sejawat indonesia

Peran Vitamin D untuk Keadaan Alergi pada Anak

Penyakit alergi (atopi) merupakan hasil interaksi antara kerentanan genetik dan paparan faktor lingkungan. Data yang ada memperlihatkan genetik berkontribusi sebanyak 50% dalam menyebabkan penyakit alergi, dengan heretabilitas antara 36%-79%.

Sejak awal abad ke-20, penyakit alergi terus menunjukkan peningkatan yang signifikan mulai dari asma, dermatitis atopi, dan alergi makanan pada masyarakat barat. Dengan faktor genetik, faktor lingkungan, faktor nutrisi mulai dari masa neonatal juga berperan penting dalam perkembangan alergi. Oleh karena itu, terdapat cara untuk menunda maupun mencegah onset dari keadaan alergi ini. Prevalensi alergi makanan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, sedangkan dalam beberapa dekade terakhir, terdapat peningkatan defisiensi vitamin D global pada semua umur. 

Peran vitamin dalam fisiologi kalsium dan tulang telah lama diketahui, namun ternyata kalsitriol (bentuk aktif vitamin D) juga mempengaruhi sel epitel, sel T, sel B, makrofag, dan sel dendritik. Hampir semua sel imun adaptif mengekspresikan reseptpr vitamin D yang menandakam bahwa sel-sel tersebut responsif terhadap rangsangan vitamin D. Temuan ini yang menyebabkan Peran vitamin D dalam mencegah alergi makanan mulai banyak diteliti.  

Vitamin D memiliki peran penting pada keadaan alergi. 7-Dehydrocholesterol (7-DHC) pada kulit manusia akan diubah menjadi previtamin D3 setelah terpapar sinar ultraviolet B (UVB) dan akan diubah menjadi vitamin D3 (kolekalsiferol) melalui induksi termal.

Vitamin D3 juga dapat berasal absorbsi saluran cerna melalui diet dan suplemen. Vitamin D3 dalam sirkulasi akan mengalami hidroksilasi di hati menjadi 25-hydroxyvitamin D3 (25-OH-D3), kemudian akan mengalami hidroksilasi dalam ginjal menjadi bentuk biologis aktifnya yaitu 1,25-dihydroxyvitamin D3 (1,25[OH]2D atau kalsitriol).

Indikator terbaik untuk mengukur status vitamin D serum adalah dengan mengukur kadar 25(OH)D3 serum yang mewakili seluruh intake dari makanan yang mengandung vitamin D, dan paparan sinar matahari. Pasien dengan obesitas memiliki risiko yang tinggi untuk mengalami  defisiensi vitamin D, dikarenakan gaya hidup dan juga uptake vitamin D pada jaringan lemak. Beberapa pasien dengan obesitas juga tidak mendapatkan manfaat dari vitamin D dikarenakan adanya mutasi genetik yang mengganggu metabolisme vitamin D.

Sebuah studi menemukan 35 genetik berhubungan dengan kadar abnormal 25 (OH)D3 pada serum. Vitamin D bekerja melalui reseptor vitamin D (VDR/Vitamin D Receptor) yang terdapat di beberapa jaringan,  menunjukkan pentingnya vitamin D di berbagai fungsi sel dan jaringan. Dalam beberapa tahun terakhir, peneliti mulai menunjukkan ketertarikan terhadap efek vitamin D terhadap mekanisme immunologis sebagai salah satu faktor lingkungan yang dapat dimodifikasi.

Sistem imun pada manusia dibagi menjadi dua yaitu adaptif dan innate, dan terdapat banyak penelitian yang membuktikan manfaat vitamin D pada kedua jenis sistem imun ini. Efek immunomodulator ini didapatkan setelah ditemukannya reseptor vitamin D/VDR (Vitamin D receptor) dan hidroksilasi 25(OH)D pada berbagai jenis sel.

Reseptor vitamin D ditemukan pada hampir seluruh sel di tubuh manusia, termasuk sel T, sel B. neutrofil, makrofag, dan sel dendritik. Vitamin D telah dibuktikan berpengaruh terhadap beberapa aspek dari sistem imun. Vitamin D menghambat ekspresi TLR (Toll-like receptor) pada monosit, menghambat produksi sitokin proinflamasi, dan mengindukai sintesis peptida antimikroba. Efek immunomodulatori dari vitamin D didapatkan dari jalur inflamasi melalui ikatannya dengan VDR yang di ekspresikan di berbagai sel imun seperti sel B, sel T, sel dendritik, dan makrofag.

Kebanyakan dari sel-sel ini, seperti sel makrofag dan dendritik yang aktif dapat memproduksi vitamin D yang aktif dari sirkulasi 25(OH)D3. Vitamin D juga berperan pada sistem imun adaptif, terutama pada fungsi sel T, dan antigen presenting cell (APC).

Sebuah studi menemukan adanya kaitan vitamin D dengan sekresi sitokin oleh Th1 dan inhibisi proliferasi sel T. Hubungan langsung vitamin D dengan sel Th2 masih belum terlalu jelas dan masih kontradiksi, dengan laporan bahwa vitamin D dapat meningkatkan maupun menurunkan ekspresi sitokin oleh Th-2 seperti IL-4, IL-5, dan IL-10 pada sampel kultur darah perifer. Studi lain menunjukkan bahwa vitamin D memiliki kemampuan untuk menghambat aktivitas Th-1 (T-helper 1) dan Th-2 (T-helper 2) dengan menghambat produksi IL-12, IFN-γ, IL-4, IL-13.

Tampaknya vitamin D berperan pada keseimbangan fungsi Th-1, dan Th-2, yang relevan terhadap reaksi alergi. Ekspresi dari CP27B ekstra-renal juga dapat meningkatkan kadar vitamin D lokal yang juga berperan dalam pembentukan respon imun adaptif.

Vitamin D memiliki efek antiproliferasi yang poten melalui efek CD4+ Sel T dan juga menghambat fungsi sel limfosit T secara langsung atau melalui APCs (antigen-presenting cells). sel Th-1 berperan dalam efek patogenik pada pasien alergi khususnya pada keadaan alergi kronik, seperti apoptosis sel epitel, aktivasi otot polos dan sekresi mukus. Selain menghambat sitokin pro-inflamasi yang di induksi oleh Th-1, Vitamin D juga diketahui bekerja pada sel Th-17 untuk menekan produksi IL-17.

Rausch-Fan et al menemukan bahwa vitamin D dapat memodulasi produksi sitokin pada sel mononuklear perifer dan alergen spesifik sel T-helper, sebuah efek yang bergantung pada waktu dan konsentrasi vitamin D. Sel T regulator (Tregs) yang terbentuk secara natural, maupun terinduksi, memegang peranan penting dalam menjaga homeostasis imun sebagai respon paparan alergen melalui supresi Th2 yang menyebabkan respon inflamasi seperti eosinogilia saluran napas, hipersekresi mukus, maupun hiper-responsivisitas saluran napas.

Sel T regulator bekerja dengan mensupresi reaksi imun melalui  IL-10 dan TGF-beta, dan juga limfosit T sitotoksik. IL-10 yang disekresi akan menginhibisi allergen yang mengaktivasi reaksi imunitas oleh Th-2 yang akan meregulasi sensitisasi alergi. Vitamin D dan reseptornya (VDR) sangat penting dalam perkembangan Natural Killer Cell (NK Cell) dan produksi IL-4 dan IFN-γ. Sel NK berkontribusi terhadap inflamasi saluran napas yang dimediasi oleh sel T, dan mampu memproduksi beberapa sitokin pro inflamasi seperti IFN-γ, TNF-α, GM-CSF, dan MIP-1a melalui stimulasi igE.

Du et al dalam sebuah studinya mengenai hubungan antara kadar vitamin D dan eksaserbasi asma menemukan 3 varian dari class I MHC–restricted T cell–associated molecule gene (CRTAM), yang banyak di ekspresikan oleh sel CD8+ dan sel NKT yang aktif. Temuan ini dapat menjelaskan mekanisme vitamin D dalam mencegah eksaserbasi Asma melalui sel CD8+ dan sel NKT, terutama saat terjadinya infeksi virus.

Gambar. Reseptor vitamin D di ekspresikan di seluruh jaringan tubuh manusia. Terdapat hubungan signifikan antara kadar vitamin D dengan risiko immunologis, metabolik, dan neoplastik. Selain itu, data epidemiologis menunjukkan peran vitamin D dalam patogenesis alergi makanan. Vitamin D mempengaruhi fungsi dari makrofag l, sel dendritik, sel B, sel T dan sel epitel yang berperan dalam respon imun baik adaptif maupun innate. Sel-sel ini akan mengubah pro-hormon di sirkulasi menjadi aktif. Akibat rangsangan vitamin D, sistem imun innate mampu menghasilkan peptida antimikroba seperti kethelicidin yang memegang peran penting dalam integritas mukosa dan meningkatkan patensi barrier epitel melalui stimulasi ikatan gen. Sehubungan dengan respon imun adaptif, VDR agonist diketahui berperan pada fungsi sel Th1 dan Th2, menstimulasi teloransi sel dendritik dan regulasi CD4+, CD25+ Foxp3+, T cells, menghindari maturasi sel dendritik, dan mencegah sintesis igE alergen spesifik. Pada studi in vitro dengan paparan 1,25(OH)2D terhadap CD4, akan mengubah menjadi sel Treg  yang memproduksi IL-10. Selain itu,  terdapat supresi kadar igE yang di produksi oleh sel B, melalui produksi sitokin antiflogistik dan tolerogenik.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Mullins et al pada 115 pasien usia kurang dari 72 bulan, didapatkan hubungan yang signifikan antara alergi kacang dan kadar defisiensi vitamin D pada neonatus. Dengan mengacu pada referensi nilai normal 25(OH)D3 yaitu 50-74.90nmol/L, kadar 25(OH)D3 diatas nilai tersebut (75-99 nmol/L) dikaitkan dengan menurunnya insiden alergi kacang. Pada kadar ≥ 100 nmol/L, tidak terdapat reduksi insiden alergi tambahan.

Sedangkan pada kadar 25(OH)D3 < 50 nmol/L ditemukan insiden alergi yang sama dengan kelompok dalam kadar referensi (50-74.90nmol/L), tidak terdapat insiden alergi tambahan pada kedua kelompok. Sebuah studi oleh NHANES dengan menggunakan 3000 sampel representatif di amerika serikat menemukan hubungan antara defisiensi vitamin D dan kadar igE spesifik yang lebih tinggi.

Oleh karena itu, dapat dengan mudah tersensitisasi oleh beberapa alergen baik makanan maupun lingkungan pada anak dan remaja, namun tidak pada dewasa.

Namun studi oleh Hypponen et al pada pasien dewasa dengan kadar  25(OH)D3 sirkulasi yang tinggi maupun rendah dikaitkan dengan peningkatan igE secara non-linear. Selain itu studi lain juga menemukan peningkatan sensitisasi alergi pada makanan didapatkan pada sampel ibu hamil yang tidak mendapatkan suplemen vitamin D yang adekuat.

Sebuah studi cross-sectional di korea dengan menggunakan 226 bayi (168 bayi dengan dermatitis atopi/74.3%, dan 58 bayi dengan alergi makanan tanpa dermatitis atopi, yang berumur 3-24 bulan) menunjukkan bahwa defisiensi vitamin D meningkatkan risiko sensitisasi alergen dari bahan makanan susu dan gandum.

Dalam sebuah studi kasus kontrol, prospektif observasional yang melibatkan 111 anak dibawah umur 2 tahun, ercan et al menemukan hubungan antara alergi protein susu sapi dan kadar 25(OH)D3. Lebih lanjut, mereka menemukan adanya hubungan antara kadar 25(OH)D3 dengan ukuran indurasi skin prick test, igE terhadap susu sapi, dan igE terhadap kasein.

Pada Asma, Bosse et al menemukan bahwa vitamin D meningkatkan bioavibilitas glukokortikoid pada sel otot polos bronkial yang membuktikan manfaat vitamin D dalam pencegahan asma. Pemberian tambahan vitamin D dapat menambah respon kortikosteroid pada asma, Castro et al menemukan bahwa penambahan vitamin D pada terapi standar asma dapat mencegah perburukan dari gejala maupun serangan Asma.

Pada dermatitis atopi, ditemukan bahwa kadar vitamin D yang rendah berbanding lurus dengan derajat keparahan dari dermatitis atopi. Koreksi defisiensi vitamin D dini bermanfaat terhadap jaringan mukosa, dan menjaga ekologi mikroba fisiologi,toleransi terhadap alergen, dan menurunkan risiko terjadinya alergi makanan pada anak. Alergi makanan diketahui menjadi pemicu terjadinya dermatitis atopi dan prevalensi alergi makanan yang dimediasi oleh igE diketahui 35% disebabkan oleh anak dengan dermatitis atopi.  

Referensi:

 

 

 

Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaPenanganan Asma Bronkial dalam Praktik Klinis

Event Mendatang

Komentar (1)
Dian Safitri
Posted at 05 November 2022 13:08

👏🏽👏🏽👏🏽👏🏽👏🏽

Komentar

Log in untuk komentar