBD)8-39
Antiphospholipid Syndrome (APS) merupakan salah satu keadaan autoimun tersering yang menyebabkan gangguan trombosis. APS ditandai dengan adanya trombosis arteri atau vena, keguguran berulang atau trombositopenia yang disertai dengan adanya antibodi antifosfolipid. 

Trombosis menjadi manifestasi utama dari keadaan ini dengan tromboemboli vena yang menjadi manifestasi paling sering. Manifestasi lain yang biasa muncul yaitu trombosis renal, mikroangiopati, transient ischemic attack, stroke, infark miokard, penyakit katup jantung, gangguan kognitif, trombositopenia dan anemia hemolitik. 

Diagnosis APS membutuhkan setidaknya episode klinis trombosis vaskular atau morbiditas kehamilan ditambah dengan pemeriksaan laboratorium antibodi positif. Tes antibodi positif minimal didapatkan dua kali dengan interval 12 minggu. 

SLE sangat berkaitan dengan insiden APS, namun keadaan trombosis pada SLE dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk. Kurang lebih 50% pasien SLE memiliki antibodi antifosfolipid atau antikoagulan lupus. Walaupun begitu, tanpa adanya kedua antibodi ini, insiden trombosis masih dapat terjadi. 

Beberapa faktor predisposisi yang diketahui dapat meningkatkan risiko trombosis pada SLE yaitu etnisitas, durasi penyakit, aktivitas, adanya nefritis dan hipertensi. Trombosis, khususnya trombosis vena dan trombosis pulmonar merupakan salah satu komplikasi dari IBD. Keadaan trombosis yang terjadi pada IBD diduga akibat ketidakseimbangan fibrinolitik dan kerusakan endotel yang menyebabkan peningkatan aktivasi platelet dan neutrofil.

Antikoagulan yang biasa diberikan untuk trombosis pada penyakit autoimun adalah heparin, golongan LMWH, dan warfarin. Terdapat beberapa kekurangan dalam pemberian obat ini seperti perdarahan, refrakter terhadap pengobatan, terjadinya heparin-induced thrombocytopenia (HIT) yang dapat menyebabkan keadaan autoimun pasien menjadi lebih buruk. Prinsip dasar tatalaksana keadaan trombosis pada APS dan SLE adalah dengan pemberian farmakologi antikoagulasi. 

Tatalaksana trombosis pada SLE terdiri dari pemberian heparin yang diikuti oleh pemberian warfarin selama 6 bulan. Penatalaksanaan yang lebih lama mungkin dibutuhkan tergantung dari status pasien. Rekomendasi untuk tatalaksana pada APS dengan trombosis vena adalah dengan Pemberian inisial LMWH yang diikuti dengan pemberian antikoagulan vitamin K antagonis yaitu warfarin dengan target INR (International Normalized Ratio) 2.0-3.0. 

Untuk pasien dengan trombosis arteri dapat diterapi dengan warfarin (target INR 2.0-3.0) dengan atau tanpa disertai pemberian aspirin dosis rendah. Pasien yang mengalami retrombosis pada saat terapi warfarin harus diberikan dosis warfarin yang lebih tinggi atau diberikan LMWH (Low Molecular Weight Heparin). Pada LA maupun APS yang sering disertai dengan komplikasi obstetri, maka penatalaksanaan dengan menggunakan heparin lebih dipilih dibandingkan dengan warfarin.
 
Beberapa penelitian telah menemukan bahwa LMWH, heparin dosis rendah, dan fondaparinux dapat digunakan untuk mencegah terjadinya trombosis pada IBD. 

Golongan LMWH lebih dipilih dibandingkan warfarin sebagai profilaksis sekunder pada IBD karena lebih minim risiko perdarahan. Sedangkan, untuk pencegahan dan tatalaksana terkait trombosis arteri, aspirin lebih dipilih. Pemberian anti-trombotik pada IBD harus disertai dengan observasi yang ketat karena pasien IBD rentan untuk mengalami perdarahan akibat erosi saluran cerna. 

Baru-baru ini, beberapa antikoagulan golongan direct thrombin inhibitor seperti dabigatran, dan rivaroxaban telah disetujui di amerika serikat. Dabigatran digunakan dalam pencegahan stroke pada pasien atrial fibrilasi, dan rivaroxaban digunakan untuk pencegahan trombosis vena pasca operasi. Kedua obat tersebut juga memiliki potensi untuk digunakan pada keadaan autoimun dengan risiko trombosis yang tinggi. 

Dabigatran bekerja dengan cara menghambat bekuan darah bebas dan bekuan darah yang terikat dengan trombin, obat ini tidak berikatan dengan protein plasma sehingga lebih dapat diandalkan dalam tatalaksana trombosis pada kasus autoimun. 

Rivaroxaban, Selain menginhibisi faktor Xa secara langsung, juga sebagai anti trombin independen yang mampu menghambat bekuan bebas dan yang berikatan dengan FXa. 

Dabigatran, rivaroxaban, dan apixiban merupakan antitrombotik yang berguna untuk keadaan trombosis pada autoimun. Namun, diperlukan beberapa penelitian lebih lanjut untuk membandingkan efektivitas terapi ini dengan warfarin. 

Pelajari lebih jauh tentang Keamanan dan Efektivitas Antikoagulan di sini atau ikuti LIVE CME tentang penggunaan Antikoagulan, khusus pada perawatan penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) melalui tautan berikut: Terapi Antikoagulan pada Kasus Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


Referensi

Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaMusik di Ruang Operasi: Solusi atau Polusi?

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar