sejawat indonesia

Gejala Gastrointestinal pada Hepatitis B

Virus Hepatitis B (HBV) dapat menyerang semua umur, gender, dan ras di seluruh dunia. Virus ini dapat menyebabkan peradangan hati akut atau kronis yang dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati. HBV adalah virus DNA yang termasuk keluarga hepadnaviridae dengan ukuran sekitar 42 nm, mempunyai lapisan luar (selaput) yang berfungsi sebagai antigen HBsAg, bagian inti dengan partikel HBcAg, dan HbeAg. Masa inkubasinya berkisar antara 15-180 hari dengan rata-rata 60-90 hari. 

Penularan HBV dapat terjadi secara horizontal yaitu parenteral melalui suntikan, transfusi darah, operasi, tusuk jarum, rajah kulit (tato), dan hubungan seksual, serta melalui transmisi vertikal dari ibu ke anak melalui plasenta. Penanda HBsAg dapat diidentifikasi pada hampir setiap cairan dari orang yang terinfeksi yaitu saliva, air mata, cairan seminal, cairan serebrospinal, dan air susu ibu. 

Beberapa cairan seperti semen dan saliva diketahui infeksius. Terdapat 4 fase patofisiologi virus dalam menginfeksi host yaitu fase imunotoleran, imunoaktif, serokonversi, dan resolusi.

  • Pada fase imunotoleran, respon imun tubuh terhadap virus masih terbatas sehingga hanya terjadi peningkatan minimal aminotransferase serum walaupun HBsAg, HBeAg, dan HBV DNA (Hepatitis B Virus Deoxyribonucleic Acid) dalam serum tinggi. Pada fase ini, virus bereplikasi aktif namun kelainan histologis dan gejala klinis yang ditimbulkan masih minimal.
  • Pada fase imunoaktif, terjadi respon sel imun bawaan dan didapat terhadap infeksi HBV yang berujung pada destruksi hepatosit yang terinfeksi, secara histologi dapat ditemukan aktivitas nekroinflamasi pada sel hati. Fase ini sangat bergantung pada imunitas yang terinfeksi, jika respon imun tidak cukup kuat untuk membersihkan virus, maka infeksi dapat berlangsung kronis hingga bertahun-tahun.
  • Kemudian, fase serokonversi atau immune control, yang ditandai oleh terbentuknya anti-HBe. Pada fase ini, dapat terjadi tiga kemungkinan, yaitu: 1) Penurunan replikasi virus disertai penurunan aminotransferase dan HBV DNA yang rendah (Hep. B inaktif); 2) Kembali ke fase imunoaktif, melalui serokonversi ke HBeAg positif; 3) Peningkatan HBV DNa, ALT, namun HBeAg yang negatif.
  • Terakhir adalah fase resolusi yang yang merupakan fase penyembuhan, ditandai dengan menghilangnya HBsAg diganti dengan pembentukan anti-HBs.


Struktur Virus Hepatitis B (HBV)
Pasien yang terinfeksi pada awal kehidupan berisiko tinggi untuk menjadi infeksi hepatitis B kronis yaitu 90% apabila terinfeksi pada masa neonatus, 30-50% jika terinfeksi pada umur 1-5 tahun. Hanya 5% kemungkinan perkembangan infeksi kronis jika terkena di usia anak atau dewasa. 

Risiko terjadinya infeksi kronis juga tergolong tinggi pada pasien immunocompromised. Jika tidak diatasi, pengkerutan jaringan hati dapat terjadi yang disebut dengan sirosis dan berpotensi untuk berubah menjadi karsinoma hepatoseluler. Diagnosis hepatitis B didasarkan pada riwayat pasien, pemeriksaan fisis, pemeriksaan laboratorium, dan modalitas radiologi. 

Gejala awal yang muncul biasanya nonspesifik berupa anoreksia, mual muntah, nyeri perut, urine warna gelap, feses berwarna dempul, dan ikterus. Pada kasus lanjut dengan gangguan fungsi hati yang berat, dapat menyebabkan ensefalopati hepatik, koma, asites, perdarahan gastrointestinal, koagulopati, maupun infeksi. 

Pada fase kronis, yaitu terjadinya infeksi hepatitis B selama lebih dari 6 bulan, imunitas pasien biasanya telah mentoleransi infeksi, sehingga virus menjadi inaktif dan pasien tidak bergejala (asimptomatik). Namun pada kondisi tertentu, dapat terjadi hepatitis B kronis aktif, di mana pasien biasanya bergejala seperti pada hepatitis B akut. 
Perjalanan serologis HBV. HBsAg muncul sekitar 1 bulan (rentang 1-9 minggu) pasca paparan hepatitis B, sedangkan gejala klinis umumnya muncul 12 minggu setelah paparan HBV. Jika HBsAg positif, umumnya DNA HBV juga akan positif. HBeAg umumnya muncul pada awal infeksi akut, kemunculan HBeAg akan diikuti oleh terbentuknya antibodi anti HBe. igM anti HBC muncul di awal gejala dan menghilang dalam 6-9 bulan yang berfungsi sebagai marker infeksi akut. IgM ini juga akan meningkat pada eksaserbasi akut infeksi hepatitis B kronis. AntiHBs muncul pada periode penyembuhan (convalescence) dan setelah HBsAg hilang. Periode waktu antara hilangnya HBsAg dan munculnya AntiHBs sering disebut sebagai periode jendela (window period). Hanya IgM AntiHBc dan Total AntiHBc yang akan memiliki hasil positif pada window period tersebut.

Apabila hepatitis B kronis terus berkembang, maka dapat terjadi sirosis hingga karsinoma hepatoselular. Salah satu penyebab munculnya komplikasi gastrointestinal adalah berkembangnya sirosis hati yang menyebabkan hipertensi portal. Hipertensi portal didefinisikan sebagai gradien tekanan vena hepatik > 5 mmHg. Komplikasi yang ditimbulkan akibat hipertensi portal seperti munculnya asites dan/atau varises esofagus dan gaster biasanya terjadi dengan tekanan vena portal > 10 mmHg. 


Perdarahan gastrointestinal dapat disebabkan oleh hipertensi portal akibat sirosis atau invasi tumor pada vena portal yang menyebabkan trombosis dan gastropati hipertensi portal. Mekanisme terjadinya gastropati pada hipertensi portal masih terjadi perdebatan, namun hipertensi portal dipastikan menjadi penyebab awal munculnya keadaan ini. Sumber perdarahan gastrointestinal biasanya dari ruptur hepatoma ke traktus gastrointestinal, perdarahan dari tumor intrahepatik, atau perdarahan yang berasal dari pembuluh darah traktus gastrointestinal. 

Prognosis dari pasien dengan karsinoma hepatoselular dengan gejala gastrointestinal biasanya buruk, karena perdarahan yang ditimbulkan masif dan/atau dapat terjadi gagal hati. Asites merupakan salah satu gejala gastrointestinal yang sering terlihat pada hepatitis B yang telah berkembang menjadi sirosis. Hal ini disebabkan oleh multifaktor, namun penyebab utamanya adalah disregulasi hormonal pada kondisi hipertensi portal. Asites biasanya tidak disertai dengan nyeri, jika disertai dengan nyeri biasanya diakibatkan oleh distensi abdomen, atau adanya infeksi sekunder seperti pada Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) atau karsinoma hepatoselular. 

Sebuah penelitian oleh Ji song (2019) menemukan adanya hubungan erat antara infeksi HBV dengan kejadian kanker non-liver di antaranya yang terbanyak adalah kanker pada saluran cerna (beberapa kasus terjadi di cina). Beberapa kanker digestif yang dilaporkan adalah kanker gaster, kanker kolorektal, kanker oral, kanker pankreas, hingga limfoma. 

screening adanya kanker sistem digestif pada pasien Hepatitis B dianjurkan oleh beberapa klinisi. Penelitian yang dilakukan oleh peng et al (2012) menemukan terdapatnya efek buruk HBV terhadap mukosa gaster. Pada studi ini, dikonfirmasi bahwa protein X dari HBV dapat menyebabkan/memperberat ulkus gaster. Hal tersebut berdasarkan temuan bahwa protein X HBV ditemukan dalam kadar yang tinggi pada pasien dengan infeksi hepatitis B kronis dengan ulkus gaster. Protein X HBV dikaitkan dengan kejadian atrofi, metaplasia, dan perdarahan dari mukosa gaster sehingga dapat menyebabkan/memperberat terjadinya ulkus gaster. 

Beberapa gejala gastrointestinal lain yang dapat terjadi pada pasien dengan infeksi HBV yaitu gastroesophageal reflux disease (GERD), yang ditandai dengan sensasi terbakar pada daerah ulu hati, regurgitasi asam lambung, hingga dapat terjadi esofagitis erosif. Hubungan kejadian GERD dengan infeksi kronis HBV ini juga dipengaruhi oleh jenis kelamin, di mana pada perempuan lebih berisiko untuk HBV berkembang menjadi esofagitis erosif, dan kadar APRI (aspartate aminotransferase to platelet ratio index). Carrier HBV dengan kadar AST atau trigliserida (TG) yang tinggi juga meningkatkan risiko terjadinya esofagitis erosif.

Ketahui tatalaksana terbaru untuk Hepatitis B melalui Live CME di link berikut ini: 

Referensi

Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaDiagnosis dan Penanganan Penyakit Ginjal Kronis

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar