sejawat indonesia

SHIVA: Uji Coba Acak Pengobatan Presisi

Uji coba klinis SHIVA adalah sebuah uji coba multisentris fase II yang mengevaluasi keberhasilan dari terapi target molekuler berdasarkan profil molekuler tumor versus terapi konvensional pada pasien dengan kanker refraktori. Walaupun menunjukkan bahwa uji coba acak terhadap pengobatan presisi dapat dilakukan, hasil uji coba ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik antara hasil kedua terapi tersebut.

Uji coba klinis untuk pengobatan presisi secara primer menggunakan data genomik untuk kemudian memberi panduan untuk keputusan terapi. Penelitian seperti ini termasuk uji coba “basket”, di mana agen-agen yang berdasar pada satu perubahan gen diaplikasikan kepada beberapa tumor, dan uji coba “umbrella”, di mana perubahan gen multipel di dalam histologi kanker yang sama dijadikan target. Jenis uji coba seperti ini biasanya digunakan untuk mengevaluasi keampuhan dari sebuah pengobatan spesifik pada sub-kelompok pasien, baik secara histologis ataupun molekuler. Telah terdapat beberapa penelitian dan uji coba klinis untuk pengobatan presisi yang didefinisikan sebagai uji coba “percobaan algoritma”, yang kemudian melakukan uji coba pada beberapa jenis tumor yang berbeda dan mencoba berbagai target terapi sesuai dengan perubahan genetik pasien, namun tidak menguji efektivitas dari terapi tersebut terhadap suatu sub-kelompok pasien. SHIVA adalah salah satu uji coba yang menggunakan metode tersebut dengan berbasis kepada algoritma alokasi terapi spesifik.

SHIVA dilakukan pada delapan situs penelitian di Perancis. Secara total, terdapat 741 pasien yang diinklusi antara periode Oktober 2012 dan Juli 2014, dan terdapat 197 pasien yang diuji secara acak. Penelitian ini memasukkan pasien dewasa dengan tumor yang telah bermetasasis atau rekuren, yang telah mengalami kegagalan pengobatan dalam pelayanan kesehatan standar dalam kriteria inklusi, di mana tumor mereka dapat diakses untuk biopsi, atau dapat menerima reseksi pada tempat metastasisnya. Profil molekuler tumor dari setiap pasien didapatkan dengan cara biopsi wajib terhadap tumor yang telah bermetastasis dan uji genetik berskala besar. Rasio hazard untuk pengembangan penyakit adalah 0,88 (95% confidence interval, 0,65-1,19; P = 0,41) dan tidak signifikan. Hasil negatif dari uji coba acak pada SHIVA berarti bahwa algoritma penggunaan pengobatan presisi tidak memperbaiki hasil akhir dari pasien jika dibandingkan dengan praktek rutin klinik yang memberikan pelayanan pengobatan standar.

Apostolia M. Tsimberidou dari Departement of Investigational Cancer Therapeutics, The University of Texas, dan Razelle Kurzrock dari Center of Personalized Cancer Therapy dan Division of Hematology and Oncology, UCSD Moores Cancer Center menuliskan di The Lancet bahwa studi ini mempunyai banyak kelemahan. Mereka menuliskan bahwa pertama, pasien dengan kanker seringkali memiliki beberapa perubahan molekul, dan banyak pasien yang sulit untuk merespon terhadap monotherapy. Pada pasien dengan kelainan jalur PI3K/Akt/mTOR, mereka menunjukkan kurangnya respon secara signifikan dengan monoterapi dibandingkan terapi kombinasi. Kedua, everolimus secara lemah mempengaruhi jalur PI3K/Akt/mTOR; pasien dengan perubahan PI3K/Akt/mTOR sering memiliki perubahan yang berdampingan dengan RAF/MEK yang memberikan resistensi. Pasien dengan perubahan RICTOR yang akan mengaktifkan kompleks mTOR1 harus cocok dengan everolimus (kompleks inhibitor mTOR1), meskipun kemungkinan bahwa penghambatan mTOR1 dalam situasi ini bisa membuat jalur tersebut mengalami hiperaktivasi. Ketiga, banyak pasien memiliki kelainan reseptor hormon; respons terhadap monoterapi hormon pada pasien pra-perawatan dengan penyakit lanjut adalah hal yang sulit. Keempat, ada beberapa beberapa obat yang tidak cocok untuk dipasangkan: imatinib, sebuah RET inhibitor efektif (IC50 37 μmol/L) telah dipasangkan dengan perubahan RET. Kelima, obat presisi didefinisikan oleh kehadiran data biologis yang menunjukkan bahwa obat yang ditargetkan mempengaruhi perubahan molekuler dan perlu diambil dalam konteks pengalaman klinis - kriteria yang belum terpenuhi untuk banyak pasangan di SHIVA. Akhirnya, pasien yang secara acak diberikan terapi target diobati menggunakan algoritma yang telah ditetapkan dan sebaliknya, kelompok kontrol yang diobati terapi oleh dokter. Karena dokter bisa memperhitungkan pertimbangan komorbiditas dalam kelompok kontrol, desain ini dapat menimbulkan bias.

Oleh karena itu, hasil dari studi SHIVA tidak seharusnya membuat kita kecewa terhadap pengobatan presisi, atau bahwa obat-obatan yang digunakan dalam studi ini sebaiknya tidak digunakan lagi, namun pentingnya pengetahuan bahwa monoterapi hormon atau obat-obatan beragen tunggal, adalah terapi yang tidak efektif dalam penanganan kanker. Hasil-hasil dari beberapa studi klinis lainnya yang sedang berlangsung akan kemudian menjelaskan nilai dari pengobatan presisi.

Pengobatan presisi adalah sebuah area yang menghancurkan paradigma lama tentang tatalaksana pasien. Akibat heterogenitas dari populasi pasien, dan berbagai macam obat yang digunakan di setiap uji coba, maka pengobatan presisi diharuskan untuk mendaptakan cara inovatif dalam mengevaluasi hasil akhir dari pengobatan pasien. Sekarang ini, terdapat banyak desain studi yang tengah dikembangkan, masing-masing dengan kekurangan dan kelebihan sendiri. Banyak dari metode-metode tersebut yang juga bisa berguna pada uji coba tradisional. Pemahaman dan interpretasi yang hati-hati harus dilakukan dalam menilai pengobatan presisi.

Uji klinis SHIVA telah dipublikasikan di jurnal The Lancet Oncology.

Sumber: Nature Reviews Clinical Oncology
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaImplan Otak dan Tangan Bionik Berhasil Membuat Pasien Lumpuh Kembali Merasakan Sensasi Sentuhan

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar