sejawat indonesia

Melihat Efek Samping Kardiovaskular Terhadap Pasien Dengan Terapi Hemodialisis

Lebih dari setengah pasien meninggal yang mengalami ESRD (End-Stage Renal Disease) diakibatkan oleh adanya penyakit kardiovaskular. Beberapa perubahan kardiovaskular akibat disfungsi renal seperti overload cairan, kardiomiopati uremikum, hiperparatiroid sekunder, anemia, dan perubahan metabolisme lipid menjadi penyebab mortalitas kardiovaskular yang tinggi pada ESRD. Pasien yang menjalani hemodialisis (HD) juga memiliki banyak risiko terhadap mortalitas dan morbiditas kardiovaskular. Kematian akibat insiden kardiovaskular pada pasien yang menjalani hemodialisa terhitung sebanyak 40-50% dari semua kematian pasien dialisis di negara barat. Menurut Sforzini et al. seperempat dari pasien yang meninggal terjadi 1 jam setelah onset gejala. Penyebab tersering dari mortalitas pasien ini dikaitkan dengan penyakit jantung koroner yang menyebabkan infark miokard dan gagal jantung kongestif. Aritmia jantung juga terjadi pada beberapa pasien yang menjalani dialisis, dan turut menyumbang dalam mortalitas pasien hemodialisa.  Pasien HD yang lama, dapat mengalami iskemia miokard akibat adanya abnormalitas struktural, fungsional, dan vaskular perifer dari jantung. Efek samping kardiovaskular ini memiliki beragam faktor risiko, dan patofisiologi. Data dari US Renal Data System menunjukkan bahwa hemodialisa merupakan faktor independen terhadap perkembangan gagal jantung kongestif dengan 2 year mortality rate tinggi, yang membuatnya menjadi salah satu penyumbang tinggi terhadap mortalitas kardiovaskular pada pasien yang menjalani hemodialisa.  

Iskemia Miokard

Hemodialisa intermitten memiliki efek hemodinamik yang signifikan, dan sebanyak 20-30% terapi dapat menyebabkan terjadinya intradialytic hypotension (IDH), hal ini yang menjadi faktor risiko terjadinya iskemia miokard pada pasien HD akibat menurunnya sirkulasi koroner jantung. Selain itu, terjadinya hipertrofi ventrikel kiri yang terjadi pada 75% pasien yang mengalami hemodialisis, menyebabkan menurunnya pasokan koroner jantung. Adanya perubahan Segmen ST dan gelombang T yang asimptomatik menandakan adanya silent ischemia pada saat hemodialisis. Hemodialisis juga dapat memicu abnormalitas repolarisasi, yang berkaitan dengan kadar kalsium dan volume ultrafiltrasi. Sebuah studi observasional menemukan bahwa pasien hemodialisis dapat menurunkan pasokan darah miokardium. Daerah yang tidak mendapatkan pasokan darah yang cukup ini akan mengalami right wall motion abnormalities (RWMAs). Volume ultrafiltrasi dan penurunan tekanan darah pada saat hemodialisis dikaitkan dengan RWMAs. Dalam jangka waktu yang lama, pasien dengan RWMAs didapat akibat hemodialisis dapat meningkatkan mortalitas dan mengurangi ejeksi fraksi jantung dibandingkan pasien yang tidak mengalami RWMAs.  

Perubahan Vaskular

Nitric oxide (NO) merupakan substansi penting dalam regulasi fungsi endotel untuk vasodilatasi pembuluh darah. Level NO ini akan turun pada hemodialisis. Kadara NO sangat bergantung pada kadar hemoglobin pada tubuh. Ketika hemoglobin terlepas dari sel darah merah, maka kadar NO akan berkurang sehingga mencegah endotel memberi sinyal ke otot polos pada dinding pembuluh darah. Pada pasien dengan hemodialisis, kadar NO akan menurun akibat dekompartementalisasi atau pelepasan hemoglobin dari sel darah merah sehingga menyebabkan abnormalitas vaskular khususnya pada fungsi vasodilatasi pembuluh darah.  

Stress Hemodinamik

Hemodialisis bekerja dengan mengeluarkan cairan dari kompartemen intravaskular sehingga cairan interstisial akan masuk ke komponen intravaskular. Jika terdapat mismatch antara pengeluaran plasma dan refill rates, maka dapat menyebabkan kontraksi volume darah. Kontraksi volume darah ini akan menginduksi refleks baroreseptor sebagai proses homeostasis dalam menstabilkan tekanan darah. Namun pada pasien dengan gangguan ginjal, adanya uremia akan mengganggu sensitivitas refleks ini yang dapat berpengaruh terhadap proses dialisis pasien. Kalsifikasi vaskular yang terjadi pada pasien uremia juga dapat mengurangi jumlah cairan yang dapat dikeluarkan ketika proses hemodialisis, yang akan meningkatkan kerentanan efek dari kontraksi volume yang cepat terhadap pasien. Hipotensi intra-dialisis yang merupakan komplikasi umum dari pasien hemodialisis merupakan faktor prediktif dari mortalitas pasien.  

Inflamasi dan Thrombosis

Proses dialisis dapat mengeluarkan berbagai toksin yang mengganggu fungsi platelet. Walaupun begitu, dialisis juga dapat memicu terjadinya thrombosis dan inflamasi, yang secara umum juga terjadi pada keadaan uremia. Thrombosis dan inflamasi terjadi  akibat kontak antara darah dengan permukaan tabung dan membran dialisis. Insiden kardiovaskular sering terjadi pada minggu awal setelah hemodialisis dimulai. Hal ini dikaitkan dengan peningkatan faktor inflamasi sistemik dan disfungsi endotel pada pasien dialisis . Kadar C-reactive protein dan beberapa marker pro-inflamasi lain yang tinggi sebelum dialisis dapat menyebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri yang di induksi oleh hemodialisa (Hemodialisis induced regional LV systolic dysfunction). Aktivasi komplemen yang meningkatkan aktivasi leukosit, dapat terjadi pada 30 menit awal hemodialisa yang dikaitkan dengan peningkatan sitokin proinflamasi. Mekanisme spesifik antara proses inflamasi dan penyakit kardiovaskular belum terlalu jelas dan dikaitkan dengan hubungan silang antara inflamasi, thrombosis, dan disfungsi vaskular. Komplemen anafilaktoin C5a yang aktif oleh hemodialisa dapat menyebabkan meningkatnya ekspresi tissue factor pada leukosit yang dikaitkan dengan insiden kardiovaskular. Sebenarnya heparin dapat mencegah terjadinya aktivasi komplemen yang menghambat proses inflamasi, namun dosis yang biasanya diresepkan pada saat dialisis tidak memiliki efek tersebut.  

Aritmia Jantung

Pada penelitian yang dilakukan oleh Tang WH (2019) dari 152 pasien yang di terapi HD,  atrial premature complexes (APC) dan ventricular premature complexes (VPC) ditemukan hampir pada seluruh pasien dan 41% dari pasien terkena supraventrikular takikardi paroksismal. 8.6% pasien mengalami gejala klinis aritmia yang pada EKG tampak sebagai atrial fibrilasi persisten, 3.9% tampak sebagai atrial fibrilasi paroksismal, 19.7% takikardi ventrikel, dan 4.6% bradikardia. Terdapat juga blok konduksi jantung sebanyak 1.3% blok AV derajat II, dan 2.6% blok AV derajat III. Beberapa faktor yang diduga berperan dalam terjadinya aritmia yaitu kadar katekolamin plasma abnormal, kardiomiopati uremikum, penggunaan digitalis, buffer dialisis dan hiperparatiroid sekunder. Selain itu, perubahan cepat dari lingkungan metabolik seperti perubahan volume darah, elektrolit, dan osmolalitas serta interaksi antara darah pasien dengan membrane dialisis  yang terjadi selama hemodialisa berlangsung, juga dapat meningkatkan risiko aritmia.  
Referensi
- Tang WH, Ahmadmehrabi S. Hemodialysis-induced Cardiovascular Disease. National Center for Biotechnology Information. 2019
- Narula A, Jha V, Bali HK. Cardiac Arrhythmias and Silent Myocardial Ischemia During Hemodialysis.
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaPro dan Kontra Penggunaan Kortikosteroid pada Pasien Tuberkulosis

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar