sejawat indonesia

Apakah Sumpah Hippokrates Sudah Tak Relevan dan Perlu Direvisi?

"I swear by Apollo Physician and Asclepius and Hygieia and Panaceia and all the gods and goddesses, making them my witnesses, that I fulfil according to my ability and judgement this oath and this covenant."

"Saya bersumpah demi (Tuhan) ... bahwa saya akan memenuhi sesuai dengan kemampuan saya dan penilaian saya guna memenuhi sumpah dan perjanjian ini."

Sebelum seseorang resmi menjadi seorang dokter, dia wajib mengucapkan Sumpah Hippokrates--ikrar etika sebelum melakukan praktik profesi kedokteran. Para calon dokter mengucapkan janji untuk menyelamatkan orang-orang yang membutuhkan, memperlakukan para mentor seperti orang tua, dan menjaga seluruh rahasia dalam profesi.

Mayoritas dokter masih percaya Sumpah Hippokrates masih sesuai dengan kondisi era modern ini. Tapi seiring waktu, mulai banyak yang mempertanyakan relevansinya. Hal tersebut bisa dilihat dari survei Medscape pada tahun 2016.

Situs kedokteran tersebut bertanya pada 2.674 dokter dan 134 mahasiswa kedokteran. Reaksi para responden sangat bertolak belakang. Sebanyak 39 persen yang mempertanyakan relevansinya berasal dari kelompok usia di bawah 34 tahun. Sedangkan 70 persen yang kukuh Sumpah Hippokrates masih sesuai adalah kelompok umur 65 tahun ke atas.


Baca Juga :


Opini lebih rinci perihal perlunya perubahan Sumpah Hippokrates disuarakan oleh Vishal Indla dan M. S. Radhika pada tahun 2019 lalu. Dalam artikel berjudul "Hippocratic oath: Losing relevance in today's world?" yang diiterbitkan oleh Indian Journal of Psychiatry, duo psikiater asal India tersebut mencermati beberapa poin dari sumpah tersebut.

Pertama, mengucap sumpah tersebut atas nama dewa-dewa Yunani (Apollo, Aesculapius, Hygeia dan Panacea) dianggap tak sesuai dengan fakta bahwa dunia saat ini bersifat multietnis, multikultural, dan pluralistik alias beragam. Alhasil, banyak lembaga kedokteran di sejumlah negara (termasuk Indonesia) memilih mengganti nama-nama dewa tersebut dengan kata "Tuhan Yang Maha Esa."

Kedua, dominasi kata "he" (laki-laki) dalam Sumpah Hippokrates versi bahasa Inggris. Ini tak lepas dari fakta bahwa pada masa Yunani Kuno, wanita tidak diperbolehkan menjadi dokter. Indla dan Radhika menulis bahwa hal tersebut sudah lama menjadi perdebatan bagi banyak dokter perempuan, terlebih saat ini masyarakat kian sadar dengan isu ketimpangan gender.

Ketiga, Sumpah Hippokrates melarang aborsi dan euthanasia. Faktanya, di beberapa negara, aborsi dengan usia janin maksimal 20 minggu adalah legal. Begitu pula dengan kebijakan banyak negara di Eropa yang melegalkan praktik suntik mati. Bahkan di Indonesia, RKUHP akan mengizinkan praktik aborsi untuk para perempuan korban perkosaan.

Keempat, sumpah tersebut meminta dokter untuk merawat pasien sesuai dengan "kemampuan dan penilaian terbaiknya." Alhasil, prinsip otonomi dan keadilan pasien, yang kini dianggap sebagai landasan dasar bioetika, jadi terpinggirkan. Poin "kemampuan dan penilaian terbaiknya" juga rentan disalahgunakan. Contoh kasusnya terjadi di masa Perang Dunia II, saat para dokter dan ilmuwan Nazi Jerman serta Jepang melakukan eksperimen di luar batas pada tawanan perang.

Kelima, Sumpah Hippokrates hanya berkutat pada tiga hal yakni dokter, pasien dan penyakit. Sedangkan di dunia medis saat ini, tiga hal tersebut akan terganggu oleh munculnya variabel luar seperti asuransi kesehatan, masalah malpraktik, teknologi, dan perusahaan farmasi.

Keenam, berhubungan dengan fakta bahwa ekonomi pasien saat ini berbeda-beda satu sama lain. Ini membuat dokter mungkin tidak dapat meresepkan obat-obatan paling bagus karena keterbatasan finansial. Ini memang bisa diatasi dengan program kesehatan universal seperti BPJS di Indonesia. Tapi, masih banyak pula negara di mana dunia medisnya didominasi oleh para pelaku bisnis swasta. Hal tersebut akan memengaruhi kebebasan dokter dalam pengobatan.

Ketujuh, munculnya Google dan menjamurnya akses gratis ke artikel tentang kesehatan membangun kesadaran pasien atas kondisi diri sendiri dan isu-isu medis terkini yang sedang berkembang. Mereka tak ragu menyitir artikel atau jurnal yang mereka baca ketika berkonsultasi, sehingga dokter harus berhati-hati dalam bertindak.

Terakhir, Sumpah Hippokrates dianggap mempromosikan (bahkan mewajarkan) "burnout" bagi dokter. Ini dikemukakan oleh profesor bioetik asal Swiss, Fabrice Jotterand, dalam artikel The Journal of Medicine and Philosophy yang terbit pada tahun 2005. Ia menggarisbawahi bahwa sumpah tersebut mengutamakan kepentingan pasien, alih-alih mempertimbangkan batasan kemampuan pribadi dan profesional.

Dengan fakta bahwa banyak isi dari Sumpah Hippokrates yang kini sudah tak sesuai dengan keadaan masyarakat, sosial, dan hukum terkini sehingga tendensi untuk mengubahnya kini mencuat. Memang, sumpah tersebut adalah ikrar untuk mewujudkan prinsip-prinsip kebaikan, rasa terima kasih, kerahasiaan, dan kerendahan hati dalam profesi yang sangat berarti bagi banyak orang.

Peserta survei Medscape pun mengakuinya. Sebanyak 59 persen dari para dokter yang menjadi responden mengatakan sumpah tersebut menanamkan rasa persaudaraan, empati, syukur, dan kebanggaan atas profesi yang ditekuni.

Meski demikian, Indla dan Radhika menulis bahwa itu semua tak mengubah fakta bahwa Sumpah Hippokrates tidak bernuansa bioetika modern dan kadang-kadang bertentangan dengan hukum. Sulit menepikan fakta bahwa kini litigasi medis adalah hal yang penting dalam dunia kedokteran.

Dokter harus mengikuti hukum yang ada, agar peraturan pidana dan etika kedokteran tidak lagi berselisih satu sama lain. 

Semangat melindungi dan melayani dalam sumpah memang takkan pernah mati. Bahkan, jika seorang dokter belum diambil sumpahnya, ia masih punya sisi empati yang jadi penggeraknya menyembuhkan pasien.

Tapi, para dokter harus ingat bahwa setiap sumpah harus butuh tinjauan dan evaluasi ulang sesuai dengan kondisi masyarakat yang berubah secara terus menerus.

Lagian, masa Hippokrates atau Phytagoras hidup adalah 2.000 tahun yang lalu, sementara perubahan bisa terjadi setiap hari.


Catatan:

Di Indonesia, para dokter memakai Sumpah Dokter yang disepakati berdasarkan Pasal 1 Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) 2012 dan PP 26 tahun 1960 tentang Lafal Sumpah Dokter. Lafal Sumpah Dokter Indonesia sudah beberapa kali direvisi sejak diberlakukan pada tahun 1948. Perubahan terakhir dilakukan pada ada Muktamar IDI ke 28 tanggal 20-24 Nopember 2012 di Makassar.


Referensi :

Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaBeragam Teknik Rejuvenation Wajah dan Perawatannya

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar