sejawat indonesia

Bronkoskopi: Kemajuan Pendekatan dan Pengelolaan Hemoptisis Era Kini

Hemoptisis merupakan manifestasi klinis luas yang mungkin terjadi pada berbagai penyakit dengan presentasi ringan sampai mengancam jiwa, sehingga tergolong kegawatdaruratan. Modalitas diagnostik dan terapeutik yang tepat sangat diperlukan untuk menangani hemoptisis. Benarkah bronkoskopi mampu menutup kebutuhan tersebut?

Hemoptisis, atau yang umum disebut batuk darah, merupakan kondisi yang mengkhawatirkan baik bagi pasien maupun dokter. Terdapat kemungkinan bahwa 5-14% pasien yang mengidap ini akan mengalami hemoptisis yang mengancam jiwa (hemoptisis masif). Tingkat kematian yang dilaporkan antara 9% hingga 38%.

Ketiadaan konsensus terkait pendekatan diagnostik yang optimal untuk hemoptisis yang mengancam jiwa menjadikan tantangan yang cukup berat untuk pengelolaan kasus ini. Kabarnya, kemajuan teknologi telah memungkinkan manajemen yang lebih efektif di beberapa tahun terakhir.

Bronkoskopi, prosedur dengan teknik endoskopi, telah dilaporkan dapat mengontrol perdarahan dengan hasil yang menjanjikan. Peran bronkoskopi pada hemoptisis masif tidak terbatas pada peran diagnostik.

Selain dapat mengidentifikasi apakah perdarahan masih aktif dan melihat kondisi saluran pernapasan pasien, bronkoskopi juga dapat dilakukan untuk mengontrol perdarahan pada hemoptisis tersebut. Untuk itu perlu diketahui bagaimana indikasi bronkoskopi dan kapan harus dilakukan tindakan bronkoskopi pada pasien dengan hemoptisis.

Definisi Hemoptisis

Hemoptisis adalah ekspektorasi darah atau dahak disertai darah (bloody mucus) dari saluran napas bagian bawah. Sejumlah literatur mendefinisikan jumlah darah yang harus dibatukkan agar hemoptisis dapat dikatakan masif bervariasi, yaitu antara 100-1000 ml dalam 24 jam.

Beberapa literatur lain membagi definisinya dalam beberapa kategori yaitu hemoptisis mayor (≥200 ml/24 jam), hemoptisis berat (≥150 ml/12 jam dan >400 ml/24 jam), dan hemoptisis yang memberatkan (total 1000 ml atau 150 ml/jam).

Etiologi dan Insidensi Hemoptisis

Penyebab yang mendasari hemoptisis dapat dibagi menjadi tiga, yaitu penyakit saluran napas, penyakit parenkim, dan penyakit pembuluh darah. Semua etiologi hemoptisis berpotensi menyebabkan hemoptisis masif.

Insidensi penyakit yang umum disertai hemoptisis antara lain penyakit radang saluran udara (25,8%), termasuk tuberkulosis (2,7%) dan aspergillosis (1,1%), karsinoma bronkial dan metastasis (17,4%), bronkiektasis (6,8%), penyebab kardiovaskular seperti edema paru/stenosis mitral (4,2%) dan emboli arteri pulmonalis (2,6), serta pngobatan antikoagulasi atau trombolisis (3,5%).


Baca Juga :


Diagnosis Hemoptisis

Diagnosis hemoptisis dapat ditegakkan melalui beberapa tahapan meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, hingga pemeriksaan penunjang. Target anamnesis adalah untuk memastikan itu adalah sebuah hemoptisis bukan hematemesis, mengetahui gejala penyerta dan riwayat penyakit sebelumnya.

Untuk pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan tanda vital, hidung, mulut, faring posterior dan laring dengan laringoskopi. Pemeriksaan leher, dada, jantung, dan paru-paru untuk mencari kemungkinan lokasi asal dan penyebab hemoptisis.

Rontgen thoraks (CXR) tetap menjadi pemeriksaan penunjang awal yang dilakukan di sebagian besar kasus hemoptisis karena dapat menentukan lokasi perdarahan pada 45-65% kasus dan penyebabnya pada 25-35% kasus.

Meskipun sebanyak 10% dari keganasan paru tidak tampak dengan pemeriksaan CXR dan 96% di antaranya dapat dideteksi dengan computed tomography (CT) yang secara signifikan lebih baik untuk menentukan penyebab hemoptisis hingga 86%.

Untuk itu, diperlukan modalitas diagnostik yang tepat dalam penanganan hemoptisis, salah satunya yang terkini yaitu dengan bronkoskopi, terutama untuk kondisi hemoptisis masif. Selama pengujian diagnostik untuk hemoptisis masif, penting untuk diingat bahwa prioritas pertama adalah mengamankan jalan napas pasien.

Meskipun CT memiliki keunggulan lebih dalam mengidentifikasi penyebab perdarahan, bronkoskopi dinilai lebih unggul dalam menangani kasus hemoptisis karena dapat dilakukan di samping tempat tidur (bedside) dan tidak mengharuskan pasien untuk dipindahkan seperti pada pemeriksaan CT, sehingga lebih dapat membantu mengamankan jalan napas.

Pemeriksaan darah lengkap untuk mengevaluasi hemoglobin dan hemostasis fisiologis tetap harus dimasukkan ke dalam prioritas pemeriksaan penunjang.

Bronkoskopi pada Hemoptisis

Bronkoskopi adalah prosedur yang menerapkan teknik endoskopi untuk melihat secara langsung saluran napas mulai dari trakea hingga paru. Bronkoskopi pada kasus hemoptisis dapat mengidentifikasi apakah perdarahan masih aktif atau tidak dan melihat kondisi saluran pernapasan pasien serta tidak hanya untuk diagnostik tetapi juga terapeutik.

Terdapat dua jenis bronkoskopi yaitu rigid dan fleksibel. Dengan kehadiran bronkoskopi fleksibel, pemeriksaan dapat dilakukan di samping pasien (bedside) dan umumnya dilakukan pada kasus hemoptisis non-iatrogenik.

Prosedur bronkoskopi fleksibel memungkinkan pada saat yang sama untuk mengidentifikasi sumber perdarahan, perawatan endoskopi, dan kinerja isolasi paru untuk melindungi paru-paru yang tidak terpengaruh.

Bronkoskopi fleksibel dinilai lebih akurat untuk mendeteksi lokasi perdarahan pada hemoptisis dengan perdarahan yang masih aktif dengan tingkat keberhasilan hingga 86%. Sementara bronkoskopi rigid, biasanya digunakan untuk melakukan tamponade pada hemoptisis dengan perdarahan lokal yang sumber perdarahannya terpusat.

Jenis bronkoskopi ini menungkinkan intubasi selektif untuk isolasi paru dalam kasus perdarahan yang dahsyat karena dapat mempertahankan patensi jalan napas. Sayangnya, bronkoskopi rigid ini hanya dapat dilakukan di kamar operasi dan memerlukan bantuan ahli anestesi.

Keterbatasan lain bronkoskopi rigid yaitu hanya dapat melihat hingga kedalaman bronkus mayor, sedangkan lesi yang lebih perifer dan lobus paru atas tidak terlihat.

Pada 4-22% kasus hemoptisis, bronkoskopi juga dapat mendeteksi karsinoma bronkogenik. Tindakan bronkoskopi rutin dikaitkan dengan morbiditas yang rendah dan memberikan probabilitas manfaat diagnosis dini karsinoma dengan angka kesembuhan yang lebih besar.

Untuk itu, identifikasi karsinoma bronkogenik adalah indikasi utama bronkoskopi pada kasus hemoptisis. Indikasi potensial lain tindakan bronkoskopi pada kasus hemoptisis menurut beberapa penelitian yaitu usia lebih dari 40 tahun, laki-laki, riwayat merokok lebih dari 40 bungkus dalam setahun, hemoptisis yang berlangsung lebih dari satu minggu,

Pada hemoptisis yang penyebabnya tidak dapat dijelaskan, diperlukannya lokalisasi lokasi perdarahan dalam kasus intervensi, penegakan diagnosis spesifik, dan intervensi endobronkial pada perdarahan lanjutan. 

Berikut adalah beberapa teknik yang digunakan pada bronkoskopi dalam pengelolaan sumber perdarahan hemoptisis :

1. Penggunaan larutan saline dingin dengan suhu 4˚C dan volume sekitar 300-750 ml. 

2. Pemberian epinefrin dengan pengenceran 1:1000.

3. Penggunaan kombinasi trombin atau trombin-fibrinogen. Rekombinan faktor VII telah terbukti dapat menangani kasus perdarahan alveolar difus.

4. Penggunaan hemostatik topikal oxidized regenerated cellulose (ORC) yang dikenal sebagai agen hemostasis dan penyembuhan luka yang memiliki sifat larut air yang tidak larut dalam selulosa

5. Penggunaan lem endobronkial n-butil cyanoacrylate yang bersifat perekat dan mengeras ketika kontak dengan kelembaban.

6. Stent endobronkial, telah berhasil digunakan untuk mengobati hemoptisis sekunder akibat lesi endobronkial dan umum sebagai pengobatan paliatif dalam konteks kanker paru-paru lanjut.

7. Embolisasi endobronkial menggunakan silikon spigot (EESS) untuk menutup saluran udara segmental sumber perdarahan berasal.

8. Fotokoagulasi laser, terbukti efisien untuk mengelola hemoptisis yang signifikan akibat lesi sentral yang besar.

9. Koagulasi plasma argon yang membuat permukaan menggumpal.

10. Katup endobronkial melalui pengurangan volume paru-paru pada pasien dengan hiperinflasi paru emfisematous berat.

Mengenai waktu tindakan bronkoskopi, sejauh ini belum ada pedoman yang jelas. Tetapi beberapa penelitian menunjukkan bahwa bronkoskopi yang dilakukan pada episode perdarahan pertama memiliki tingkat deteksi sumber perdarahan yang lebih tinggi secara signifikan. Untuk itu, evaluasi bronkoskopi awal sangat penting dilakukan sekalipun pada kasus hemoptisis non-masif.

Jadi, haruskah semua episode awal hemoptisis dievaluasi dengan bronkoskopi?


Penulis : dr. Pamela Sandhya De Jaka

Referensi :

  • Gagnon S, Quigley N, Dutau H, Delage A, Fortin M. Approach to hemoptysis in the modern era. Canadian Respiratory Journal. 2017;2017:1–11. DOI:10.1155/2017/1565030.
  • Kathuria H, Hollingsworth HM, Vilvendhan R, Reardon C. Management of life-threatening hemoptysis – journal of intensive care. BioMed Central. 2020 April. Available from: https://jintensivecare.biomedcentral.com/articles/10.1186/s40560-020-00441-8#ref-CR1 .
  • Sakina S, Syafa’ah I. The Role of Bronchoscopy in Hemoptysis. JR. 2020 May;6(2):55-60. Available from: https://e-journal.unair.ac.id/JR/article/view/18958.
  • H. Ittrich, M. Bockhorn, H. Klose, and M. Simon, “The diagnosis and treatment of hemoptysis,” Deutsches Arzteblatt International. 2017;114(21):371–381.
  • Abdulmalak C, Cottenet J, Beltramo G, et al. Haemoptysis in adults: a 5-year study using the French nationwide hospital administrative database. Eur Respir J. 2015;46:503–511.
  • Mehta AK, Chamyal PC. Haemoptysis – indications for bronchoscopy. Medical Journal Armed Forces India. 1994;50(2):123–5. DOI: 10.1016/S0377-1237(17)31013-4.
  • Mondoni M, Carlucci P, Cipolla G, Fois A, Gasparini S, Marani S, et al. Bronchoscopy to assess patients with hemoptysis: Which is the optimal timing? – BMC pulmonary medicine. BioMed Central. 2019.
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaUpdate Diagnosis dan Tatalaksana Alergi Susu Sapi pada Anak

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar