Penyakit Cacingan, Apakah Masih Ada?
Saat ini, cacingan menjadi terdengar sepele dan dianggap sudah tidak zamannya oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dikarenakan sudah jarang terjadi. Namun sebenarnya, cacingan ini masih ada dan tetap harus diwaspadai mengingat dampak jangka panjangnya yang cukup berbahaya bagi kualitas hidup seseorang.
Cacingan, secara medis disebut sebagai helminthiasis. Helminthiasis dapat terjadi pada manusia dan hewan ketika mereka berperan sebagai inang bagi cacing parasit.
Ada dua filum utama cacing yang dikenal sebagai nematoda dan platyhelminthes. Filum nematoda juga dikenal sebagai cacing gelang yang mencakup cacing yang ditularkan melalui tanah dan cacing filaria yang menyebabkan filariasis limfatik dan onchocerciasis. Sedangkan, filum platyhelminthes juga disebut cacing pipih, yang meliputi cacing schistosoma dan cacing pita seperti cacing pita babi yang menyebabkan sistiserkosis. Cacing pipih dikenal sebagai trematoda, dan cacing pita dikenal sebagai cestoda.
Beberapa soil-transmitted helminthiasis (STH) yang banyak di Indonesia diantaranya cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus).
Faktor Risiko
Cacing-cacing yang ditularkan melalui tanah tersebar luas di daerah tropis dan subtropis. Di seluruh dunia, diperkirakan lebih dari satu miliar orang terinfeksi infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah, di antaranya lebih dari 300 juta menderita morbiditas parah.
Untuk itu, infeksi STH sangat berkaitan erat satu sama lain dengan kebiasaan defekasi (buang air besar) sembarang (tidak di toilet), tidak mencuci tangan sebelum makan, kontak dengan tanah tanpa menggunakan alas kaki dan kebiasaan memakan tanah (geophagia). Selain itu, lingkungan yang lembab dan tidak bersih juga dapat menjadi tempat yang optimal untuk telur cacing berkembang.
Endemisitas helminthiasis juga dipengaruhi oleh jumlah telur yang dapat hidup sampai menjadi bentuk infektif dan masuk ke dalam host (inang). Semakin banyak telur ditemukan di sumber kontaminasi (seperti tanah dan sayuran), semakin tinggi pula endemisitas helminthiasis di suatu daerah.
Patofisiologi
Kebiasaan buang air besar sembarangan menyebabkan tanah terkontaminasi telur cacing dari feses anak yang sebelumnya sudah terinfeksi STH. Telur cacing akan bertahan pada tanah yang lembab dan hangat, kemudian berkembang menjadi telur infektif.
Telur cacing infektif yang ada di tanah dapat tertelan masuk ke dalam pencernaan manusia bila ada riwayat kontak dengan tanah yang terdapat telur cacing infektif dan tidak mencuci tangan sebelum makan atau dapat menembus kulit bila kontak dengan tanah tersebut tanpa alas kaki.
Selain keadaan tanah dan lingkungan yang sesuai, endemisitas juga dipengaruhi oleh jumlah telur yang dapat hidup sampai menjadi bentuk infektif dan masuk ke dalam hospes (inang). Semakin banyak telur ditemukan di sumber kontaminasi (tanah, debu, sayuran, dan lain-lain), semakin tinggi endemisitas di suatu daerah.
Perlu diketahui bahwa jalur penularan STH pada masing-masing spesies sebagai berikut:
• A. lumbricoides dan T. trichiura ditularkan melalui jalur fecal-oral. Ascaris dewasa adalah cacing berbentuk silinder panjang, dan larvanya dapat bermigrasi ke sirkulasi paru, tetapi T. trichiura tidak.
• A. duodenale dan N. americanus ditularkan melalui penetrasi kulit dari mana ia masuk ke paru-paru dan melintasi kapiler paru untuk menembus alveolus dan kemudian ke usus melalui laring. N. americanus dominan secara global dibandingkan dengan A. duodenale. Sementara, S. stercoralis dapat menginfeksi perkutan dan oral.
Gejala Klinis
Gejala klinis helminthiasis dibedakan berdasarkan fase infeksinya. Yang pertama, fase migrasi. Pada fase ini larva dapat menyebabkan timbulnya reaksi pada jaringan yang dilaluinya seperti pada paru, antigen larva menimbulkan respons inflamasi berupa infiltrat yang tampak pada gambaran rontgen toraks dan dapat menghilang dalam waktu tiga minggu. Selain itu, juga didapati gejala pneumonia atau radang paru seperti sesak hingga mengi, batuk kering, demam dan pada infeksi berat dapat batuk timbul dahak yang disertai darah. Pneumonia yang disertai eosinofilia dan peningkatan IgE disebut sindrom Loeffler.
Yang kedua, fase intestinal. Pada fase ini, cacing dewasa yang hidup di saluran intestinal jarang menimbulkan gejala klinis, kalaupun ada gejala klinis umumnya tidak khas seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi, lemah, lesu, tidak bergairah, dan kurang konsentrasi.
Namun, pada kasus infeksi cacing Ascaris dapat menyebabkan intoleransi laktosa, malabsorsi vitamin A dan mikronutrien. Pada anak, helminthiasis kronis dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan dan perkembangan akibat dari penurunan nafsu makan, terganggunya proses pencernaan dan malabsorbsi.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja dan mengamati karakteristiknya. Adapun cara lain yaitu dengan penghitungan telur per gram tinja dengan teknik katokatz dipakai sebagai pedoman untuk menentukan berat ringannya infeksi, namun jarang dipergunakan.
Selain itu, diagnosis dapat dibuat bila cacing dewasa keluar sendiri melalui mulut, hidung, maupun lubang anus.
Pencegahan dan Penanggulangan
Dasar utama untuk pencegahan dan penanggulangan cacingan adalah dengan menjaga sanitasi dan memutuskan mata rantai penularannya. Pemerintah dalam PERMENKES Nomor 15 Tahun 2017 tentang Penanggulangan Cacingan mengarahkan bahwa pemutusan mata rantai penularan Cacingan terutama pada kelompok usia balita dan anak usia sekolah, dengan cara :
- Pemberian obat massal pencegahan cacingan kelompok rentan untuk menghentikan penyebaran telur cacing dari penderita ke lingkungan sekitarnya,
- Peningkatan higienitas dan sanitasi,
- Pembudayaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) melalui promosi kesehatan.
sedngkan, untuk perilaku pencegahan yang dapat diterapkan antara lain:
- Menghindarkan anak dari sumber penularan cacingan dengan menerapkan PHBS
- Merebus air sampai matang sebelum diminum
- Membuang air besar di jamban.
- Memakai alas kaki bila keluar rumah
- Cuci tangan pakai sabun setelah membersihkan kotoran anak, sebelum menyiapkan makanan, dan saat akan menyusui anak
- Menjaga kebersihan makanan dari lalat dengan menutupnya memakai tudung saji.
Pencegahan dan penanggulangan diharapkan dapat membantu untuk menurunkan prevalensi serendah mungkin dan menurunkan risiko penularan cacingan di suatu wilayah.
Pengobatan
Sebagai lini pertama, albendazol dan mebendazol merupakan obat pilihan untuk helminthiasis. Dosis albendazole untuk dewasa dan anak usia lebih dari 2 tahun adalah 400 mg per oral dan untuk anak di bawah 2 tahun, WHO merekomendasikan dosis 200 mg untuk anak usia 12 – 24 bulan. Untuk dosis mebendazole untuk dewasa dan anak usia lebih dari 2 tahun yaitu 500 mg per oral. Albendazol dan mebendazol diberikan dosis tunggal.
Diagnosis dan pengelolaan helminthiasis seringkali memerlukan pendekatan tim interprofessional dari penyedia layanan kesehatan di lapangan.
Referensi
- WHO. Soil-transmitted helminthiasis [Internet]. World Health Organization. Available from: https://www.emro.who.int/health-topics/helminthiasis/index.html
- PERMENKES Nomor 15 Tahun 2017 tentang Penanggulangan Cacingan
- Al Amin ASM, Wadhwa R. Helminthiasis. In: StatPearls . Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-.
- Wakelin D. Helminths: Pathogenesis and Defences. In: Baron S, editor. Medical Microbiology. 4th edition. Galveston (TX): University of Texas Medical Branch at Galveston; 1996. Chapter 87.
- Team P. Soil-transmitted helminth – MHMS [Internet]. MHMS –. 2014. Available from: https://www.health.gov.fj/soil-transmitted-helminths/
- Annida A, Fakhrizal D, Juhairiyah J, Hairani B. Gambaran status gizi Dan Faktor Risiko Kecacingan Pada anak cacingan di Masyarakat Dayak Meratus, kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Journal of Health Epidemiology and Communicable Diseases. 2019;4(2):54–64. DOI: https://doi.org/10.22435/jhecds.v4i2.218
Log in untuk komentar