sejawat indonesia

Gambaran Fenomena Imunologi pada Infeksi Berat

Imunologi berakar dari kata imunitas yang memilki arti kekebalan tubuh. Selanjutnya, menjadi ilmu pengetahuan yang secara mandiri berfokus pada kekebalan tubuh akibat dari adanya rangsangan molekul asing dari luar maupun dari dalam tubuh, baik bersifat infeksius maupun yang non-infeksius. Secara defenisi, imunologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari kemampuan tubuh melawan atau mempertahankan diri dari serangan patogen atau organisme sebagai pencetus penyakit. Dalam mencegah terjadinya penyakit oleh karena patogen atau organisme maka tubuh memerlukan imunitas. Salah satu bentuk dari respon imun yaitu dengan adanya proses inflamasi. Inflamasi didefenisikan sebagai respon proteksi terlokalisir yang distimulasi oleh cedera atau kerusakan jaringan yang bekerja dengan merusak atau menghancurkan agen penyebab maupun jaringan yang rusak. Tanda klasik inflamasi adalah merah, bengkak, panas, nyeri dan hilangnya fungsi. Mekanisme ini hanya diperlukan dalam kondisi tertentu dan dalam waktu yang terbatas saja. Akan tetapi, ketika mediator inflamasi  dan responnya memilki konsekuensi sistemik, dan jika terjadi infeksi maka akan terjadi sepsis dan akan terus berlanjut menyebabkan Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS) ataupun Multiple Organ Failure (MOF). Pada tahun 1996, oleh Bone menemukan sebuah gambaran mengenai fenomena imunologi yang sering terjadi pada pasien sepsis. Ward, N menuliskan kembali bahwa respon imunologi yang kompleks dan inkomplit terhadap infeksi berat tersebut disebutnya sebagai compensatory anti-inflamatory respons syndrome (CARS).   Compensatory Anti-Inflamatory Respons Syndrome (CARS)   CARS adalah respon kompensasi dari banyaknya senyawa anti-inflamasi sistemik yang berasal dari respon anti-inflamasi lokal. Istilah CARS biasanya mencerminkan autoimunosupresi yang disebabkan oleh kerusakan besar, seperti sepsis, luka bakar, maupun kerusakan jaringan. Inflamasi diketahui dipicu oleh dua hal, baik karena kerusakan jaringan maupun infeksi dengan patogen seperti bakteri ataupun karena produk kerusakan jaringan. Cedera jaringan yang menyebabkan pelepasan akut dari sitokin pro-inflamasi seperti tumor necrosis factor, TNF-alfa, IL-1 dan IL-6. Jika cedera berat, seperti trauma lesi luas, akan terjadi pelepasan sitokin dan non-sitokin mediator inflmasi, sehingga menimbulkan induksi dari reaksi system inflamasi. Kemampun sel imun untuk beradaptasi dalam respon inflamasi sistemik ini bergantung pada besar dan durasi respon inflamasi sistemik. Juga bergantung  pada  besar dan durasi respon kapasitas adaptasi dari penjamu. Jika kerusakan dan respon penjamu di luar kemampuan kapasitas adaptasi atau jika resusitasi yang adekuat tidak segera diberikan, kerusakan organ akan terjadi pada awal periode post-cedera. Sitokin memiliki peran penting dalam respon imun penjamu terhadap infeksi. Respon sitokin yang terkoordinasi akan memberikan respon imun yang sesuai dan resolusinya setelah pemicu inflamasi hilang. Sitokin penting karena dalam fungsinya dapat mengaktivasi neutrophil, pembentukan thrombin dan meningkatkan permeabilitas vaskuler selama ekstravasasi leukosit kejaringan yang terinfeksi. Sistem imun innate adalah lini pertama pertahanan tubuh untuk mendeteksi dan mengeliminasi mikroorganisme yang menginvasi tubuh, yang melibatkan berbagai macam sel, mulai dari makrofag, sel dendritic (DC), neutrophil, sel natural killer dan sel limfoid innate. Destruksi dan klirens dari patogen serta resolusi membutuhkan koordinasi kompleks dari beberapa jalur imun innate. Sistem imun ini memberikan respon yang sama pada semua mikroorganisme ataupun benda asing, sehingga disebut pula dengan sistem imun nonspesifik. Sistem imun adaptif mengambil alih mengambil alih sistem imun innate ketika mikroorganisme tidak dapat dieliminasi. Respon imun adaptif yang bekerja adalah Limfosi T dan antibody. Sel T ‘regulator’ (Treg) yang memiliki peran penting dalam imun adaptif, diaktivasi oleh antigen presenting cells (APC). Sedangkan, limfosit CD 8 dan Sel T sitotoksik yang menargetkan sel terinfeksi tidak disertai intervensi dari APC. Respon imun adaptive biasanya inaktif dan hanya bekerja setelah respon innate. Antibody patogen spesifik, disekresi oleh sel plasma yang telah berdeferensiasi dengan aktivitas sel B, memediasi elemen humoral dari imun adaptif. Sel B ini juga berdeferensiasi menjadi sel memori yang laten tetapi memiliki kapasitas untuk memperbanyak klon dan menghasilakn antibody melawan patogen. Menurut hipotesis dari Bone, dari disfungsi system imun, menyatakan bahwa kerusakan awal menimbulkan respon lokal pro-inflamasi dan anti-inflamasi yang kemudian menjadi reaksi sistemik dan terbagi ke dalam 3 bagian, dua diantaranya adalah compensatory anti-inflamasi resposns syndrome (CARS) dan juga systemic inflammatory respons syndrome (SIRS) yang sering kali terjadi bersamaan. SIRS adalah karakteristik dari stadium awal sepsis dan dianggap sebagai hasil dari aktivitas sel imun innate karena terjadi peningkatan sitokin pro-inflamasi seperti IL-1, IL-6, TNF- alfa, IL-12 dan kemokin seperti IL-8. Faktor yang diketahui memperburuk atau memperpanjang CARS adalah resusitasi yang tidak adekuat selama fase akut setelah trauma, infeksi persisten, nekrosis jaringan dan  translokasi bakteri atau endotoksin. Banyaknya respon pro-inflamasi yang disekresikan menyebabkan disfungsi sel endotel dan epitel, penyebaran patogen yang dapat berdampak pada multiple organ dysfunction (MOD) dan syok sepsis. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa respon penjamu terhadap inflamasi beberta dengan aktivasi jalur anti inflmasi yang bertujuan untuk melindungi penjamu dari cedera inflamasi lebih lanjut dan mengembalikan homeostatis. Respon CASR ditandai dengan, anergi kutan, penurunan limfosit akibat apoptosis, penurunan respon sitokin terhadap stimulasi monosit, penurunan jumlah human leukocyte antigen (HLA) antigen-presenting receptor pada monosit  dan ekspresi sitokin IL-10 yang menekan ekspresi TNF. Respon inflamasi paling penting adalah sitokin anti-inflamasi IL-10 yang mengurangi produksi IL-1 dan TNF-alfa kembali ke nilai normal, sehingga sepsis dan SIRS berhenti, dan tidak terjadi kegagalan organ. Selain itu, IL-10 menurunkan pula regulasi dari TNF. Berdasarkan dari penelitian Song et al, blockade aktivitas IL-10 di fase awal penyakit tidak memberikan efek pada mortalitas, tetapi meningkat setelah blockade dilakukan 12 jam setelah sepsis. Garis merah putus-putus pada gambar di atas menunjukkan kerja inhibitorik sedangkan garis biru adalah stimulatorik, sel T, monosit, dan makrofag yang saling berkaitan dan berpengaruh. Antigen yang sama (mikroba dan kerusakan jaringa) yang menstimulasi respon inflamasi respon inflamasi juga dapat menstimulasi kaslade anti-inflamasi. Mediator anti-inflmasi akan memblokade produksi sitokin pro-inflamasi. TNF dan reseptor IL-1 ditemukan di sirkulasi dan akan berikatan dan mengaktifkan TNF dan mediator pro-inflamasi IL-1. Banyak penelitian mulai berfokus pada memanipulasi sitokin untuk mengembalikan imunosupresi CARS. Karena, jika respon inflamasi pasien tidak dapat memodulasi system SIRS – CARS dengan tepat akan menyebabkan disfungsi respon imun dan keadaan immunocompromised yang mengurangi kemampuan tubuh untuk mencegah infeksi oportunistik dan sekunder.    
Referensi:
  1. Kirby R dan Linklater A. (2017). Monitoring and Intervention for the Critically Ill Small Animal: The rule of 20. UK: John Wiley & Sons. 1-2p.
  2. org [Internet]. Cologne, Germany: Institute for Quality and Efficiency in Health Care (IQWiG); 2006-. The innate and adaptive immune systems. [Updated 2020 Jul 30]
  3. Patricio P, Paiva JA, Borrego LM. Immune Response in Bacterial and Candida Sepsis. Eur J Microbiol Immunol (Bp). 2019
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaObesitas Masa Kanak, Seberapa Berpengaruh Terhadap Mortalitas dan Morbiditas Pada Masa Dewasa?

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar