Cegah Rujukan Terlambat: Diagnosis dan Manajemen Dini Kasus Kegawatdaruratan pada Kehamilan
Mengurangi kematian ibu pada tahun 2025 adalah salah satu misi paling menantang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dicanangkan awal abad ke-21. Kini, sebagian besar telah periode eskalasi kematian ibu tejadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah (LMIC), terutama di Sub-Sahara Afrika.
Namun, dalam ruang lingkup dunia secara keseluruhan, terjadi penurupan sebesar 44%. Dalam publikasi terbaru WHO berjudul "Ending Preventable Maternal Mortality (EPMM)", target baru di tingkat negara ditetapkan pada angka kematian ibu (AKI) yakni tak lebih dari 140/100.000 kelahiran hidup.
Beberapa strategi yang terbukti efisien mengurangi kematian ibu dan perinatal adalah manajemen kegawatdaruratan obstetri dan neonatal, perawatan antenatal, penolong persalinan yang terampil, dan sistem pemberian perawatan kesehatan yang baik.
Manajemen kegawatdaruratan obstetrik yang tepat dan tepat waktu di rumah sakit (mengurangi rujukan terlamabat) juga jadi cara tepat mengurangi kematian ibu dan bayi menurut banyak penulis.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di Nigeria, Lamina Mustafa et al. menemukan bahwa kegawatdaruratan obstetri terjadi pada 18,5% persalinan, dan mewakili 70,6% dari penyebab kematian ibu.
Lalu di Kamerun yakni perdarahan post partum (29,2%), aborsi yang tidak aman (25%), kehamilan ektopik (12,5%), penyakit hipertensi pada kehamilan (8,3%) dan penyebab tidak langsung termasuk malaria (8,2%) dan penyakit jantung di (4,2%).
Penatalaksanaan kegawatdaruratan menjadi tanggung jawab dokter kandungan di rumah sakit. Tapi, dokter umum didampingi oleh bidan menjadi ujung tombak dalam melakukan diagnosis yang tepat.
Sehingga pasien dapat dirujuk tepat waktu atau, jika memungkinkan, dalam antenatalcare telah dimasukan dalam kategori rujukan terencana, baik rujukan dini maupun rujukan dalam rahim.
Oleh karenanya, dokter umum harus terlibat dan harus mengetahui garis besar diagnosis dan manajemen keadaan darurat dan kemungkinan efek sampingnya. Jika situasi seperti itu terjadi di luar rumah sakit, maka pengaturan harus dibuat untuk membawa ibu hamil tersebut ke unit obstetri dengan aman dan segera.
Prinsip pertama penanganan kegawatdaruratan obstetri sama dengan kegawatdaruratan apa pun (melihat jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi). Tapi, perlu diingat bahwa dalam kebidanan ada dua pasien yang menjadi perhatian yaitu janin sangat rentan terhadap hipoksia ibu. Semua protokol kegawatdaruratan harus dipertimbangkan terlebih dahulu dan disepakati bersama oleh dokter kandungan, bidan, dokter umum, dan paramedis.
Pre-eklamsia/Eklamsia
Pre-eklamsia merupakan salah satu komplikasi kehamilan. Dengan pre-eklamsia, seorang ibu memiliki tekanan darah tinggi, kadar protein tinggi dalam urin yang mengindikasikan kerusakan ginjal (proteinuria), atau tanda-tanda kerusakan organ lainnya (sekalipun dalam pedoman terbaru tidak lagi memasukkan proteinuria sebagai salah satu unsur yang harus ada pada pre-eklampsi maupun eklampsia).
Preeklamsia biasanya dimulai setelah 20 minggu kehamilan pada wanita yang tekanan darahnya sebelumnya berada dalam kisaran standar/normal.
Ciri khas pre-eklamsia adalah tekanan darah tinggi, proteinuria, atau tanda-tanda kerusakan ginjal atau organ lainnya. Tanda-tanda pertama preeklamsia sering terdeteksi dalam kunjungan rutin prenatal tiap bulan.
Seiring dengan tekanan darah tinggi, tanda dan gejala preeklamsia biasanya diikuti salah satu atau bahkan lebih dari gejala dan tanda berikut:
• Kelebihan protein dalam urin (proteinuria) atau tanda-tanda lain dari masalah ginjal.
• Penurunan kadar trombosit dalam darah (trombositopenia).
• Peningkatan enzim hati yang menunjukkan masalah pada hepar.
• Sakit kepala.
• Gangguan penglihatan, termasuk kehilangan penglihatan sementara, penglihatan kabur atau sensitivitas cahaya.
• Sesak napas, disebabkan oleh cairan di paru-paru.
• Nyeri di perut bagian atas, biasanya di bawah tulang rusuk di sisi kanan.
• Mual atau muntah.
• Penambahan berat badan dan pembengkakan (edema) adalah ciri khas selama kehamilan yang sehat. Tapi, kenaikan berat badan yang tiba-tiba atau munculnya edema secara tiba-tiba terutama di wajah dan tangan.
Diagnosis pre-eklamsia terjadi jika memiliki tekanan darah tinggi setelah 20 minggu kehamilan, tekanan darah tinggi didiagnosis jika tekanan sistolik 140 milimeter air raksa (mmHg) atau lebih tinggi atau jika tekanan diastolik lebih dari atau sama dengan 90 mmHg.
Baca Juga :
- Penggunaan Antidepresan Pada Kehamilan Meningkatkan Risiko Cacat Lahir
- Sistem Imun dan Mikrobioma Ibu mampu Memprediksi Kelahiran Prematur
Solusio Plasenta
Ini adalah ancaman kematian bagi janin dan bahaya bagi ibu. Karena plasenta terpisah dari tempat implantasinya. Kerusakan pada janin terjadi bukan hanya karena terlepasnya plasenta dari dinding rahim, tetapi juga karena pelepasan prostaglandin yang menyebabkan derajat utama spasme uterus. Hal ini mengganggu perfusi plasenta, yang tetap melekat.
Gambaran klinis solusio plasenta :
Gejala
• Sakit perut.
• Syok berat dengan gejala di luar kehilangan darah pervaginam.
• Pendarahan vagina.
Tanda-Tanda
• Syok.
• Spasme rahim.
• Rahim lembek.
• Bagian janin sulit dirasakan.
• Seringkali tidak terdengar jantung janin.
Pada sebagian besar solusio plasenta, seorang ibu mengalami syok akibat kehilangan jumlah darah yang banyak. Sehingga dibutuhkan transportasi segera ke rumah sakit. Jalur intravena dengan set makro harus dipasang dan darah dikirim untuk pencocokan silang setidaknya enam unit darah.
Jika janin masih hidup dan kehamilan cukup lanjut, operasi caesar adalah manajemen terbaik. Tapi, jika janin mati, manajemen konservatif dapat dilakukan, asalkan ibu tersebut tidak mengalami pemburukan misalnya, dengan koagulopati.'
Kebanyakan ibu dengan solusio parah yang mengalami kematian janin dalam rahim akan segera melahirkan secara spontan dan melahirkan dengan mudah. Tapi operasi caesar kadang-kadang diperlukan. Pengobatan harus ditujukan pada syok dan mencegah koagulopati intravaskular diseminata.
Tatalaksana darurat obsetri yakni :
Manajemen syok
• Beri oksigen.
• Resusitasi cairan intravena.
• Uji silang darah, minimal 6 unit.
• Berikan morfin (jika janin mati).
Melahirkan janin
• Melalui operasi caesar (jika janin hidup dan kehamilan matang).
• Pecahkan selaput ketuban (jika serviks sudah matang atau janin mati).
Mengobati koagulopati intravaskular diseminata
• Konsultasi hematologi.
• Periksa jumlah trombosit.
• Berikan kriopresipitat (plasma beku segar).
• Transfusi dengan darah segar jika tersedia.
Plasenta Previa
Blastokista kadang-kadang berimplantasi di bagian bawah rahim. Peregangan dan penipisan segmen bawah otot rahim pada trimester ketiga dapat menghilangkan sebagian perlekatan plasenta. Ini disertai dengan pendarahan tanpa rasa sakit.
Aspek klinis plasenta previa adalah :
Gejala
• Pendarahan vagina : merah cerah, tidak nyeri, berulang.
Tanda-tanda
• Rahim yang lembek dan tidak disertai rasa sakit.
• Janin yang mudah diraba sering kali letak kepala tinggi, sungsang, atau letak melintang.
• Tidak ada gawat janin.
• Jangan lakukan pemeriksaan vagina.
• Pemeriksaan spekulum pada pasien rawat inap untuk menyingkirkan perdarahan lokal dapat dilakukan.
Seringkali janin tidak terpengaruh oleh pendarahan kecil diawal, tetapi ibu dan janin harus ditangani dengan serius karena ada risiko ibu mengalami pendarahan yang jauh lebih besar. Oleh karena itu, wanita dengan perdarahan vagina --berwarna merah terang dan tidak nyeri-- dianggap mengalami plasenta previa sampai terbukti sebaliknya, dan harus dirawat di rumah sakit.
Pemeriksaan ultrasonografi vagina adalah teknik terbaik untuk menyelidiki kemungkinan plasenta previa. Tapi, meskipun memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk plasenta previa sentral pada trimester ketiga, dirasa kurang tepat pada akhir trimester kedua atau untuk plasenta previa marginal. Oleh karena itu, manajemen harus selalu didasarkan pada penilaian klinis yang tepat.
Jika plasenta previa dipastikan, wanita tersebut harus tinggal di rumah sakit setidaknya selama 48 jam setelah pendarahan berhenti. Penatalaksanaannya konservatif, bahkan sampai pada tingkat pemberian transfusi darah untuk perdarahan berat, sampai janin matur (sekitar 36 minggu).
Kadang-kadang, jika plasenta berada di anterior dan hanya mengenai segmen bawah, selaput ketuban dapat pecah dan persalinan pervaginam diharapkan terjadi, karena kepala yang turun ke panggul ibu akan menekan plasenta yang berdarah ke bagian belakang simfisis pubis. Hal yang sama tidak dapat dikatakan untuk semua derajat plasenta previa posterior.
Perdarahan Post-Partum
Setelah melahirkan normal, seorang wanita biasanya kehilangan hingga 300 ml darah. Karena volume darahnya meningkat karena retensi cairan selama kehamilan. Tapi, kehilangan >500 ml yang diukur secara klinis dalam 24 jam pertama dianggap sebagai perdarahan post-partum primer. Sehingga, Ibu harus diawasi dengan cermat dan perawatan diberikan untuk mencegah kehilangan lebih lanjut.
Penatalaksanaan perdarahan post-partum primer :
Pencegahan
• Oksitosin intramuskular pada akhir kala dua persalinan.
Kuratif
• Ulangi pemberian oksitosin.
• Memicu kontraksi (massase uterus).
• Periksa kelengkapan plasenta jika tidak lahir atau lobulus hilang, bersiaplah untuk pengeluaran manual.
• Kompresi bimanual.
• Prostaglandin intramiometrium E2 atau carboprost.
• Ligasi bedah arteri uterus, arteri iliaca interna.
• Histerektomi.
Jika rahim belum berkontraksi dengan kuat, stimulasi manual dapat bekerja dengan massase uterus, dan oksitosin lebih lanjut dapat diberikan. Jika plasenta tidak lengkap, rongga rahim dieksplorasi untuk mengeluarkan lobulus/kotiledon yang tersisa dalam rongga rahim, karena dengan keberadaan kotiledon atau rongga rahim yang tidak bersih dapat mencegah uterus untuk berkontraksi.
Jika tidak satu pun dari kondisi tadi terjadi, trauma pada rahim bagian bawah, leher rahim, atau vagina bagian atas dapat menjadi penyebab perdarahan. Trauma seperti itu harus dicari (dalam teater dengan pencahayaan yang baik) dan dijahit dengan tepat.
Penyebab yang jarang dari perdarahan post-partum primer yang berkelanjutan adalah ruptur uterus. Hal ini membutuhkan diagnosis dan pengobatan dengan histerektomi atau resuturing perut.
Setelah 24 jam pertama, setiap perdarahan adalah perdarahan post-partum sekunder. Hal ini umumnya terkait dengan infeksi, yang harus diobati dengan antibiotik intravena. Jika berlanjut, evakuasi suction uterus harus dilakukan oleh dokter kandungan senior; perforasi uterus lunak merupakan risiko utama dalam situasi ini.
Komplikasi kehilangan darah yang parah dan berkepanjangan adalah koagulopati konsumtif, ketika darah ibu tidak membeku karena gangguan pada kaskade pembekuan. Kerjasama berkelanjutan dari ahli hematologi senior sangat penting.
Sang ibu terus mengeluarkan darah tidak hanya dari tempat tidur plasenta tetapi dari tempat lain di dalam tubuh. Ini membutuhkan koreksi yang tegas dan cepat sehingga koagulasi dapat dipulihkan.
Emboli Cairan Amnion
Kadang-kadang, ketika rahim berkontraksi kuat dan ada lubang antara kantung ketuban dan vena rahim, bolus cairan ketuban dipompa ke dalam sirkulasi. Kondisi ini melewati jantung, dan akumulasi sel ketuban terperangkap dalam sirkulasi paru. Cairan ketuban dapat menyebabkan koagulasi intravaskular diseminata lokal, yang dapat menyebar. Kondisi langka ini dapat terjadi pada akhir trimester terakhir atau selama persalinan.
Emboli cairan ketuban biasanya didiagnosis pada histologi hanya setelah pemeriksaan post-mortem, tapi sekarang terkadang didiagnosis sebelum kematian. Gejalanya antara lain kolaps saat mengalami kontraksi kuat, syok tanpa kehilangan darah, dispnea mendadak, dan produksi sputum berbusa.
Pengobatannya bersifat suportif, dengan steroid, ekspansi plasma intravena, dan pelahiran segera. Kegawatdaruratan obstetrik ini jarang terjadi dan memiliki prognosis buruk bagi ibu dan janin, biasanya karena keterlambatan diagnosis.
Kedaruratan obstetri adalah kondisi yang mengancam jiwa yang terjadi pada kehamilan, selama atau setelah persalinan dan melahirkan. Ada sejumlah penyakit dan gangguan kehamilan yang dapat mengancam kesejahteraan ibu dan anak.
Sangat penting untuk identifikasi dan protokol manajemen kedaruratan obstetrik, karena perawatan bersalin lebih banyak diberikan di layanan primer, bagaimanapun, dokter umum, bidan, dan paramedis akan terlibat dan harus mengetahui garis besar manajemen keadaan darurat dan kemungkinan efek sampingnya.
Jika situasi seperti ini terjadi di luar rumah sakit, maka pengaturan harus dibuat untuk membawa ibu hamil tersebut ke unit obstetri dengan aman dan segera.
Penulis : Suci Sasmita, S.Ked
Referensi :
- Robert Tchounzou. Management of Obsetric Emergencies in a Tertiary Hospital in Cameroon: A Milestone for End of Preventable Maternal Death. Open Journal of Obstetrics and Genecology. Vol. 10 No. 12. Desember 2020.
- Bhoomika Chaudhari. Obstetric Emergencies. International Journal of Scientific Research. Vol. 7. 2018.
- Geofferey Chamberlain. Obstetric Emergency. National Library of Medicine. 1999.
- Simarjeet Kaur, Poonam Sheoran, Jyoti Sarin. Review of Obstetrical Emergencies: It’s Concept and Optimal Management. Indian Journal of Forensic Medicine & Toxicology. Vol-15. 2021.
Log in untuk komentar