sejawat indonesia

Penanganan Asma Bronkial dalam Praktik Klinis

Kasus asma bronkial sangat sering dijumpai dalam praktik klinis sehari-hari. Pengurangan risiko dan kontrol gejala diharapkan akan dapat mengurangi beban pasien dan mengurangi risiko kematian terkait asma, eksaserbasi, kerusakan saluran napas, dan efek samping obat. Apakah penatalaksanaan yang kita berikan sudah tepat?

Asma bronkial atau yang saat ini lebih umum disebut asma saja, adalah salah satu jenis penyakit yang umum dialami oleh masyarakat Indonesia dan masih menjadi masalah serius pada cakupan global. Asma berpotensi serius yang membebani pasien, keluarga, dan masyarakat. Asma menyebabkan gejala pernapasan, keterbatasan aktivitas, dan flare-up (serangan) yang terkadang membutuhkan perawatan kesehatan yang mendesak dan bisa berakibat fatal.

Hingga akhir tahun 2020 lalu, jumlah penderita asma di Indonesia masih mencapai 4,5% dari total penduduk Indonesia yaitu sekitar 12 juta kasus. Asma bronkial atau asma adalah gangguan paru dengan inflamasi kronik yang ditandai dengan hiperreaktivitas bronkus dan berbagai derajat obstruksi saluran napas. Asma dapat didiagnosis berdasarkan riwayat klinis, pemeriksaan fisik, dan tes fungsi paru, termasuk pengujian reversibilitas dan pengukuran reaktivitas bronkus.

Pengendalian gejala penyakit secara efektif dan dapat bertahan dalam jangka panjang masih menjadi permasalahan utama dari penanganan asma bronkial. Faktor umum penyebab timbulnya masalah tersebut yaitu terkait keterbatasan sumber daya seperti kurangnya kesadaran pasien tentang penyakitnya, penggunaan bentuk terapi alternatif tanpa bukti kemanjuran atau bukti yang terbukti, dokter tidak menggunakan pedoman praktik langkah-bijaksana dalam pengelolaan pasien, dan ketidakmampuan untuk membeli inhaler/obat-obatan karena biaya.

Sedangkan, tujuan dari penanganan asma sendiri adalah menghilangkan gejala pasien saat ini dan pencegahan perkembangan penyakit lebih lanjut serta mengupayakan agar pasien dapat melakukan semua aktivitas rutinnya tanpa gangguan fungsional.

Faktor Risiko

Faktor-faktor yang dapat memicu atau memperburuk gejala asma termasuk virus infeksi, alergen di rumah atau tempat kerja (misalnya tungau debu rumah, serbuk sari, kecoa), asap tembakau, olahraga, dan stres. Faktor-faktor tersebut akan lebih mudah mempengaruhi ketika asma tidak terkontrol. Asma juga dapat diinduksi atau gejala dipicu oleh beberapa obat, seperti beta-blocker, dan pada beberapa pasien), dengan aspirin atau NSAID lainnya.

Penegakan Diagnosis

Asma menyebabkan gejala pernapasan seperti mengi, sesak napas, sesak dada dan batuk yang bervariasi dari waktu ke waktu termasuk frekuensi dan intensitasnya, namun pada umumnya gejala memberat di pagi dan malam hari. Gejala-gejala ini berhubungan dengan variabel aliran udara ekspirasi yang terbatas yang akan menunjukkan tanda kesulitan menghembuskan udara keluar dari paru-paru karena bronkokonstriksi (penyempitan saluran napas), penebalan dinding saluran napas, dan peningkatan lendir saluran napas. Pemeriksaan fisik pada penderita asma seringkali normal, tetapi yang paling sering ditemukan adalah mengi pada auskultasi, terutama pada ekspirasi paksa.

Berikut adalah diagram alur diagnostik asma pada praktik klinis sehari-hari:

Diagnosis asma harus dikonfirmasi dan didokumentasikan dalam rekam medis pasien. Konfirmasi diagnosis direkomendasikan sebelum memulai pengobatan kontroler karena diagnosis asma akan lebih sulit untuk dikonfirmasi setelah pengobatan asma dimulai. Obstruksi jalan napas diukur secara objektif dengan tes fungsi paru. Tes yang paling penting adalah spirometri, yang mengukur volume ekspirasi paksa dalam satu detik (expiratory volume in one second; FEV1), kapasitas vital paksa (the forced vital capacity; FVC), dan parameter Tiffeneau (the Tiffeneau parameters; FEV1/VC). Poin-poin yang harus diperhatikan dalam kriteria diagnostik asma yaitu:

