sejawat indonesia

Diagnosis & Manajemen Carpal Tunnel Syndrome di Layanan Primer

Carpal tunnel syndrome (CTS) adalah salah satu neuropati perifer yang paling umum terutama pada wanita paruh baya. Risiko CTS tinggi pada beberapa jenis pekerjaan yang melibatkan paparan tekanan dan kekuatan yang besar. Tidak jarang pasien datang ke layanan primer dengan dengan kesemutan dan mati rasa yang terdistribusi di tangan. Lalu bagaimana penanganan yang tepat untuk CTS di layanan primer?

Carpal tunnel syndrome (CTS) merupakan kumpulan gejala nyeri, kesemutan, hingga mati rasa yang disebabkan oleh kompresi nervus medianus saat berjalan melalui terowongan karpal pergelangan tangan dan umumnya terjadi secara kronik setelah penderita terpapar gerakan berulang (repetitif) dalam jangka waktu yang lama.

Hal tersebut menyebabkan CTS tergolong ke dalam jenis Repetitive Trauma Disorder (RTD). Meskipun begitu, CTS juga dapat terjadi secara akut akibat kekuatan paparan yang terlalu besar. Telah diketahui bahwa prevalensi CTS secara global mencapai 90% dari semua jenis neuropati. Setiap tahunnya, kejadian CTS mencapai 267 dari 100.000 populasi dengan prevalensi 9,2% pada perempuan dan 6% pada laki-laki, di usia puncak antara 40 hingga 60 tahun.

Anatomi dan Patofisiologi

Bagian dasar terowongan karpal (carpal tunnel) dibentuk oleh tulang karpal, sedangkan bagian atasnya dibentuk oleh fleksor retinakulum; yang meliputi ligamen karpal transversal.

Terdapat sepuluh struktur yang berjalan melalui terowongan karpal meliputi fleksor polisis longus, empat tendon fleksor digitorum superficialis, empat tendon fleksor digitorum profundus, dan nervus medianus. Nervus median terletak tepat di bawah ligamen karpal transversal dan merupakan struktur paling dangkal di terowongan karpal.

Cabang motorik rekuren nervus medianus paling sering bercabang dari nervus medianus proksimal ke fleksor retinakulum dan mempersarafi otot-otot tenar (m. abductor pollicis, m. flexor pollicis brevis superficial, dan m. opponens). Nervus medianus kemudian berlanjut melalui terowongan karpal ke telapak tangan di mana nervus tersebut bercabang menjadi nervus digitalis yang memberikan sensasi pada ibu jari, telunjuk, tengah, dan setengah jari manis jari manis.

Terowongan karpal terbuka baik secara proksimal maupun distal untuk mempertahankan tingkat tekanan cairan jaringan yang berbeda karena batas fibrosanya. Tekanan di terowongan karpal individu yang sehat berkisar antara 2,5-13 mmHg.

Penurunan luas penampang terowongan karpal dapat menyebabkan peningkatan tekanan yang menjadi kritis di atas 20 - 30 mmHg. Pada titik tersebut aliran darah epineural dan aliran aksoplasma terhambat, dan disfungsi saraf, edema, dan jaringan parut dapat terjadi.

Gambar 1. Anatomi Terowongan Karpal. CT pergelangan tangan, tampilan aksial dengan pergelangan tangan pronasi. Dasar terowongan karpal dibentuk oleh tulang karpal, sedangkan bagian atasnya dibentuk oleh fleksor retinakulum.

Gejala klasik dari carpal tunnel syndrome adalah mati rasa, nyeri, dan/atau parestesia pada ibu jari, telunjuk, tengah, dan separuh jari manis terutama terasa parah pada malam hari.

Fleksi dan ekstensi pergelangan tangan meningkatkan tekanan di kanal karpal, dan fleksi pergelangan tangan selama tidur dapat memperburuk gejala sehingga pasien terbangun dengan rasa terbakar dan mati rasa pada tangan. Pasien dengan penyakit sedang hingga berat dapat mengalami atrofi otot tenar dan, bervariasi, penurunan kekuatan jepitan dan cengkeraman serta dapat mengalami nyeri yang berpindah ke arah proksimal.

Etiologi, Faktor Risiko dan Klasifikasi

CTS terbagi menjadi CTS akut dan CTS kronis. CTS akut relatif jarang terjadi dan umumnya disebabkan oleh peningkatan tekanan yang cepat dan berkelanjutan di terowongan karpal. Hal ini paling sering dikaitkan dengan fraktur radius, luka bakar, koagulopati, infeksi lokal dan suntikan.

Bentuk kronis jauh lebih umum dan gejalanya dapat bertahan selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun, namun penyebabnya cenderung idiopatik. Adapun CTS yang juga dikaitkan dengan pekerjaan, biasanya termasuk dalam proses kronis.

1. CTS Akut

Bentuk akut CTS dapat dibagi menjadi traumatik dan atraumatik. CTS traumatik sering terjadi akibat trauma pergelangan tangan dan tulang karpal oleh adanya mekanisme kompresi langsung atau kompresi tidak langsung saraf melalui hematoma, pembengkakan jaringan lunak, maupun ditranseksi dalam peristiwa traumatis. Sedangkan, penyebab atraumatik yang tidak biasa dari CTS akut antara lain artritis septik, pseudogout, gout tophaceous, infeksi jaringan lunak, tendinitis kalsifikasi, kalsinosis tumor, dan sinovitis villonodular berpigmen.

2. CTS Kronis

Sebagian besar kasus CTS bersifat kronis dan idiopatik. Namun, beberapa faktor risiko telah diidentifikasi di antaranya jenis kelamin perempuan (usia puncak 40 hingga 60 tahun), bertambahnya usia, obesitas, penyakit tiroid, diabetes, kehamilan, gagal ginjal, alkohol, amiloidosis primer, dan toksisitas obat serta adanya lesi atau massa yang menempati ruang di terowongan karpal dapat menyebabkan kompresi saraf median, namun prevalensinya sangat jarang, seperti arteri median persisten, infeksi, kista ganglion, tumor, atau jaringan parut.

Artritis reumatoid juga merupakan faktor risiko karena dapat menyebabkan peningkatan tekanan terowongan karpal akibat pembentukan pannus atau sinovitis. Selain itu, penyakit cakram degeneratif serviks dapat memperumit gambaran klinis karena gejala yang tumpang tindih atau sangat mirip dengan gejala CTS.

3. CTS Terkait Pekerjaan

CTS umum terjadi pada orang dewasa usia kerja. Berbagai literatur menunjukkan hubungan antara CTS dan penggunaan alat getar, peningkatan kekuatan tangan, gerakan pergelangan tangan yang berulang, dan fleksi/ekstensi ekstrem pada pergelangan tangan.

Aktivitas kerja yang sering diasosiasikan pasien dengan timbulnya CTS adalah penggunaan keyboard dan mouse yang berlebihan, meskipun sampai saat ini belum ada bukti yang mendukung asosiasi ini. Thomsen et al, melakukan tinjauan literatur secara sistematis dan menyimpulkan bahwa tidak cukup bukti untuk kerja komputer (penggunaan keyboard dan mouse) menyebabkan CTS.

Selain itu, mereka meninjau beberapa makalah yang melihat posisi dan kekuatan yang diberikan oleh pengguna komputer dan menyimpulkan bahwa tekanan carpal tunnel meningkat dengan penggunaan keyboard dan mouse, namun tekanannya masih di bawah tingkat bahaya potensial. Oleh karena itu, pasien dengan CTS dapat dikonseling bahwa penggunaan keyboard dan mouse di tempat kerja mungkin dapat memperburuk gejala CTS.

Diagnosis

Diagnosis CTS 80% dapat ditegakkan dengan anamnesis. Klinisi harus bertanya tentang durasi gejala, tingkat keparahan dan karakter gejala, lokasi gejala, radiasi atau penjalaran, perkembangan gejala termasuk faktor yang memperingan dan memperburuk, gaya hidup/aktivitas pasien terutama yang berkaitan dengan jenis gerakan repetitif seperti mencuci pakaian menggunakan tangan dan mengulek pada ibu atau pekerja rumah tangga, dan komorbiditas apapun.

