sejawat indonesia

Indonesia 2030: Mungkinkah Menjadi Wilayah Bebas Malaria?

Malaria adalah salah satu infeksi pada manusia yang paling umum di seluruh dunia. Lebih dari 40% populasi dunia tinggal di daerah endemis malaria. Jumlah pastinya tidak diketahui, tetapi diperkirakan 300 hingga 500 juta kasus dan 1,5 hingga 2,7 juta kematian terjadi setiap tahun. Sembilan puluh persen kematian terjadi di Afrika Sub-Sahara, mayoritas melibatkan anak-anak usia di bawah 5 tahun. Malaria secara tidak proporsional mempengaruhi masyarakat miskin, di mana morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi sebagian besar dapat dikaitkan dengan kurangnya akses ke pengobatan yang efektif; 60% kematian akibat malaria di seluruh dunia terjadi pada 20% penduduk termiskin. Selain anak-anak, wanita hamil (terutama primigravida) dan individu yang tidak memiliki imunitas (misalnya, pelancong, pekerja asing) berada pada risiko tertinggi terdampak malaria.

Spesies Plasmodia adalah parasit yang menjadi penyebab terjadinya malaria. Hanya 4 dari lebih 100 spesies plasmodia yang menular ke manusia. Mayoritas kasus dan hampir semua kematian disebabkan oleh Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale dan Plasmodium malariae. Malaria hadir dalam berbagai derajat di 105 negara, yang sebagian besar mengandung strain yang resistan terhadap obat. Lebih dari 90% dari semua kasus malaria terjadi di Afrika, dan sebagian besar disebabkan oleh P. falciparum. Spesies ini juga mendominasi di Haiti dan Republik Dominika. Di Meksiko, Amerika Tengah dan Selatan, Mediterania, Asia dan Oseania.

Di Indonesia, berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan (Kemenkes), total kasus malaria di Indonesia mencapai 94.610 kasus pada 2021. Kasus pada tahun 2021 dilaporkan megalami penurunan 58,2% dibandingkan pada tahun sebelumnya mencapai 226.364 kasus. Jika dilihat trenya, sejak 2018 kasus malaria sempat meningkat pada tahun 2019 mencapai 250.628 kasus. Kemudian, diikuti pada tahun 2021 dengan tren yang menurun.

Kasus malaria tertinggi masih terkonsentrasi di Indonesia bagian timur. Papua menjadi provinsi dengan kasus malaria tertinggi di Tanah Air, yakni mencapai 86.022 kasus hingga saat ini. Proporsi kasus malaria yang terjadi di provinisi tersebut mencapai 90,9% dari total kejadian kasus. Kemudian disusul oleh Nusa Tenggara Timur dengan kasus malaria mencapai 2. 393 kasus (2,5%). Setelahnya ada papua barat dengan kasus malaria sebanyak 1.841 kasus (1,94%).

Sementara itu, Bengkulu, Banten, dan DI Yogyakarta menjadi provinsi dengan kasus malaria terendah. Saat ini Bengkulu menjadi provinsi yang bebas dari kasus malaria. Lalu, di Banten hanya ada 1 kasus malaria yang terjadi (0,001%), serta di DI Yogyakarta hanya ada 4 kasus malaria (0,004%).

Ditinjau dari tren kasus tiap tahun, dan penyebaran di tiap daerah, kementrian kesehatan (Kemenkes) menargetkan pada tahun 2030, Indonesia akan mencapai wilayah bebas malaria. Keiinginan besar tersebut telah didahului oleh pencapaian-pencapaian sebelumnya, dimana beberapa daerah pada tingkat kabupaten kota pada tahun 2021, sebanyyak 347 dari 517 kabupaten/kota atau sekitar 28% sudah dinyatakan mencapai eliminasi.

Dilihat dari mekanisme penyakit malaria ini, pemahaman kita tentang penularan dan patogenesis telah berkembang jauh dari kepercayaan abad ke-18 bahwa malaria berasal dari miasmatik (mal, buruk; aria, udara). Apresiasi siklus hidup dan transmisi plasmodia dan patofisiologi infeksi adalah kunci untuk memahami proses penyakit.

Siklus hidup parasit malaria, yang mencakup nyamuk dan inangnya yaitu manusia, ditunjukkan pada gambar di bawah. Parasit ini ditularkan oleh nyamuk Anopheles yang menggigit pada malam hari. Iklim hangat dengan kelembaban tinggi dan hujan lebat menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi nyamuk dengan meningkatkan area perkembangbiakan dan memperpanjang kelangsungan hidup, sehingga memudahkan penularan. Malaria yang didapat di dalam negeri dapat terjadi tetapi jarang.

 

Gambar: Siklus hidup plasmodia. Tahap manusia (aseksual) dari siklus hidup dimulai dengan fase eksoeritrositik. Ketika nyamuk yang terinfeksi menggigit manusia, sporozoit dalam air liur nyamuk memasuki aliran darah (1). Sporozoit melakukan perjalanan ke hati, di mana mereka menyerang sel hepatosit (2); selama periode hingga 4 minggu, hepatosit yang terinfeksi matang menjadi skizon. Pada infeksi Plasmodium vivax dan P. ovale saja, beberapa skizon dapat tetap dorman sebagai hipnozoit (3) selama berminggu-minggu hingga bertahun-tahun sebelum menyebabkan kekambuhan klinis. Dengan pecahnya skizon, merozoit dilepaskan ke dalam aliran darah (4). Pada fase eritrositik, merozoit menginvasi eritrosit dan menjalani siklus reproduksi aseksual (5) atau berkembang menjadi bentuk seksual yang tidak berkembang biak (gametosit) (6). Gametosit ini sangat penting untuk melanggengkan siklus hidup, karena mereka dicerna oleh nyamuk yang sedang makan (7) dan menjalani reproduksi seksual di dalam usus nyamuk; ribuan sporozoit infektif (8) diproduksi, yang kemudian bermigrasi ke kelenjar ludah, siap untuk memulai siklus hidup lain.

Patogenesis malaria paling baik dipahami untuk infeksi P.falciparum. Beberapa faktor berkontribusi terhadap keparahan penyakit klinis. Beban parasit yang tinggi dikombinasikan dengan kemampuan unik eritrosit yang terinfeksi menempel pada endotel inang yan berkontribusi terhadap oklusi mikrovaskular, gangguan metabolik dan asidosis, yang mengarah pada manifestasi malaria berat (sindrom gangguan pernapasan akut, insufisiensi ginjal, dan malaria serebral). Selain itu, respons sitokin yang kuat terhadap protein parasit yang dilepaskan selama ruptur skizon dapat berkontribusi pada hasil klinis yang merugikan. Manifestasi penyakit mungkin juga terkait dengan hemolisis intravaskular dan konsumsi glukosa oleh parasit. Faktor pejamu seperti penyakit sel sabit dan defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase dapat mengubah keparahan penyakit. Infeksi yang disebabkan oleh P. vivax, P. ovale dan P. malariae umumnya lebih ringan daripada malaria falciparum.

Sebagian daerah yang masih tergolong endemis, dapat dilakukan pencegahan dengan pengendalian vector. Pengendalian vector telah menemui keberhasilan dengan kemoprofilaksis yang ditargetkan dan kelambu yang diresapi permetrin telah berhasil digunakan melawan malaria di wilayah ini.

Kemoprofilaksis massal di daerah endemik tidak memungkinkan karena alasan keuangan dan lainnya. Namun, kemoprofilaksis yang ditargetkan pada wilayah yang berisiko tinggi terkena malaria berat (anak-anak dan wanita hamil, terutama primigravida) telah berhasil diterapkan di beberapa daerah. Pencegahan malaria berat menghasilkan lebih sedikit kunjungan perawatan akut dan mengurangi rawat inap di rumah sakit. Meskipun episode "rebound" malaria dapat terjadi setelah profilaksis dihentikan, hal ini tampaknya tidak terkait dengan peningkatan kematian, dan kekebalan klinis.           

Saat ini tidak ada vaksin yang efektif melawan malaria. Seperti disebutkan sebelumnya, respon imun pejamu terhadap malaria hanya memberikan perlindungan parsial terhadap infeksi berikutnya. Kelimpahan target antigenik yang mungkin, kurangnya reaktivitas silang di antara target-target ini dan kemampuan parasit yang ditunjukkan untuk menghindari respons imun manusia menimbulkan tantangan luar biasa dalam pengembangan vaksin malaria yang efektif. Manipulasi molekuler genom nyamuk untuk menciptakan nyamuk yang tidak mampu terinfeksi dan menularkan malaria (nyamuk transgenik) merupakan cara yang menarik untuk pencegahan malaria tetapi belum direalisasikan. 

Malaria adalah infeksi yang dapat dicegah yang telah membawa beban global yang sangat besar. Sebagian besar kasus dan kematian malaria terjadi di daerah miskin di dunia di mana malaria adalah endemik, dan penyakit ini menimbulkan beban ekonomi yang signifikan bagi daerah tersebut. Lebih banyak perhatian dan sumber daya tambahan harus diberikan untuk meningkatkan pencegahan, pengendalian dan pengobatan jika pengendalian malaria global ingin dicapai. Keterlambatan dalam mencari perawatan medis, salah diagnosis dan pengobatan yang tidak tepat atau tertunda dapat mengakibatkan hasil yang buruk. Dokter yang tidak terbiasa dengan diagnosis dan manajemen malaria harus segera berkonsultasi dengan spesialis penyakit menular atau kedokteran tropis jika dicurigai malaria.  

Jika dilihat dari pemahaman menganai mekanisme penyakit malaria, serta perkembangan dalam mencegah penyakit malaria ini, bukan hal yang sulit untuk mewujudkan cita-cita Indonesia untuk sampai pada wilayah bebas malaria pada tahun 2030.

Referensi:

Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaPeran Vitamin D untuk Keadaan Alergi pada Anak

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar