Eradikasi dan Vaksin Polio di Indonesia
Indonesia kembali mencatat satu kasus Polio, setelah ditemukan pada anak berusia 7 tahun di Aceh. Kasus terakhir sebelum Indonesia mendapat sertifikasi Bebas Polio, juga tercatat terjadi di Aceh pada 20 Februari 2006 lalu.
Meski dinyatakan bebas Polio sejak 2014, namun kasus yang ditemukan di Aceh tersebut, sebenarnya bukan sesuatu yang mengejutkan. Tahun 2018 lalu, ditemukan dua kasus di wilayah Yahukimo, Papua yang sempat menjadi fokus internasional dan masuk Disease Outbreak News (DONs) WHO pada 27 Februari 2019.
Apa yang terjadi di Papua dan Aceh memiliki pola yang sama, meski berbeda tipe. Di Papua, kasus yang terjadi merupakan vaccine-derived poliovirus type satu (cVDPV1), sedangkan di Aceh adalah VDPV2. Kesamaan keduanya ada pada penelusuran epidemiologi yang telah dilakukan bahwa virus polio telah bersirkulasi di dua wilayah tersebut dan mungkin saja di 28 Provinsi lain yang termasuk berisiko tinggi penularan Polio.
Dari penelusuran Kementerian Kesehatan, ada dua yang menjadi penyebab kembalinya Polio: Cakupan vaksinasi yang rendah dan kebiasaan pola hidup bersih yang kurang. Fakta-fakta tersebut menjadi bukti bahwa virus polio tidak pernah betul-betul hilang, hanya imun populasi yang kini jauh meningkat dan membuat kasus polio tidak merebak seperti beberapa tahun lalu.
Namun, fakta bahwa terjadi penurunan cakupan vaksin dua tahun terakhir, meningkatkan bahaya penularan penyakit Polio. Data rekapitulasi cakupan imunisasi polio selama waktu 3 tahun terakhir (2019-2021), masih terdapat 833.294 anak yang dilaporkan tidak atau belum mendapat dosis OPV secara lengkap. Sedangkan menurut data rekapitulasi berdasarkan provinsi dalam waktu 5 tahun terakhir, total ada 7.403.712 anak yang belum mendapat satu pun dosis imunisasi IPV.
Cakupan imunisasi yang tidak mencapai target dalam 2 tahun terakhir di masa pandemi, sistem surveilans yang tidak cukup sensitif untuk mendeteksi masuknya virus polio dari negara lain, maupun virus polio yang berasal dari vaksin (VDPV) lingkungan menjadi tantangan yang harus segera diatasi untuk meminimalkan risiko penyebaran Polio yang lebih luas.
Eradikasi Polio di Indonesia
Program eradikasi polio yang telah dilaksanakan di Indonesia terdiri dari 3 tahapan utama. Pertama, melakukan penarikan komponen tipe 2 dari vaksin trivalen Oral Polio Vaccine/vaksin Polio oral (OPV) sehingga menjadi vaksin bivalen OP, tahap kedua dengan menghentikan penggunaan OPV secara bertahap. Sebagai tahap ketiga, dilakukan pengawasan dan penanganan standar terhadap produsen vaksin yang masih perlu menyimpan komponen virus polio tipe 2 untuk keperluan produksi vaksin polio injeksi (inactivated polio vaccine/ IPV) atau mOPV2 saat terjadi KLB polio VDPV tipe 2.
Poliovirus yang terdiri dari 3 serotipe: tipe 1, 2, dan 3. Sebagian besar (90%) individu yang terinfeksi polio bersifat asimtomatik atau bila mengalami gejala biasanya sangat ringan, sedangkan sisanya (10%) mengalami gejala seperti demam, kelelahan menyeluruh, sakit kepala, muntah, kaku kuduk, dan nyeri pada ekstremitas.
Kendati hanya 1% dari individu yang terinfeksi virus polio mengalami paralisis atau kelumpuhan, namun 5-10% nya berisiko mengalami kematian akibat kelumpuhan otot-otot pernapasan. Terjadinya transmisi poliovirus dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain status imun individu, kepadatan penduduk, personal hygiene, tingkat sanitasi lingkungan dan ketersediaan air bersih, serta pemberian imunisasi rutin yang kurang adekuat.
Saat ini, vaksin polio tersedia dalam 2 jenis, OPV dan IPV dengan efikasi berbeda tetapi keduanya tetap diperlukan untuk eradikasi polio. Vaksin OPV memiliki efek lebih kuat dalam merangsang imunitas mucosal pada sistem pencernaan karena diberikan secara oral, sedangkan IPV (untuk pemberian parenteral) menstimulasi imunitas humoral secara lebih konsisten.
Sehingga, OPV bermanfaat dalam menghentikan transmisi feko-oral tetapi kurang efektif dalam memberikan efek proteksi terhadap paralisis. Sebaliknya, IPV sangat efektif untuk mencegah paralisis dan menghentikan transmisi orooral tetapi tidak untuk transmisi feko-oral. Perbedaan OPV dan IPV lainnya mencakup kemudahan dalam cara pemberian, risiko infeksi, dan harga.
Selain yang ditemukan di Aceh, situasi polio secara global memang masih mengkhawatirkan. Khusus di tahun 2022 ini masih ditemukan kasus polio yang disebabkan VDPV di Afrika, juga 1 kasus AFP di Malawi (Februari 2022) dan 1 kasus AFP di Israel (Maret 2022).
Vaksin Polio
Sejak bulan Oktober 2020, WHO telah mengeluarkan rekomendasi terbaru bagi semua negara untuk memberikan sekurang-kurangnya 2 dosis IPV, disamping OPV bivalen, dalam jadwal imunisasi rutin. Jadwal pemberian dosis IPV dianjurkan dengan formulasi 1+1, yaitu di usia 14 minggu (dosis IPV pertama) dan 9 bulan ke atas (dosis IPV kedua). Sebagai alternatif, dapat diberikan IPV di usia 6 minggu dan 14 minggu (formulasi 2 + 0).
Jadwal alternatif tersebut memberikan proteksi imun di usia lebih dini, cakupan imunisasi yang lebih baik, dan mengurangi frekuensi kunjungan untuk imunisasi. Pemberian 2 dosis IPV diperlukan untuk memperoleh neutralizing antibody dalam kadar lebih tinggi sehingga menghasilkan efek proteksi yang lebih besar terhadap paralisis akibat virus polio.
Di negara yang telah menggunakan IPV dalam program imunisasinya, WHO merekomendasikan pemberian 2 atau 3 dosis primer IPV di usia 1-6 bulan, dilanjutkan dosis booster di usia 7-24 bulan, dan tambahan booster di usia pra sekolah (4-7 tahun).
Di beberapa negara lainnya bahkan ada yang memberikan booster lanjutan juga di usia remaja dan menjelang dewasa (9-17 tahun). Pemberian dosis primer (termasuk booster) IPV, baik dengan jadwal 2+1, 3+0, maupun 3+1 menghasilkan neutralizing antibody yang tahan lebih lama terhadap virus polio, sebagaimana dibuktikan oleh beberapa penelitian.
Pada prinsipnya, masing-masing negara sepatutnya menjalankan program imunisasi polio dengan mempertimbangkan kondisi yang ada dan tujuan yang hendak dicapai. Sebagai contoh, untuk mencegah risiko importasi virus polio di masyarakat via transmisi feko-oral, maka pemberian dosis OPV. Sedangkan, untuk memberikan proteksi dasar bagi semua anak terhadap paralisis poliomielitis maka imunisasi IPV perlu diberikan sebanyak 2 dosis.
Selain pemberian imunisasi, pengamanan virus polio di laboratorium dan penguatan surveilans untuk mendeteksi kasus lumpuh layuh akut (AFP) juga dilakukan. Imunisasi dengan kedua jenis vaksin polio (OPV dan IPV) sangatlah perlu mengingat vaksin OPV hanya memberikan efek proteksi terhadap virus polio tipe 1 dan 3 saja, sementara IPV diperlukan untuk memerangi ketiga tipe virus polio (termasuk virus tipe 2).
Untuk mencegah transmisi polio, maka cakupan imunisasi polio yang tinggi dan merata harus dicapai, setidaknya 95% untuk dosis OPV dan IPV.
Referensi:
- Buletin Surveilans dan Imunisasi, Kementerian kesehatan, 2020
- Eradikasi dan IPV (Inactivated Polio Vaccine), Gendrowahyuhono, 2010
- The Current Polio Eradication Landscape: Where are We Now?, Emmanuel Vidor, MD, MSc, DTM&H, 2022
Log in untuk komentar