sejawat indonesia

Melihat Kembali Efektivitas Pemberian Zinc dan Vitamin C Pada Pasien Terkonfirmasi SARS-CoV-2

Sudah setahun sejak Corona Virus Disease (Covid-19) pertama kali ditemukan di Indonesia, yaitu sejak diumumkannya oleh Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan pada Senin, 2 Maret 2020. Selang beberapa hari yaitu tanggal 11 Maret 2020, World Health Organization (WHO) resmi mengumumkan Covid-19 sebagai pandemi baru.

Severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) memiliki gejala yang menyerupai influenza, seperti demam, batuk kering, myalgia, dan rasa lemas. CDC (Centers for Disease Control and Prevention) di Amerika Serikat mencantumkan gejala SARS-CoV-2 lainnya seperti menggigil, sesak nafas, sakit kepala, anosmia, sakit tenggorokan, hidung tersumbat, mual-muntah, dan diare. Namun, Informasi terkait apa itu covid 19 sendiri selalu berubah dan mengalami pembaharuan sewaktu-waktu.

Jika awal pandemi virus ini diberitakan terutama menular melalui droplet yang terjatuh dan menempel di permukaan benda, kini para ahli telah sepakat bahwa virus ini menyebar terutama secara aerosol atau dalam jumlah pertikel yang lebih kecil daripada sekedar droplet. Beberapa bukti juga mengemukakan bahwa SARS-Cov-2 dalam jumlah kecil juga terdapat dalam aerosol yang ditimbulkan saat seseorang berbicara atau bernafas normal.

Baca Juga:

Sebuah penelitian yang dipublikasikan pada Agustus 2020 juga menemukan bahwa seseorang yang berada pada fase awal terinfeksi Covid-19 dapat menyebarkan berjuta-juta partikel Covid-19 tiap jamnya hanya dengan bernafas normal. Sehingga sampai hari ini, upaya yang paling ampuh untuk meminimalisir terinfeksi Covid19 adalah dengan memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan, serta dengan memperhatikan VDJ  (Ventilasi, durasi, dan jarak) jika beraktivitas dengan orang lain di luar rumah.

Kemudian bagaimana dengan terapi Covid19 itu sendiri? Sampai sekarang belum ada terapi atau obat-obatan yang terbukti ampuh mengatasi virus ini. Awal pandemi, digaungkan obat hydroxyquinolone yang konon dapat menurunkan tingkat keparahan pasien terkonfirmasi, yang ternyata pada penelitian selanjutnya terbukti lebih banyak memberikan kerugian daripada manfaat.

Obat-obatan awal lainnya termasuk pemberian antibiotik, antivirus, terapi kovalesens, digunakan untuk mengurangi gejala pada penderita covid19 juga belum memiliki tempat yang paten dalam protokol penanganan virus mematikan ini. Tapi ada beberapa kesamaan tentang terapi yang beredar di seluruh dunia, khususnya tentang pemberian Vitamin C dan Zinc.

Zinc gluconat dan asam askorbat adalah vitamin bebas yang dapat digunakan tanpa resep dokter yang tersedia di seluruh dunia. Ia mudah didapatkan dan dengan harga yang terjangkau. Konon, zinc dapat meningkatkan kemampuan sel polimorfonuklear untuk melawan infeksi, dan asam askorbat adalah antioksidan yang dapat meningkatkan sistem imun.

Kedua komponen ini dianggap oleh para ahli dapat membantu mengurangi gejala pada penderita covid19. Dikatakan bahwa vitamin ini dapat menguntungkan bagi sistem imun tubuh dan dapat menurunkan inflamasi sitokin.  Tapi untuk menjadikannya sebagai protokol tetap, harus berdasarkan penelitian yang telah teruji sebelumnya.

Februari 2021, terdapat sebuah penelitian tentang kemampuan zinc dan vitamin C—secara kombinasi atau sendiri-sendiri—untuk dapat mengurangi gejala pada penderita covid19. Penelitian ini muncul di JAMA Network Open. Penelitian ini dilakukan terhadap beberapa rumah sakit di Amerika Serikat, berpusat di Ohio dan Florida. Penelitian tersebut bertujuan untuk menilai apakah pemberian zinc dosis tinggi (50 mg), asam askorbat (8000 mg), atau kombinasi keduanya dapat menurunkan durasi gejala pada pasien dengan infeksi SARS-CoV-2 dibandingkan dengan pasien dengan perawatan biasa.

Penelitian ini merupakan RCT (Randomized-controlled trial) yang dilakukan pada pasien rawat jalan. Peneliti menggunakan metode rank-based symptoms scoring. Pasien kemudian diminta untuk mencatat penyakit mereka berdasarkan gejala yang dialami. Pasien juga diminta untuk melengkapi kuesionar tiap minggu hingga hari ke 28 untuk menilai apakah gejala yang dialami memberat atau ada efek samping dari terapi yang diberikan. Untuk tiap gejala, pasien memberikan skor 0 sampai 3 (0 berarti tidak bergejala, 1 berarti gejala ringan, 2 berarti gejala sedang, dan 3 untuk gejala berat).

Tiap gejala memiliki tingkat keparahan dengan skala 0 sampai 12. Nantinya pasien ini akan dibagi ke dalam 4 kelompok dengan alokasi perbandingan 1:1:1:1. Keempat kelompok itu adalah pasien yang menerima 8000 mg asam askorbat ( dibagi 2-3 kali per hari), 50 mg zinc saat akan tidur, kombinasi keduanya, serta pasien dengan perawatan biasa tanpa pengobatan apapun. Sasaran akhir yang dituju yaitu waktu yang diperlukan untuk meraih 50% penurunan pada nilai tingkat keparahan penyakit dari nilai puncak gejala.

Jika pasien sampai pada skor 6 untuk demam, maka dinilai waktu yang diperlukan hingga skornya sampai angka 3.  Sasaran akhir tambahan juga adalah jumlah hari yang diperlukan untuk meraih nilai tingkat keparahan di angka 0, jumlah skor tingkat keparahan pada hari ke-5, jumlah yang masuk rumah sakit, kematian, penambahan medikasi yang lain, dan efek samping terapi yang diberikan.

Sejumlah 214 pasien diacak dengan mean (SD) usia 45.2 (14.6) tahun dan jenis kelamin 132 (61.7%) perempuan. Pasien yang menerima terapi biasa tanpa suplemen meraih penurunan gejala sebesar 50% dengan mean (SD) 6.7 (4.4) hari, pasien yang menerima asam askorbat mean (SD) 5.5 (3.7) hari, 5.9 (4.9) hari pada kelompok yang mendapatkan zinc, dan 5.5 (3.4) hari untuk kelompok yang menerima kombinasi keduanya ( P=45).

Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada keempat kelompok penelitian. Hal yang serupa juga diperoleh untuk hasil data sekunder. Tidak ada perbedaan yang signifikan pada hasil sekunder, termasuk jumlah hari yang didapatkan untuk gejala benar-benar hilang, seperti demam, batuk, sesak nafas, atau rasa lemas. 

Mean (SD) yang diperoleh pada hari ke-5 adalah 3.2 (2.2) dan tidak berbeda di antara keempat kelompok lainnya. Sejumlah 17 pasien mendapatkan perawatan di rumah sakit, dan 3 pasien meninggal dunia selama penelitian berjalan. Tetapi, keduanya tidak menimbulkan data yang signifikan kepada keempat kelompok. Kurang dari 3% populasi mendapatkan terapi tambahan, dan kurang dari 10% pasien yang mengalami efek samping yang berkaitan dengan suplemen yang diberikan. Efek samping yang dilaporkan antara lain mual, diare, dan nyeri perut.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, suplemen Zinc glukonat dan Vitamin C tidak dapat direkomendasikan untuk mengurangi gejala morbiditas pada pasien SARS-CoV-2. Zinc dosis tinggi, asam askorbat, maupun kombinasi keduanya terbukti tidak menurunkan gejala. Banyak pasien yang diberikan zinc dan vitamin C dengan dosis yang lebih rendah, sehingga ketika penelitian membuktikan bahwa pemberian dosis yang lebih tinggi tidak memiliki arti signifikan, maka kedua vitamin ini tidak bisa menjadi rekomendasi terapi Covid-19.

Lebih jauh, pemberian suplemen ini dapat memperburuk keadaan karena efek samping yang ditimbulkan. Pemberian Zinc dapat menimbulkan rasa besi dan kering di mulut, dan dapat menyebabkan intoleransi gastrointestinal dengan dosis yang lebih tinggi. Asam askorbat atau vitamin C dapat menyebabkan mual, muntah, dan nyeri perut.

Dapatkan Informasi terbaru tentang Covid 19 di sini dan ketahui tatalaksana lengkap terkait berbagai kondisi melalui Sejawat CME.


Referensi:
  • https://covid19.who.int
  • Stadnytskyi V, Bax CE, Bax A, Anfinrud P. The airborne lifetime of small speech droplets and their potential importance in SARS-CoV-2 transmission. Proc Natl Acad Sci U S A2020;117:11875-7. doi:10.1073/pnas.2006874117 pmid:32404416
  • Ma J, Qi X, Chen H, et al. COVID-19 patients in earlier stages exhaled millions of SARS-CoV-2 per hour.  Clin Infect Dis2020:ciaa1283. doi:10.1093/cid/ciaa1283 pmid:32857833

Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaWaspada Pseudosains Di Tengah Pandemi Covid-19

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar