sejawat indonesia

Penyebab dan Efek Buruk dari Kebisingan di Rumah Sakit

Suara, dalam bentuknya yang berbeda-beda, dapat berdampak besar pada pasien, staf, dan pengunjung di rumah sakit—mulai dari suara yang menenangkan hingga yang mengganggu dan membuat stres. 

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa sebagian besar rumah sakit sudah sangat bising, melebihi pedoman yang direkomendasikan untuk tingkat kebisingan. Kebisingan, yang secara luas didefinisikan dalam literatur penelitian sebagai "suara yang tidak diinginkan", bisa merugikan kesehatan pasien dan staf Rumah Sakit. Sehingga, penting untuk merancang dan mengendalikan lingkungan dalam mencegah transmisi suara yang tidak diinginkan, sekaligus membuat komunikasi verbal menjadi lebih jelas di antara orang-orang yang ada di dalam Rumah Sakit.

Busch-Vishniac dan rekan (2005) meneliti tingkat kebisingan rumah sakit yang dilaporkan dalam tiga puluh lima studi penelitian yang diterbitkan selama empat puluh lima tahun terakhir. Mereka menemukan bahwa tidak satu pun penelitian yang dipublikasikan melaporkan tingkat kebisingan yang sesuai pedoman WHO untuk tingkat kebisingan di rumah sakit. Tingkat kebisingan rumah sakit telah meningkat secara konsisten sejak tahun 1960-an. Dari 57 dB(A) menjadi 72 dB(A) pada siang hari, dan dari 42 dB(A) menjadi 60 dB(A) pada malam hari.

Standar Baku Mutu Tekanan Bising/Sound Pressure Level Menurut Jenis Ruangan

Berbagai Efek Kebisingan di Rumah Sakit

Kebisingan tidak hanya menimbulkan gangguan bagi pasien. Bisa juga memengaruhi cara mereka pulih dari cedera, proses kognitif, dan kinerja mental.

Gangguan Tidur

Tidur merupakan faktor penting dalam membantu pemulihan pasien. Tidur pada dasarnya terdiri dari dua fase: non-rapid eye movement (NREM) dan rapid eye gerakan (REM) tidur. NREM punya tiga tahap yang membentuk sekitar 75% hingga 80% dari total waktu tidur seseorang. Setelah melalui 3 tahap NREM, seseorang beralih ke tidur REM, yang jumlahnya sekitar 20% - 25% dari total waktu tidur.

Studi yang dilakukan sejak tahun 1976 yang meneliti kualitas tidur pasien di ICU menggunakan polisomnografi dan perangkat elektroensefalografi yang terpapar  berbagai suara seperti “alarm, telepon, ventilasi, dan kebisingan alat-alat di RS, hasilnya menunjukkan tidak ada pasien dapat memiliki siklus tidur yang tidak terputus.

Dengan demikian, banyak pasien akhirnya bertahan dalam dua tahap pertama tidur NREM, yang dianggap tidur ringan. Karena pasien kurang memiliki tidur yang cukup di fase REM, ada sejumlah manfaat restoratif yang akhirnya terbatas, yang akhirnya memengaruhi tingkat pemulihan mereka. Selain itu, ditunjukkan bahwa pasien mengalami gangguan tidur sekitar 11% hingga 20% dari total waktu tidur mereka. 

Studi-studi tersebut memberikan bukti bahwa kebisingan memiliki pengaruh langsung pada kualitas tidur yang diterima. Bukan hanya menurunkan tingkat energi sepanjang hari, tapi

juga, kekurangan tidur dapat memengaruhi faktor kognitif, seperti "retensi memori dan kemampuan belajar.

Selain itu, defisit tidur dapat memberi bagi efek fisiologis yang buruk  bagi pasien). Bagaimanapun, siklus tidur dikendalikan oleh jam biologis yang juga mengatur ritme sirkadian yang membantu mengontrol fisiologis dan ritme perilaku, seperti "suhu tubuh, fungsi kekebalan tubuh, sekresi hormon, dan tonus otot. 

Studi tersebut juga menunjukkan bahwa kurang tidur menyebabkan penurunan kekuatan otot pernafasan pasien dan hasilnya hipoventilasi. Ini menyebabkan laju pernapasan lebih lambat dan memperlambat kemampuan pasien untuk berhenti mengandalkan mesin untuk ventilasi.

Seperti dibahas sebelumnya, peralatan di RS merupakan salah satu faktor paparan kebisingan, jadi setiap peluang untuk mengurangi penggunaan mesin akan membantu mengurangi paparan kebisingan. Selain itu, kurang tidur juga dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dan tingkat pemulihan bagi pasien.

Efek Fisiologis

Selain tidur, kebisingan sangat memengaruhi fungsi fisiologis pada pasien. Sebuah studi oleh Hagerman et al. menemukan bahwa dengan paparan kebisingan akustik yang lebih tinggi, pasien mengalami denyut nadi yang lebih tinggi, yang meningkatkan kemungkinan "masuk kembali ke unit perawatan koroner". 

Selanjutnya, kebisingan dapat membuat respon di sistem saraf simpatis, yang meningkatkan stres jantung dan berdampak pada fungsi otot pernapasan. Regresi deret waktu dilakukan pada tingkat kebisingan dengan detak jantung dan tekanan darah, memberikan lebih banyak bukti bahwa kebisingan berdampak pada fungsi fisiologis. 

Peningkatan kebisingan menciptakan korelasi positif dengan detak jantung dan tekanan darah. Untuk meneliti lebih lanjut efek pada detak jantung, Hsu et al. mengamati 25 pasien untuk detak jantung mereka, frekuensi aritmia, dan kecemasan dengan tingkat kebisingan. Para pasien terpapar rekaman kebisingan satu menit selama dua periode waktu yang berbeda sepanjang hari. Setelah sesi tersebut, didapatkan bahwa kecemasan dan jumlah aritmia ventrikel meningkat secara drastis selama ini pasien terpapar kebisingan (Hsu et al., 2012).

Hsu dkk. juga menemukan bahwa ruangan pasien yang tidak memiliki langit-langit dengan penyerapan akustik yang baik, akan mengalami peningkatan detak jantung. Langit-langit ruangan dengan kemampuan penyerapan suara diketahui dapat mengurangi kebisingan sekitar 5-6 dB.

Dalam sebuah penelitian lain yang dilakukan terhadap 21 pasien laki-laki, mereka terkena sumber kebisingan yang berbeda dengan tingkat 87,4, 91,3, dan 85,6 dB(A) lalu peneliti mengukur aktivitas lambung mereka menggunakan elektrogastrogram. Aktivitas myoelectrical (GMA), yang “mengontrol motilitas perut” dengan  tiga siklus per menit (CPM) pada rata-rata manusia. Namun, ditemukan bahwa paparan kebisingan dari rumah sakit menurunkan tingkat CPM. Dari hal tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa paparan kebisingan memang bisa berpengaruh pada aktivitas lambung.

Stres

Paparan kebisingan juga dapat menyebabkan peningkatan tingkat stres pasien (Padmakumar et al., 2013). Dalam studi lain, itu mengemukakan bahwa kebisingan dapat mengaktifkan hormon stres, yang mempengaruhi sintesis dan metabolisme pada manusia (Hsu et al., 2010). Tingkat nyeri juga dipantau dan ditemukan bahwa jumlah obat nyeri yang diminta oleh pasien terkait dengan tingkat paparan kebisingan (Hsu et al., 2012). 

Penemuan-penemuan tersebut memberi bukti bahwa ada banyak bentuk efek dari kebisingan, termasuk penurunan kesejahteraan secara keseluruhan dan berdampak pada proses pemulihan. 

Untuk menyediakan lebih banyak bukti, satu studi dilakukan untuk mengamati durasi pasien tinggal di rumah sakit. Studi ini membandingkan durasi tinggal pasien dengan kebisingan dari konstruksi di RSUD. Ditemukan bahwa pasien yang berada di rumah sakit selama pekerjaan konstruksi tinggal lebih lama dari mereka yang diterima dalam periode tanpa pekerjaan konstruksi (Hsu et al., 2012).

Kemampuan Bicara dan Pemrosesan Kognitif

Sebuah makalah yang ditulis tentang dampak kebisingan pada pasien dan staf di lingkungan perawatan kesehatan menyimpulkan bahwa kebisingan berkontribusi untuk efek pemrosesan negatif yang dialami oleh pasien, seperti kurangnya komunikasi dan pengucapan yang jelas (Pope et al., 2013).

Kebisingan lingkungan mengurangi kemampuan untuk membedakan ucapan bagi mereka yang mengalami penurunan kemampuan pendengaran. Seperti disebutkan sebelumnya, efek Lombard terjadi, menyebabkan orang meninggikan suaranya untuk mengimbangi kebisingan lingkungan (background noise). Namun, dalam melakukannya, kejelasan suara menurun yang selanjutnya mempengaruhi kualitas pengucapan itu sendiri. 

Tingkat umum tekanan suara ada di sekitar 60 dB(A), dan kebisingan latar belakang sebesar 45 dB(A) atau lebih mempengaruhi komunikasi (Pope et al., 2013). Banyak studi telah menunjukkan, kebisingan latar belakang di rumah sakit sering melebihi jumlah 45 dB(A). 

Kemampuan kognitif juga dipengaruhi oleh paparan kebisingan. Studi telah menemukan bahwa suara dapat merangsang untuk kinerja selama tugas-tugas sederhana tetapi dapat menghambat kinerja untuk tugas yang lebih kompleks. Kesimpulan tersebut diperoleh dari Paus et al. yang mengamati pemahaman ucapan dan ingatan peserta melalui latihan khusus. Latihan tersebut terdiri dari pasien mendengarkan kalimat yang bervariasi dengan kalimat berkonteks tinggi ke konteks rendah. Kalimat berkonteks tinggi berisi informasi yang mengharuskan peserta untuk mendengarkan informasi secara hati-hati, untuk bisa menebak kata terakhir. Sedangkan, kalimat konteks rendah tidak memerlukan itu. Kalimat-kalimat tersebut diucapkan ke pasien seiring dengan suara lain di lingkungan RS. 

Untuk mengamati kemungkinan korelasi antara tingkat kebisingan dan daya ingat, tiga tingkat kebisingan rumah sakit disajikan kepada pasien, tingkat terendah menjadi 59 dB(A) dan tertinggi 69 dB(A). Selain itu, kalimat-kalimat tersebut dimainkan dengan kondisi tenang (tanpa latar belakang) dan white noise.

Dampak kebisingan pada staf

Kebisingan juga dapat menjadi sumber stres bagi staf rumah sakit dan dapat mengganggu kemampuan mereka untuk bekerja secara efektif.

Dalam satu studi di Swedia tentang dampak akustik ruangan, para peneliti menemukan bahwa selama kondisi akustik yang lebih baik, staf mengalami lebih sedikit tuntutan kerja dan melaporkan lebih sedikit tekanan dan ketegangan (Blomkvist et al. 2005). 

Topf dan Dillon (1988) menemukan bahwa stres akibat kebisingan berhubungan dengan kelelahan emosional dan kelelahan fisik di antara perawat yang bertugas di perawatan kritis. 

Dalam studi lain, staf kesehatan menganggap bahwa terlalu tinggi tingkat kebisingan di tempat kerja mengganggu pekerjaan mereka dan juga berdampak pada kenyamanan dan pemulihan pasien (Bayo, Garcia, dan Garcia 1995).

Strategi intervensi yang bisa dilakukan

Penelitian menunjukkan bahwa intervensi lingkungan mungkin efektif dalam mengurangi tingkat kebisingan di rumah sakit dan meningkatkan lingkungan akustik. 

Intervensi utama termasuk menginstal langit-langit penyerap suara berkinerja tinggi, menghilangkan atau mengurangi sumber kebisingan dan menyediakan single bed daripada kamar dengan banyak tempat tidur.

Penyerap suara

Setidaknya tiga penelitian telah menunjukkan bahwa memasang langit-langit dan panel penyerap suara menghasilkan pengurangan tingkat kebisingan dan persepsi kebisingan dan dampak hasil lainnya seperti meningkatkan kejelasan ucapan dan mengurangi persepsi tekanan kerja di antara staf.

Meskipun tingkat desibel tidak banyak berkurang akibat intervensi langit-langit tersebut, namun waktu dengung dan perambatan suara berkurang secara signifikan. Hal ini berdampak pada persepsi unit menjadi kurang berisik dan juga meningkatkan kejelasan ucapan yang berimplikasi pada komunikasi staf.

Kamar dengan Single bed

Kamar dengan satu tempat tidur mungkin merupakan satu-satunya strategi yang paling efektif untuk mengurangi tingkat kebisingan di kamar pasien. Studi ruang multibed di unit perawatan akut dan perawatan intensif telah menunjukkan bahwa sebagian besar kebisingan berasal dari kehadiran pasien lain (staf berbicara, staf merawat pasien lain, peralatan, pengunjung, suara pasien seperti batuk, tangisan, rel tempat tidur berderak). 

Bailey dan Timmons (2005) menemukan bahwa tingkat kebisingan meningkat secara signifikan pada unit perawatan intensif pediatrik dengan tujuh tempat tidur ketika ada lebih banyak orang yang hadir di ruang perawatan.

Menghilangkan atau mengurangi sumber kebisingan

Beberapa penelitian mengidentifikasi sistem paging overhead (sistem komunikasi ruangan), peralatan, dan percakapan staf yang keras sebagai sumber suara keras di unit rumah sakit.

Rekomendasi untuk mengurangi tingkat kebisingan sering kali termasuk mengganti paging overhead dengan perangkat komunikasi nirkabel yang dibawa oleh staf, menghilangkan sumber suara keras seperti lemari es, mematikan peralatan saat tidak digunakan, melakukan percakapan kelompok di ruang tertutup, dan mendidik staf tentang pentingnya berbicara dengan tenang dan menjaga ketenangan lingkungan.

Lebih banyak fasilitas kesehatan menggabungkan sistem nirkabel untuk komunikasi. Namun, tidak jelas apakah intervensi ini berhasil dalam mengurangi tingkat kebisingan atau tidak. Di UGD, pergeseran dari paging overhead ke jaringan komunikasi nirkabel pribadi tidak efektif dalam mengurangi tingkat kebisingan (Baevsky, Lu, dan Smithline 2000).

Namun, fasilitas lain berhasil mengurangi jumlahnya lebih dari 50 persen dalam waktu dua tahun setelah beralih dari sistem paging antar departemen ke jaringan komunikasi nirkabel (Johnson dan Thornhill 2006).

Program pendidikan staf dan pemberlakuan jam tenang (periode non-gangguan) cukup berhasil mengurangi tingkat kebisingan dan meningkatkan hasil pasien seperti kualitas tidur, meskipun tidak jelas apakah hasilnya dipertahankan dalam jangka panjang atau tidak.

Kombinasi intervensi lingkungan (seperti kamar yang lebih privat, langit-langit yang menyerap suara) dan program pendidikan cenderung paling efektif dalam mengurangi tingkat kebisingan dan menciptakan kondisi akustik yang lebih baik untuk pasien dan staf di lingkungan perawatan kesehatan.

Referensi:

  • Aaron, J. N., C. C. Carlisle, M. A. Carskadon, T. J. Meyer, N. S. Hill, and R. P. Millman. 1996. Environmental noise as a cause of sleep disruption in an intermediate respiratory care unit. Sleep 19(9):707–10.
  • Allaouchiche, B., F. Duflo, R. Debon, A. Bergeret, and D. Chassard. 2002. Noise in the postanaesthesia care unit. British Journal of Anaesthesia 88(3):369–73.
  • Armstrong Ceiling Systems. 2003. Rx for healthcare speech privacy: A balanced acoustical design. Lancaster, PA: Armstrong Ceiling Systems.
  • Baevsky, R., M. Lu, and H. Smithline. 2000. The effectiveness of wireless telephone communication technology on ambient noise level reduction within the ED. Paper read at American College of Emergency Physicians Research Forum, October 23, Philadelphia, PA.
  • Bailey, E., and S. Timmons. 2005. Noise levels in PICU: An evaluative study. Pediatric Nursing 17(10):22–26.
  • Baker, C. F. 1984. Sensory overload and noise in the ICU: Sources of environmental stress. Critical Care Quarterly 6(4):66–80.
  • Balogh, D., E. Kittinger, A. Benzer, and J. M. Hackl. 1993. Noise in the ICU. Intensive Care Medicine 19(6):343–46.
  • Barlas, D., A. E. Sama, M. F. Ward, and M. L. Lesser. 2001. Comparison of the auditory and visual privacy of emergency department treatment areas with curtains versus those with solid walls. Annals of Emergency Medicine 38(2):135–39.
  • Bayo, M. V., A. M. Garcia, and A. Garcia. 1995. Noise levels in an urban hospital and workers’ subjective responses. Archives of Environmental Health 50(3):247–51.
  • Bentley, S., F. Murphy, and H. Dudley. 1977. Perceived noise in surgical wards and an intensive care area: An objective analysis. British Medical Journal 2(6101):1503–6.
  • Berens, R. J., and C. G. Weigle. 1996. Cost analysis of ceiling tile replacement for noise abatement. Journal of Perinatology 16(3 Pt 1):199–201.
  • Berglund, B., T. Lindvall, D. H. Schwelaand, and T.K. Goh. 1999. Guidelines for community noise. In Protection of the human environment. Geneva, Switzerland: World Health Organization.
  • Blomkvist, V., C. A. Eriksen, T. Theorell, R. S. Ulrich, and G. Rasmanis. 2005. Acoustics and psychosocial environment in coronary intensive care. Occupational and Environmental Medicine 62:1–8.
  • Buelow, M. 2001. Noise level measurements in four Phoenix emergency departments. Journal of Emergency Nursing 27:23–26.
  • Busch-Vishniac, I., J. West, C. Barnhill, T. Hunter, D. Orellana, and R. Chivukula. 2005. Noise levels in Johns Hopkins Hospital. Journal of the Acoustical Society of America 118(6):3629–45.
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaIstilah 'Obesitas' Harus Diganti

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar