sejawat indonesia

Produk Suplemen dan Vitamin Tidak Banyak Berguna untuk Kesehatan

Sejak Dr. Forrest C. Shaklee memperkenalkan suplemen vitamin di Amerika Serikat pada tahun 1915, sejak saat itu pula orang-orang menganggapnya sebagai salah satu kebutuhan untuk menunjang kesehatan harian. Vitamin C, B1, B2, B3, B5, B6, B7, B9, B12, A, E, D2 (atau D3) hingga K bisa dengan mudah ditemui di apotek dan minimarket, tak lagi harus mengonsumsi makanan atau minuman tertentu.

Memang tak ada data yang menunjukkan tingkat konsumsi suplemen vitamin di Indonesia. Tapi, sebagai gambaran, data Statista pada 2019 menunjukkan bahwa tingkat penjualan vitamin kemasan dan suplemen makanan di Amerika Serikat mencapai US$30 juta per tahun, atau mencapai Rp448 miliar. Sedangkan, CRN Consumer Survey di tahun yang sama menunjukkan bahwa 3 dari 4 penduduk Negeri Paman Sam mengonsumsinya setiap hari.

Laporan majalah Time pada April 2022 lalu menyebutkan bahwa konsumsi vitamin kemasan serta suplemen bisa membantu meningkatkan kesehatan. Laporan tersebut disertai tingkat pendidikan, pendapatan, pilihan gaya hidup, dan kegemaran pada olahraga orang-orang yang mengonsumsinya. Singkatnya, konsumen multivitamin adalah orang-orang yang sangat memerhatikan kesehatan secara keseluruhan. 

Angka penjualan yang sangat tinggi di AS saja, vitamin kemasan dan suplemen makanan seolah-olah pantas mendapat label “manjur.” Bahkan jadi pilihan orang-orang yang memilih healthy lifestyle. Tapi, bagaimana pandangan sains dan para peneliti? Apa memang produk tersebut benar-benar meningkatkan kesehatan dan membantu untuk menghindarkan kita dari penyakit-penyakit berat seperti kanker?

Jawaban singkatnya: tidak.

Ini diungkap langsung oleh hasil penelitian lembaga penelitian swadaya US Preventive Services Task Force (USPSTF) melalui publikasi jurnal JAMA Network pada 21 Juni silam. Mereka menugaskan para peneliti untuk memperbarui data tentang dampak suplemen dan vitamin pada kanker dan kematian kardiovaskular. Vitamin sendiri dipilih sebab data observasinya jelas dan meyakinkan. Terlebih, mereka memakai hipotesis bahwa orang dengan kekurangan vitamin berisiko lebih tinggi.

Lebih jauh tentang hipotesis, orang-orang dengan kadar vitamin yang lebih rendah tapi tidak kekurangan, berisiko tinggi mengidap kanker dan penyakit kardiovaskular. Alhasil, USPSTF secara sederhana mendasarkan penelitiannya pada alur yang sederhana seperti ini: kadar vitamin seseorang ternyata lebih rendah, suplemen makanan dan vitamin kemasan kemudian dikonsumsi, lalu hasilnya adalah kadar vitamin pada seseorang kemudian meningkat.


Baca Juga:


Para peneliti yang ditunjuk USPSTF kemudian melakukan 87 uji coba secara acak pada orang dewasa. Tapi, orang-orang tersebut tak menunjukkan kekurangan kadar vitamin dalam tubuh berdasarkan hasil pemeriksaan yang lebih dulu dilakukan, alias benar-benar dilakukan secara acak. Selain itu, mereka yang mejadi partisipan diketahui tidak mengidap penyakit kardiovaskular dan penyakit kronis seperti hipertensi dan obesitas.

USPSTF benar-benar menguji coba beberapa jenis suplemen. Antara lain betakarotin, vitamin A, E, multivitamin, D, kalsium, asam folat, C, B3 dan B6, serta selenium. Ternyata, hanya ada satu efek yang menunjukkan sinyal positif yakni bisa membantu penggunanya menangkal kanker. Memang menunjukkan sinyal positif, tapi persentasenya bahkan tak terlalu besar: cuma 7 persen.

Bahkan, multivitamin yang menunjukkan angka 7 persen tersebut adalah gabungan dari beberapa jenis. Alhasil, jika merunut secara absolut, persentase sebenarnya cuma 0,2 persen. Dengan kata lain, perlu merawat 500 orang dengan multivitamin demi menghindari satu kasus kanker. Jadinya, angka 0,2 sama dengan tak ada efek apa-apa.

Hasil penelitian USPSTF dalam “Vitamin, Mineral, and Multivitamin Supplementation to Prevent Cardiovascular Disease and Cancer” seolah menjadi jawaban alternatif dari apa yang dikemukakan oleh para ilmuwan Harvard University melalui sebuah publikasi pada akhir tahun 2020. Dalam artikel yang terbit di BMJ Open tersebut, mereka mengumpulkan 21.603 orang dewasa di Amerika Serikat sebagai responden. Sebanyak 4.933 di antaranya adalah pengonsumsi rutin, dan 16.670 sisanya mengaku tak melakukannya.

Penelitian dua tahun silam itu menemukan bahwa bahwa pengguna multivitamin dan suplemen melaporkan bahwa kesehatan mereka lebih baik ketimbang yang tidak mengonsumsi. Kesimpulan ini diambil meski tak dijelaskan seperti apa peningkatan kesehatan tersebut dengan standar yang dapat diukur secara klinis.

Dengan kata lain, mereka menyebut penggunaan multivitamin dan kemudian terasa manjur adalah hasil dari harapan positif individu, atau merupakan efek plasebo. Banyak penggunanya yang memiliki pandangan lebih positif atau lebih baik pada kesehatan mereka setelah mengonsumsi produk tersebut.

Lalu dari mana datangnya klaim soal efek “luar biasa” dari multivitamin, vitamin kemasan dan bahkan suplemen makanan? Beberapa peneliti sepakat bahwa para produsen sengaja melebih-lebihkan efek produk mereka dalam iklan, tak mengubah hasil penelitian pada hewan sebelumnya, atau bahkan sudah terlanjur menyiapkan tagline bombastis meski temuan awal atas produk mereka belum meyakinkan.

Maka, terciptalah dua sisi yang saling berbenturan: konsumen yang tak bisa membedakan suplemen mana yang benar-benar berguna, dan produsen yang tertekan dengan kebutuhan komersialisasi.

Kembali pada penelitian pertama, temuan penting yang diperoleh USPSTF adalah bahaya dari konsumsi beberapa vitamin. Seperti vitamin A bisa meningkatkan risiko patah tulang pinggul, vitamin E justru meningkatkan risiko stroke hemoragik, serta vitamin C atau kalsium malah bisa meningkatkan risiko penyakit batu ginjal.

USPSTF kemudian menggarisbawahi bahwa orang sehat sudah pasti memiliki kadar vitamin yang lebih tinggi, dan potensi penyakit kardiovaskular serta kanker lebih sedikit. Kadar vitamin dalam tubuh adalah penanda kesehatan secara keseluruhan, dan tak bisa diperoleh begitu saja dengan produk buatan.

Kendati demikian, tak selamanya konsumsi suplemen dan sejenisnya memberi efek buruk. Peneliti asal Harvard University, Manish Paranjpe, menemukan sejumlah bukti bahwa asam folat sangat membantu pada masa-masa kehamilan. Kemudian suplemen vitamin D sangat membantu para lansia yang sudah jarang merasakan paparan sinar matahari secara langsung.

Sementara itu, Aaron Emmel dari PharmacyTechScholar.com, seperti dikutip dari Healthline.com, menyebut sudah ada banyak akumulasi bukti yang menunjukkan multivitamin dan sejenisnya tidak punya manfaat kesehatan yang signifikan bagi khalayak umum. Tapi, konsumsi produk-produk tesebut sudah mendarah daging di masyarakat, dan bahkan terbukti ketika pandemi COVID-19.

Satu-satunya cara untuk meningkatkan kadar vitamin dalam tubuh adalah mengonsumsi makanan sehat. Itulah kenapa banyak suplemen dan vitamin kemasan tidak memberi efek yang sama seperti nutrisi alami yang datang dari makanan.

Memang, sains dan teknologi berpotensi untuk mereplikasi khasiat vitamin dari makanan sehat di masa yang akan datang. Tapi untuk saat ini, tetap andalkan olahan daging-sayur-buah sebagai sumber terpercaya untuk kesehatan tubuh. Sekali lagi, tidak ada yang namanya kapsul ajaib penyembuh segala penyakit.


Referensi:

Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaKanker Kolorektal: Dari Patofisiologi Menuju Pendekatan Terapi Terbaru

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar