Terapi LED untuk Kulit, Apa Memang Semanjur Itu?
Terapi menggunakan LED (Light-Emitting diode) sedang marak dibicarakan oleh praktisi medis dan masyarakat negara-negara barat selama beberapa tahun terakhir. Tak cuma karena dipopulerkan oleh para pesohor, tapi juga lantaran dianggap ampuh mengatasi masalah jerawat dan penuaan. Selain itu, penggunaannya bisa dilakukan di mana saja, entah di praktik dermatologis atau cukup dari rumah dengan alat yang bisa dibeli.
Terapi tersebut menggunakan pancaran cahaya infra merah yang menghantarkan cahaya hangat dengan berbagai gelombang dan spektrum. Jenis cahaya LED-nya sendiri terbagi menjadi empat. Warna kuning sawo (amber, 500 nanometer sampai 750 nanometer) berfungsi untuk menstimulasi kolagen, dan elastin. Merah (633 nm) untuk meningkatkan sirkulasi pori-pori kulit. Putih, yang menembus lapisan terdalam kulit, berfungsi untuk mengencangkan dan mengurangi peradangan. Sedangkan biru (415 nm) bertindak sebagai pembunuh bakteri.
LED pun termasuk ramah bagi orang-orang yang khawatir dengan gangguan pada kulit, ini lantaran cahaya yang dipancarkan bersifat non-ablatif dan non-termal. Dibandingkan dengan metode laser dan intensed pulse light, pancaran daya LED secara signifikan jauh lebih rendah kekuatannya sehingga kurang invasif dan kurang potensi membawa bahaya bagi jaringan kulit yang jadi target. Tidak ada efek samping umum yang merugikan seperti nyeri, pembengkakan, pengelupasan yang telah dilaporkan oleh pasien setelah menjalani terapi tersebut.
Di Amerika Serikat. terapi LED saat ini adalah prosedur kosmetik yang disetujui oleh pihak pengawas Food and Drug Administration (FDA). Mereka pun sudah menguji sejauh mana efek yang diamati selepas penggunaannya. Meliputi peningkatan produksi Adenosin trifosfat, modulasi stres oksidatif intraseluler, induksi faktor transkripsi, perubahan sintesis kolagen, stimulasi angiogenesis, dan peningkatan aliran darah.
Kemungkinan untuk bertindak berdasarkan semua parameter di atas membuat terapi LED sangat fleksibel dan dapat disesuaikan untuk pengobatan berbagai kelainan kulit. Masing-masing menimbulkan efek biologis yang berbeda dalam setiap kasus yang ditangani.
Beberapa penelitian juga melaporkan keefektifan dan keamanan terapi LED pada kulit yang mengalami tanda-tanda penuaan. Meski disebut manjur membunuh bakteri di wajah, warna biru juga aman sebagai terapi tambahan untuk jerawat tingkat ringan sampai sedang. Turut pula dalam proses penyembuhan luka seperti pada psoriasis dan rosacea.
Glynis Ablon, seorang dermatologis dan associate professor di University of California, Los Angeles, menerbitkan hasil penelitian efek terapi LED untuk mengurangi psoriasis pada tahun 2018 lalu. Di Amerika Serikat, kasus kulit tersebut pada orang dewasa telah mencapai 100,5 kasus per 100.000 jiwa selama dekade 1990-an.
Seiring meningkatnya perhatian pada metode perawatan menggunakan cahaya tampak merah (633 nm) dan nyaris infra merah (830nm), Glynis menggunakan dua jenis cahaya LED tersebut untuk mengobati psoriasis parah. Subjeknya adalah 9 orang, terdiri dari 3 laki-laki dan 6 perempuan, yang menderita penyakit kulit wajah tersebut dengan usia rata-rata 34,3 tahun. Semua memiliki psoriasis kronis dan psoriasis gutata yang telah mereka derita selama 35 tahun. Kondisi kulit tersebut mempengaruhi antara 15 hingga 80 persen kulit di permukaan tubuh mereka. Sebagian besar dari subjek bahkan telah menjadi resisten terhadap pengobatan konvensional atas psoriasis mereka.
Secara berurutan, seluruh subjek mendapat terapi LED secara rutin dengan kekuatan pancaran LED mencapai 830nm, 60J/cm2 dan 633nm dan 126J/cm2. Mereka semua menjalani dua sesi setiap pekan, berdurasi 20 menit, selama 4 hingga 5 minggu, dengan dua hari jeda antar sesi. Secara spesifik, plak psoriasis gutata dipilih untuk diobati. Semua subjek menyelesaikan terapi LED mereka, dengan lima orang membutuhkan proses pengobatan yang kedua.
Dalam evaluasi lanjutan empat-lima bulan selanjutnya, Glynis menemukan tingkat kebersihan prosiasis di kesembilan subjeknya mencapai antara 60 hingga 100 persen. Ia menulis bahwa kepuasan pasien secara keseluruhan sangat tinggi. Protoporfirin yang ada pada kulit penderita psoriasis ternyata bertindak sebagai fotosensitizer. Dengan kata lain, ia sudah membuktikan efek menguntungkan dari terapi LED untuk mengobati psoriasis
Dulu, para peneliti dan praktisi medis lebih fokus pada apakah terapi LED ini memiliki efek biologis bagi kulit penggunanya. Tapi kini berkutat pada cara mengoptimalkan penggunaannya. Efek biologis tergantung pada parameter iradiasi seperti panjang gelombang, dosis (pengaruh), intensitas (densitas daya atau radiasi), waktu penyinaran, jenis gelombang yang dipancarkan secara terus-menerus, dan yang terakhir adalah pola pulse (semburan cahaya singkat dalam sekali pancar). Selain itu, secara klinis, faktor-faktor seperti frekuensi, interval antara perawatan dan jumlah total perawatan harus dipertimbangkan.
Meski demikian, bukan berarti terapi LED adalah jawaban sahih atas segala masalah kulit. Karena ini tak menyembuhkan dalam waktu singkat, penggunanya harus berkomitmen rutin melakukan perawatan tersebut. Jika ternyata masalah kulit kembali muncul antara satu hingga tiga bulan, akan lebih baik jika terus menerus melakukannya tanpa batas waktu.
Di sisi lain, orang-orang juga enggan rutin datang ke klinik dermatologis untuk terapi ini lantaran biayanya yang mahal. Hal ini biasanya disiasati dengan membeli peralatan berkualitas tinggi, contohnya seperti masker topeng LED, agar bisa hemat dari segi ongkos.
Meskipun terapi LED memang tak membawa risiko luka bakar, beberapa orang dilaporkan sempat mengalami sesak napas dan kulit kemerahan setelah terpapar. Banyak yang berasumsi ini akibat meningkatnya aliran darah. Penelitian yang dilakukan Glynis Ablon dan para dermatologis lain juga cuma membahas efek penggunaan jangka pendek. Studi yang coba mengeksplorasi efek jangka panjangnya masih sangat sedikit.
Diagnosa diri sendiri dan kemudian berinisiatif menempuh terapi LED tanpa bimbingan dokter juga tidak disarankan. Perlu diagnosis serius untuk mendapat gambaran seperti apa kondisinya secara menyeluruh.
Untuk sekarang, belum ada pedoman yang ditentukan perihal penggunaan LED untuk mengatasi masalah kulit tertentu. Sementara dokter kulit mungkin sekadar meresepkan atau merekomendasikan frekuensi dan durasi perawatan, sensitivitas dan kebutuhan individu yang bermacam-macam.
Kualitas perangkat terapi LED juga bervariasi kebanyakan tidak memberikan intensitas cahaya yang dibutuhkan untuk mencapai manfaat terapeutik. Di bidang teknologi yang terus menerus berkembang, harus diakui bahwa penelitian yang menunjukkan kemanjuran terapi LED dalam skala besar terbilang masih minim. Kebanyakan subjek studi adalah kelompok-kelompok kecil, cuma terdiri dari beberapa orang, seperti yang dilakukan oleh Glynis.
Terlepas dari faktor-faktor peringatan seperti di atas, manfaatnya diakui secara ilmiah dan dianggap sebagai pengobatan yang layak (bersama dengan obat-obatan resep dokter) untuk berbagai kondisi kesehatan. Tapi, secara keseluruhan, jika menggunakan terapi LED dengan hati-hati dan teratur, kemungkinan besar hasil positif sudah pasti didapatkan.
- Barolet, Daniel. (2009). Light-Emitting Diodes (LEDs) in Dermatology. Seminars in cutaneous medicine and surgery. 27. 227-38. 10.1016/j.sder.2008.08.003.
- Ablon G. (2018). Phototherapy with Light Emitting Diodes: Treating a Broad Range of Medical and Aesthetic Conditions in Dermatology. The Journal of clinical and aesthetic dermatology, 11(2), 21–27
- Barolet, Daniel. (2009). Light-Emitting Diodes (LEDs) in Dermatology. Seminars in cutaneous medicine and surgery. 27. 227-38. 10.1016/j.sder.2008.08.003.
Log in untuk komentar