  1. Setidaknya sekali selama proses diagnostik, ketika FEV1 rendah akan didapat rasio FEV1/FVC di bawah baseline normal.
  2. Dokumentasikan ahwa variasi fungsi paru ekspirasi lebih besar daripada orang sehat. Misalnya, variabilitas berlebih dicatat jika:
  1. FEV1 meningkat setelah menghirup bronkodilator >200 mL dan >12% dari nilai pra-bronkodilator (atau pada anak-anak, meningkat dari nilai pra-bronkodilator lebih dari 12% dari nilai prediksi). Hal ini disebut respons bronkodilator yang signifikan atau reversibilitas.
  2. Rata-rata variabilitas PEF (peak expiratory flow) harian adalah >10% (pada anak-anak >13%)
  3. FEV1 meningkat lebih dari 12% dan 200 mL dari baseline (pada anak-anak, >12% dari nilai prediksi) setelah 4 minggu pengobatan anti-inflamasi (di luar infeksi pernapasan).

Semakin besar variasinya, semakin jelas diagnosis asma dapat ditegakkan. Pengujian mungkin perlu diulang selama gejala masih ada, yaitu pada pagi hari, atau setelah mempertahankan obat bronkodilator (SABA selama >4 jam, ICS-LABA dua kali sehari selama >24 jam, dan ICS-LABA sekali sehari selama >36 jam).

Reversibilitas bronkodilator yang signifikan bisa saja tidak didapatkan selama eksaserbasi atau infeksi virus. Jika reversibilitas bronkodilator yang signifikan tidak ada saat pertama kali diuji, langkah selanjutnya tergantung pada urgensi klinis dan ketersediaan uji lainnya.

Penanganan

Tujuan jangka panjang dari manajemen asma adalah pengurangan risiko dan kontrol gejala. Diharapkan hal ini akan dapat mengurangi beban pasien dan mengurangi risiko kematian terkait asma, eksaserbasi, kerusakan saluran napas, dan efek samping obat. Berdasarkan GINA 2022, penanganan asma melibatkan siklus berkelanjutan untuk menilai, menyesuaikan, mengelola dan mengevaluasi pengobatan.

Penilaian pasien dengan asma tidak hanya mencakup kontrol gejala, tetapi juga faktor risiko individu pasien dan multimorbiditas yang dapat berkontribusi pada beban penyakit dan risiko hasil kesehatan yang buruk, atau untuk memprediksi respon pasien terhadap pengobatan. Pasien harus ditanya tentang tujuan dan preferensinya dalam pengobatan asma, sebagai bagian dari pengambilan keputusan tentang pilihan pengobatan asma.

GINA 2022 juga merekomendasikan bahwa setiap orang dewasa dan remaja dengan asma harus menerima obat pengontrol yang mengandung kortikosteroid inhalasi (ICS) untuk mengurangi risiko eksaserbasi serius, bahkan pasien dengan gejala yang jarang. Setiap pasien asma harus memiliki inhaler pereda untuk digunakan sesuai kebutuhan, baik ICS-formoterol dosis rendah atau SABA.

ICS-formoterol adalah inhaler yang disukai karena mengurangi risiko eksaserbasi parah dibandingkan dengan pengobatan pilihan di mana peredanya adalah SABA. Namun, ICS-formoterol tidak boleh digunakan sebagai inhaler oleh pasien yang menggunakan ICS-LABA pemeliharaan yang berbeda; untuk pasien ini, pereda yang tepat adalah SABA.

Untuk hasil terbaik, pengobatan yang mengandung ICS harus dimulai sesegera mungkin setelah penegakan diagnosis asma, dengan beberapa alasan yaitu:

  1. Pasien dengan asma ringan sekalipun dapat mengalami eksaserbasi parah
  2. ICS dosis rendah secara nyata mengurangi rawat inap asma dan kematian
  3. ICS dosis rendah sangat efektif dalam mencegah eksaserbasi parah, mengurangi gejala, meningkatkan fungsi paru-paru, dan mencegah bronkokonstriksi, bahkan pada pasien dengan asma ringan
  4. Pengobatan dini dengan ICS dosis rendah dikaitkan dengan fungsi paru yang lebih baik daripada jika gejala telah ada selama lebih dari 2-4 tahun
  5. Pasien yang tidak menggunakan ICS yang mengalami eksaserbasi berat memiliki fungsi paru-paru jangka panjang yang lebih rendah daripada mereka yang telah memulai ICS
  6. Pada asma akibat kerja, penghapusan dini dari paparan dan pengobatan dini meningkatkan kemungkinan pemulihan.

Berikut adalah panduan penanganan awal asma pada dewasa dan remaja:

Pada kasus eksaserbasi, mulai pengobatan dengan dosis SABA berulang 4-10 semprot (biasanya dengan pMDI dan spacer) dapat diulang setiap 20 menit dalam 1 jam, kortikosteroid oral (OCS) inisial dengan dosis 40-50 mg pada dewasa dan 1-2 mg/kgbb pada anak (maks. 40 mg), dan pemberian oksigen aliran terkontrol jika tersedia. Cek secara rutin respon dari gejala, saturasi, dan ukur fungsi paru setelah 1 jam. Bila diperlukan, lakukan titrasi oksigen untuk mempertahankan saturasi target 93-95% pada orang dewasa dan remaja serta 94-98% pada anak-anak 6-12 tahun.

Untuk eksaserbasi parah, rencanakan rujukan ke fasilitas perawatan akut lebih tinggi, tambahkan ipratropium bromide, dan pertimbangkan untuk memberikan SABA melalui nebulizer (dengan prosedur pengendalian infeksi). Di fasilitas perawatan akut, magnesium sulfat intravena dapat dipertimbangkan untuk respon yang tidak memadai terhadap pengobatan intensif awal. Melakukan rontgen dada atau gas darah, atau meresepkan antibiotik secara rutin tidak direkomendasikan untuk eksaserbasi asma.

Pada kasus asma yang telah terkontrol, pertimbangkan untuk menghentikan pengobatan (step down) setelah kontrol asma yang baik telah tercapai dan dapat dipertahankan selama 2-3 bulan. Peningkatan langkah pengobatan (step up) setidaknya selama 2-3 bulan jika gejala dan/atau eksaserbasi tetap ada meskipun 2-3 bulan pengobatan pengontrol juga dapat dipertimbangkan namun pastikan terlebih dahulu apakah teknik penggunaan inhaler sudah tepat, kepatuhan penggunaan sudah baik,

Faktor risiko yang dapat dimodifikasi sudah dikendalikan, dan komorbid sudah teratasi.

Faktor risiko yang dapat dimodifikasi meliputi:

  1. Menyarankan pasien untul berhenti merokok dengan menyediakan akses ke konseling dan sumber daya serta nasihati orang tua dan
  2. Pengasuh untuk merokok tidak di dekat/di ruangan yang digunakan anak-anak.
  3. Mendorong penderita asma untuk melakukan aktivitas fisik secara teratur untuk mengontrol asma dan fungsi paru-paru dan berikan saran tentang manajemen bronkokonstriksi akibat olahraga.
  4. Menyarankan pengendalian asma akibat kerja untuk mengidentifikasi dan menghapus sensitizer dari pekerjaannya sesegera mungkin.
  5. Mengidentifikasi penyakit pernapasan yang diperburuk oleh aspirin, dan sebelum meresepkan NSAID termasuk aspirin, selalu tanyakan tentang reaksi sebelumnya.

Sejauh ini alergen seringkali dikaitkan dengan risiko eksaserbasi asma. Meskipun begitu, menyarankan pasien untuk menghindari alergen tidak direkomendasikan sebagai strategi umum untuk asma berdasarkan GINA 2022.

Strategi ini dianggap rumit dan mahal, dan tidak ada metode yang divalidasi untuk mengidentifikasi alergen penyebab asma tersebut. Setelah itu yang terpenting, pemantauan pasien dengan cermat dan rutin selama pengobatan dan titrasi pengobatan sesuai respon jangan sampai terabaikan, minta pasien untuk melakukan kunjungan kontrol secara rutin.

Kontrol asma yang baik akan menunjukkan bahwa pasien tidak mengalami gejala yang mengganggu pada siang dan malam hari, hanya memerlukan sedikit atau bahkan tidak ada obat pereda nyeri, memiliki kehidupan yang produktif dan aktif secara fisik, memiliki fungsi paru normal atau mendekati normal, tidak mengalami serangan asma yang serius.

Penulis: dr. Pamela Sandhya De Jaka

Referensi:

 

 

 

 

Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaMembuka Praktik Klinik Mandiri, Apa Syarat yang Harus Dipenuhi?

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar