FOMO: Sebuah Epidemi yang Mengintai para Dokter
Burnout, kelelahan karena berbelas kasih (Compassion Fatigue), dan imposter syndrome adalah beberapa jebakan emosional yang dapat dihadapi oleh dokter dan profesional kesehatan. Kini, tambahkan FOMO ke dalam daftar tersebut.
FOMO (Fear of Missing Out) atau Ketakutan untuk melewatkan sesuatu, pertama kali diperkenalkan pada tahun 2004, frasa populer saat berbicara tentang kebiasaan di media sosial. Istilah ini menggambarkan keinginan seseorang untuk mengikuti apa yang dilakukan orang lain secara daring hanya untuk memastikan ia tidak melewatkan hal penting apa pun.
Berbeda dari jebakan psikologis lainnya, FOMO jauh lebih berbahaya sebab tidak mengumumkan dirinya ke dalam diagnosis. Ia mengendap, terbungkus dalam rasa iri tentang karier, tampilan media sosial, dan bisikan “Mengapa saya tidak berbuat lebih banyak?”
Jika dahulu FOMO dikaitkan dengan ketidakhadiran di satu pesta atau perayaan, maka kini bagi dokter, FOMO adalah tentang melewatkan terobosan penelitian, konferensi luar negeri, ketenaran di TikTok, peluang investasi, kesuksesan praktik, atau perasaan rendah diri karena Teman Sejawatnya baru saja meluncurkan brand skincare sendiri.
Beban tersembunyi di balik “Bagaimana jika saya ketinggalan?”
Kesempatan yang hilang = kesuksesan yang hilang?
Banyak dokter diam-diam dihantui oleh gagasan bahwa setiap konferensi yang terlewat, setiap artikel jurnal yang terlewat, atau setiap peluang kerja yang tidak dieksplorasi adalah kesempatan yang hilang untuk mengubah masa depan mereka. Tekanan internal yang terus-menerus itu menggerogoti kejernihan mental.
Sabotase diri akibat Media Sosial
Melihat Teman Sejawat memamerkan penghargaan, publikasi, dan bisnis mereka di media sosial, mungkin tampak tidak berbahaya. Namun, hal itu dapat memicu luapan emosi. Tiba-tiba, jadwal klinik Anda yang padat tidak terasa seperti sebuah pencapaian—Anda merasa seperti terjebak.
Menurunkan rasa percaya diri
Kekhawatiran yang terus-menerus tentang apa yang dilakukan orang lain, hanya akan membuat rasa percaya diri semakin berkurang. FOMO menyebabkan Anda memusatkan perhatian ke luar daripada ke dalam diri sendiri. Pada gilirannya, hal tersebut dapat menyebabkan Anda kehilangan identitas dan memiliki rasa percaya diri yang rendah.
Terobsesi dengan perbandingan
FOMO mendorong dokter untuk mengatakan "ya" untuk segalanya. Makalah lain? Tentu. Kuliah tamu di hari Minggu? Kenapa tidak. Shift tambahan meskipun Anda kelelahan? Ikutkan saya. Hasilnya? Anda tidak menjalani hidup Anda—Anda sekadar ingin bersaing dengan tolok ukur yang tidak terlihat.
BACA JUGA:
TikTok Medicine, Dari yang Terbaik hingga Bagian Paling Buruknya
Gejala & Penyebab FOMO
FOMO belum diakui secara resmi sebagai kondisi medis. Namun, berdasarkan temuan para peneliti, ada beberapa tanda umum yang dialami seseorang saat menelusuri media sosial dan merasa takut ketinggalan.
Beberapa gejalanya adalah:
- Menghabiskan terlalu banyak waktu menelusuri media sosial sambil mengabaikan tugas lain
- Merasa senang terutama saat menggunakan media sosial
- Mengalami kecemasan nyata ketika tidak dapat melihat apa yang sedang dilakukan teman
- Merasa bahwa harga diri bergantung sepenuhnya pada apa yang dipikirkan orang lain
- Terus-menerus merasa tersisih dari obrolan online
- Mengikuti setiap tren yang dianggap keren
- Merasa perlu bersosialisasi sepanjang waktu, baik online maupun offline
- Merasa tidak puas dengan hidup ketika tidak terhubung dengan internet.
Seperti gejalanya, tidak ada hal khusus yang menyebabkan rasa takut ketinggalan, tetapi penelitian menunjukkan beberapa kemungkinan alasan mengapa seseorang mungkin mengalami gejala FOMO:
- Aktivasi amigdala: Amigdala adalah bagian penting dari sistem limbik kita yang membantu kita memproses emosi, dan sangat penting saat kita merasa takut kehilangan. Area kecil berbentuk kacang almond di otak berkaitan dengan naluri utama kita, yang memicu rasa takut atau cemas yang menyayat hati saat kita melihat orang lain meraih prestasi besar atau mendapatkan sesuatu yang kita inginkan. Pada dasarnya, takut kehilangan hanyalah versi yang lebih tinggi dari naluri bertahan hidup kita.
- Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan akan kepuasan pribadi: Orang yang percaya bahwa mereka tidak memenuhi standar atau harapan lebih rentan terhadap FOMO. Perasaan tidak bahagia dan tidak puas menjadi lebih intens ketika mereka melihat kehidupan orang lain yang tampaknya sempurna, yang menyebabkan emosi seperti iri hati dan kebencian.
- Gejala obsesif-kompulsif: FOMO biasanya menimbulkan pikiran-pikiran yang mengganggu tentang tidak mengikuti perkembangan, dan Anda akan sering mendapati diri Anda menggulir media sosial dalam upaya untuk meredakan kekhawatiran tersebut. Hal tersebut cukup mirip dengan apa yang dialami orang-orang dengan gangguan obsesif-kompulsif yang menunjukkan kemungkinan adanya hubungan antara keduanya.
- Daya saing: Persaingan sosial, baik dalam hal status, kekayaan, atau tekanan untuk menampilkan citra yang sempurna di media sosial, dapat menyebabkan FOMO. Hal tersebut seringkali menyebabkan individu mengadopsi pola pikir pamer sekaligus menciptakan rasa takut kehilangan kehidupan orang-orang yang mengamati mereka dari dekat.
- Kecemasan sosial: Individu dengan kecemasan sosial ekstrovert seringkali merasakan dorongan kuat untuk terlibat secara daring guna meningkatkan hubungan sosial mereka. Bagi mereka yang mengalami kecemasan tentang interaksi langsung, media sosial menawarkan cara yang lebih mudah diakses untuk terhubung dengan orang lain.
Mengapa Dokter Sangat Rentan terhadap FOMO?
Kedokteran adalah bidang dengan budaya persaingan dan perbandingan
Dari masa pra-kedokteran hingga masa pensiun, dokter dipersiapkan untuk bersaing—nilai ujian, penempatan, residensi, peringkat, ulasan pasien, bahkan publikasi. Sistem tersebut tidak hanya menoleransi perbandingan; tetapi juga berkembang karenanya.
Ilusi "dokter yang lengkap"
Anda tidak hanya diharapkan untuk merawat pasien. Anda harus menerbitkan, mengajar, membimbing, berinovasi, membangun merek, menyeimbangkan waktu bersama keluarga, memiliki tubuh proporsional, dan pensiun pada usia 45 tahun. Daftar yang mustahil ini adalah tempat berkembang biaknya rasa takut ketinggalan (FOMO).
Mitos tentang 'Plate-spinning master'
Setiap kita setidaknya mengenal satu orang yang berprestasi yang mampu memainkan 12 peran sekaligus dengan bersenang-senang. Kita mengagumi mereka. Namun diam-diam, kita juga bertanya-tanya apakah kita telah gagal karena tidak mampu melakukan bahkan separuh dari yang ia bisa?
Mengatasi FOMO dengan JOMO
"Pemadaman" Meta global, yang berlangsung selama 6 jam pada tanggal 4 Oktober 2021, menyebabkan miliaran orang tidak dapat terhubung ke Facebook, WhatsApp, dan Instagram. Keadaan unik tersebut juga memberikan kesempatan bagi para peneliti untuk mempelajari stres yang disebabkan oleh penghentian aktivitas online secara tiba-tiba.
Sebuah survei menemukan bahwa pemadaman media sosial memicu intensitas internet, kecemasan, dan FOMO bagi banyak orang, selain operasi bisnis. FOMO merupakan inti dari sebagian besar kehidupan modern dan sangat sering diabaikan dan diremehkan.
Namun, survei tersebut juga menemukan bahwa beberapa orang merasakan kelegaan yang oleh para peneliti disebut JOMO (Joy of Missing Out), Kegembiraan karena tidak turut serta. Jika diimbangi dengan tepat, JOMO dapat menjadi penawar untuk mengatasi FOMO. Hal tersebut dapat membebaskan lebih banyak waktu dalam hidup untuk sepenuhnya menikmati pengalaman yang kita ketahui.
Beberapa langkah taktis selain JOMO yang dapat Anda coba untuk mengatasi FOMO:
- Tentukan versi kesuksesan Anda. Singkirkan semua kebisingan. Apakah tujuan Anda adalah perawatan pasien? Penelitian? Pengajaran? Pendapatan pasif? Ketenaran? Pilihlah dengan sengaja, bukan secara reaktif.
- Batasi doom-scrolling. Tetapkan batasan screentime. Matikan akun "Doctorpreneur" yang terlalu banyak dikurasi jika mereka lebih banyak menimbulkan rasa tidak aman daripada inspirasi.
- Rayakan kemenangan-kemenangan kecil. Selesai klinik lebih awal? Itu kemenangan. Membantu dokter muda merasa didengar? Hebat. Tidak memeriksa email setelah pukul 10 malam? Luar biasa.
- Bangunlah lingkaran dukungan yang berisi percakapan nyata. Bergaullah dengan dokter yang tidak takut mengakui bahwa mereka lelah, bingung, atau hanya ingin bekerja dari jam 9 sampai 5 dan pulang ke rumah. Normalkan rasa puas.
- Pilih satu jalur dan kuasai itu. Anda tidak perlu berada di mana-mana. Jadilah luar biasa di suatu tempat. Baik itu perawatan paliatif, kedokteran olahraga, atau menjadi dokter umum yang mengingat setiap kartu ucapan selamat ulang tahun—kuasai saja.
- Berdamailah dengan musim-musim dalam karier Anda. Ada musim untuk bekerja keras, musim untuk beristirahat, musim untuk memperbarui diri, dan musim untuk sekadar menjadi diri sendiri. Anda tidak perlu "mengoptimalkan" setiap momen.
FOMO bukan sekadar perasaan sesaat—ini adalah beban mental kronis yang ditanggung banyak dokter. Jika tidak diatasi, akan menyebabkan kelelahan, ketidakpuasan, dan keterasingan. Namun, hiduplah dengan keberanian untuk menentukan jalur kedokteran Anda sendiri. Ingat: Anda tidak ketinggalan; Anda hanyalah seorang manusia.
Referensi:
- Deniz, M. Fear of missing out (FoMO) mediate relations between social self-efficacy and life satisfaction. Psicol. Refl. Crít. 34, 28 (2021). https://doi.org/10.1186/s41155-021-
- Gupta M, Sharma A. Fear of missing out: A brief overview of origin, theoretical underpinnings and relationship with mental health. World J Clin Cases. 2021 Jul 6;9(19):4881-4889. doi: 10.12998/wjcc.v9.i19.4881. PMID: 34307542; PMCID: PMC8283615.
- Liu, X., Liu, T., Zhou, Z. et al. The effect of fear of missing out on mental health: differences in different solitude behaviors. BMC Psychol 11, 141 (2023). https://doi.org/10.1186/s40359-023-01184-5
Log in untuk komentar