Selanjutnya perlu dilakukan pemeriksaan fisik klinis yang dapat mencakup pengujian untuk defisit sensorik dan motorik dan tanda pengecilan tenar. Ada beberapa tes khusus dengan berbagai tingkat sensitivitas dan spesifisitas.

1. Pemeriksaan Sensorik

Abnormalitas modalitas sensorik biasanya terdapat pada aspek palmar dari tiga digit pertama dan setengah radial dari digit keempat. Pemeriksaan sensorik sangat berguna untuk memastikan normalitas m. tenar, m. hipotenar, dan m. intraosseous dorsal pertama.

2. Pemeriksaan Motorik

Pemeriksaan motorik digunakan untuk menilai kelemahan m. lumbricals pertama dan kedua, m. opponens pollicis, m. abductor pollicis brevis, dan m. fleksor pollicis brevis.

3. Tes Khusus

Tes khusus menggunakan Hoffmann-Tinel sign. Meskipun sensitivitas dan spesifisitasnya rendah, tes khusus ini umum dilakukan dengan cara mengetuk langsung terowongan karpal untuk merangsang nervus medianus. Tes dikatakan positif apabila didapatkan gejala klasik CTS seperti kesemutan.

2. Tes kompresi karpal. Tes kompresi karpal sejauh ini dinilai sebagai pemeriksaan fisik terbaik untuk mengkonfirmasi CTS. Tes ini dilakukan dengan memberikan tekanan kuat langsung di atas terowongan karpal selama 30 detik. Tes ini positif ketika didapatkan parestesia, nyeri, atau gejala lain.

3. Tes Phalen. Tes Phalen dilakukan dengan meminta pasien melenturkan pergelangan tangan sepenuhnya dengan menempatkan permukaan dorsal kedua tangan selama satu menit. Tes positif jika didapatkan gejala mati rasa, kesemutan, nyeri.

4. Reverse Phalen test. Tes ini dilakukan dengan meminta pasien menjulurkan kedua pergelangan tangannya dengan menempatkan permukaan palmar kedua tangan bersamaan selama satu menit (seolah-olah sedang berdoa). Tes juga positif bila didapatkan gejala.

5. Tes palpasi. Selain itu palpasi juga dapat dilakukan untuk memeriksa jaringan lunak di atas saraf median untuk pembatasan mekanis.

6. Tes square wrist sign. Tes tanda persegi dilakukan sebagai evaluasi untuk menentukan risiko berkembangnya sindrom carpal tunnel. Tes positif jika rasio ketebalan pergelangan tangan dibagi dengan lebar pergelangan tangan lebih besar dari 0,7.

Selanjutnya, terkait pemeriksaan penunjang, sejauh ini tidak ada pemeriksaan laboratorium spesifik yang dapat membantu diagnosis carpal tunnel syndrome kecuali untuk meyakinkan adanya komorbid.

Untuk pemeriksaan pencitraan dapat dilakukan:

  • MRI terowongan carpal yang dinilai sangat berguna sebelum operasi jika diduga ada lesi yang menempati ruang di terowongan karpal,
  • USG untuk mengidentifikasi lesi yang menempati ruang di terowongan karpal serta
  • elektromiografi dan konduksi saraf yang merupakan dasar untuk diagnosis CTS, dikarenakan pemeriksaan klinis atau pemeriksaan khusus lainnya tidak dapat memastikan diagnosis CTS namun membantu mengesampingkan diagnosis lain.

Abnormalitas pada pengujian elektrofisiologi, terkait dengan gejala dan tanda spesifik, dianggap sebagai standar emas untuk diagnosis CTS. Tes elektrofisiologi juga dapat menilai tingkat keparahan kerusakan saraf dan juga menentukan prognosis. CTS biasanya dibagi menjadi ringan, sedang, dan berat. Pada pasien CTS ringan memiliki kelainan sensorik saja pada pengujian elektrofisiologis, dan pada pasien CTS sedang hingga berat memiliki kelainan sensorik plus motorik.

Manajemen

Manajemen CTS ditentukan berdasarkan derajat keparahan penyakit. CTS dengan derajat keparahan ringan hingga sedang dapat dilakukan manajemen konservatif di layanan primer. Manajemen konservatif dapat dilakukan dengan edukasi gaya hidup sehat dan modifikasi kebiasaan.

Pasien disarankan untuk memodifikasi gerakan pergelangan tangan yang memicu gejala melalui ergonomi tangan yang tepat seperti menempatkan keyboard pada ketinggian yang tepat dan meminimalkan fleksi, ekstensi, dan adduksi tangan saat mengetik dan sangat disarankan untuk mengurangi bahkan menghentikan aktivitas berulang jika memungkinkan.

Konseling tentang penurunan berat badan dan peningkatan aktivitas aerobik juga bisa bermanfaat. Penggunaan belat pergelangan tangan (wrist splint) yang dipasang saat malam hari juga disarankan untuk mengurangi risiko tangan tertindih saat tidur.

Selain itu, pemberian medikamentosa juga dapat dilakukan untuk menunjang manajemen konservatif yaitu melalui pemberian kortikosteroid oral jangka pendek dan antinyeri.

Pemberian kortikosteroid oral jangka pendek yaitu prednisolon 20 mg selama 2 minggu setiap hari diikuti dengan penurunan dosis prednisolon 10 mg selama 2 minggu setiap hari dinilai memiliki manfaat dalam memberikan outcome CTS yang lebih baik dibanding plasebo. Sedangkan, untuk mengurangi gejala nyeri pada CTS, ibuprofen dan jenis NSAID lainnya dapat menjadi pilihan terapi dengan dosis yang dapat disesuaikan sesuai rentang dosisnya.

Pemberian piridoksin (vitamin B6) 200 mg selama 12 minggu juga dinilai mampu mengurangi gejala klasik CTS. Pada tahap lebih lanjut yang mana tidak membaik dengan pemberian medikamentosa secara oral, injeksi steroid ke pergelangan tangan seringkali berhasil yang mana dapat mengurangi nyeri secara signifikan pada 60 hingga 70% pasien selama berminggu-minggu hingga bertahun-tahun.

Para peneliti mencatat bahwa injeksi steroid lokal lebih baik daripada dekompresi bedah untuk menghilangkan gejala dari parestesia nokturnal pada 3 dan 6 bulan. Pada 12 bulan tindak lanjut injeksi steroid lokal sama efektifnya dengan dekompresi bedah. Injeksi kortikosteroid yang umum digunakan yaitu triamcinolone acetonide atau methylprednisolone acetate dengan dosis 10 - 20 mg.

Terakhir, manajemen pembedahan di layanan kesehatan yang lebih baik adalah opsi terakhir setelah manajemen konservatif sama sekali tidak memberi hasil dalam prosesnya.

Referensi

  • Wright AR, Atkinson RE. Carpal tunnel syndrome: An update for the primary care physician. Hawaii J Health Soc Welf. 2019 Nov; 78(11 Suppl 2): 6–10.
  • Ibrahim I, Khan WS, Goddard N, Smitham P. Carpal tunnel syndrome: a review of the recent literature. Open Orthop J. 2012;6:69-76. doi:10.2174/1874325001206010069
  • Sevy JO, Varacallo M. Carpal Tunnel Syndrome. [Updated 2022 Sep 5]. In: StatPearls. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-
  • Joshi A, Patel K, Mohamed A, Oak S, Zhang MH, Hsiung H, et al. Carpal Tunnel Syndrome: Pathophysiology and comprehensive guidelines for clinical evaluation and treatment. Cureus. 2022 Jul; 14(7): e27053. doi: 10.7759/cureus.27053
  • Samir Shah MD. Carpal tunnel steroid injection. Overview, Indications, Contraindications. Medscape; 2021.
  • Jones MC. Management of Carpal Tunnel Syndrome. Medscape. 2010.
  • American Academy of Orthopaedic Surgeons. Management of Carpal Tunnel Syndrome Evidence - Based Clinical Practice Guideline. 2016.
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaPower Nap, Apakah Betul Bermanfaat?

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar