sejawat indonesia

Menafsir Gejala Versi Pasien: Ketika yang Naratif menjadi Normatif

Seberapa sering Anda melihat atau menemui pasien yang mengungkapkan gejala mereka, Teman Sejawat? Atau jika pertanyaan ini cukup membingungkan, sebab mungkin menurut Anda hampir setiap pasien bisa mengungkapkan gejala mereka sendiri, maka kita sederhanakan pertanyaannya: Pernahkah Anda menjumpai pasien yang bisa dengan pasti mengatakan; "Gejala saya adalah..." atau bahkan mampu menggunakan kata 'gejala' saat menjelaskan kondisi mereka?

Sangat sedikit, bukan? 

Pasien jauh lebih sering menggunakan kata, frasa, dan cerita dengan cara mereka sendiri. Bahkan, ketika kehilangan kata-kata, pasien akan meringis atau membuat ekspresi wajah lainnya, menunjuk ke bagian tubuh tertentu, menunjukkan secara fisik, juga secara verbal, apa yang mereka alami. Pasien menggambarkan gejala mereka dan Teman Sejawat mendengarkan/menyimak lalu menyaring narasi  untuk merumuskannya kembali ke bahasa medis. Anda, bukan mereka, yang kemudian mengubah cerita menjadi apa yang kita sebut gejala.

Narasi pasien biasanya menyertakan ekspresi seperti 'Saya gak tahu, dok. Tapi, akhir-akhir ini mudah capek'. Tanpa pikir panjang, seorang dokter langsung membuat 'bullet and numbering' di catatan mereka dan menulis 'Lelah sepanjang waktu', bahkan tanpa menyadari bahwa ini bukan yang dikatakan pasien--lupa dengan bagian 'Saya gak tahu, dok' lalu menganggapnya sebagai kebisingan belaka—meskipun itu adalah hal pertama yang dikatakan pasien, dan mungkin merupakan permohonan untuk penjelasan, atau bisa saja sebuah rasa takut akan sesuatu yang fatal. 

Nyaris di setiap kesempatan konsultasi, banyak dokter tidak menyadari telah melakukan tindakan penerjemahan seperti itu, memilah secara bebas narasi pasien lalu mengubahnya ke dalam bahasa dan deskripsi yang telah ditentukan oleh profesi kedokteran. Tentu saja, ada alasan untuk mengatakan bahwa tindakan penerjemahan ini bukanlah hal yang buruk. Tanpa kemampuan untuk mengubah versi naratif pasien menjadi versi normatif kita, tidak ada tindakan medis yang berarti yang mungkin dilakukan. 

Bagaimana pun, pasien pada umumnya tidak datang hanya untuk didengarkan. Mereka berkonsultasi karena Teman Sejawat memiliki pengetahuan dan pengalaman spesifik, Jika dokter tidak dapat mengetahui apakah pasien lelah karena anemia atau depresi, misalnya, atau menjelaskan apa arti dari hal tersebut, maka mereka tidak banyak berguna. Jadi, masalah yang timbul dari sebuah konsultasi medis bukanlah tentang mengubah cerita pasien menjadi versi dokter, tapi sudah setepat apa penafsiran tersebut dilakukan. 

Seringkali,  sejumlah besar informasi yang sangat berarti bagi pasien, dan mungkin juga membuat perbedaan besar bagi pemahaman dokter, justru disingkirkan oleh ketidakmampuan (atau mungkin keengganan berpikir lebih jauh)menafsir cerita pasien. Menyelaraskan dua cerita—versi pasien dan versi dokter—dapat mempererat komunikasi yang akan mengarah ke perawatan kesehatan yang lebih terpadu berdasar prinsip shared decision making. 

Naratif dan Normatif adalah Yin dan Yang 

Aspek naratif dan normatif dari konsultasi medis serupa dengan prinsip Yin dan Yang. Tampak berlawanan dan kontradiktif, namun sebenarnya saling melengkapi dan saling bergantung satu sama lain. Salah satu contoh tentang seorang dokter yang menjalin komunikasi Yin dan Yang berasal dari makalah klasik oleh sosiolog AS Eliot Mishler dan timnya, yang mencatat percakapan singkat dan sangat sederhana antara ahli saraf dan seorang montir mobil yang baru saja mengalami kejang-kejang untuk pertama kali:

Pasien: "...bos saya belum punya semua suku cadangnya, jadi saya kerjakan mobil yang lain dulu, saat itulah saya akhirnya mengalami kejang." 

Dokter: "Baik.. Jadi apakah bos anda atau apakah ada orang lain yang melihat saat kejang terjadi?"

Hal yang luar biasa dari percakapan tersebut adalah cara dokter berhasil menyelami kisah pasien secara imajinatif dan melaksanakan tugas teknisnya. Dia menunjukkan bahwa dia telah mendengarkan dengan menangkap keberadaan 'bos' dalam cerita pasien, tetapi dari situ juga, dia mencari tahu potensi adanya saksi yang mungkin bisa memberikan deskripsi dan membantu mengembangkan diagnosis. Keterampilan ganda tersebut—melacak narasi dan mengadaptasinya untuk tujuan normatif—mungkin merupakan sesuatu yang telah dia pelajari melalui pelatihan dan pengalaman, atau mungkin merupakan hasil dari empati bawaan.

Itu sangat berlawanan dengan apa yang digambarkan Mishler sebagai 'konsultasi medis yang biasa-biasa saja' yang terjadi pada banyak kesempatan, dan di mana dokter secara rutin memproses cerita yang terpisah dari pengalaman subyektif pasien mereka.

Etis dan pragmatis 

Dalam banyak panduan, khususnya secara etis, menerapkan perhatian pada kata-kata dan gerak tubuh pasien dengan cara seperti di atas sangat disarankan. Selain menunjukkan empati dan memungkinkan dokter untuk memodulasi ucapan pasien sesuai dengan tingkat pengetahuan dan pemahaman mereka, juga ada alasan pragmatis yang kuat untuk melakukannya. Jika pasien tidak memiliki kesan bahwa seorang dokter mendengarkan dan menyimak mereka dengan penuh perhatian, mereka mungkin tidak akan memberi tahu apa yang perlu dokter ketahui, atau memahami penjelasan, mengikuti saran, dan menerima perawatan. 

Sebaliknya, percakapan yang selaras telah terbukti mengarah pada pengungkapan yang lebih lengkap, diagnosis dan pengambilan keputusan yang lebih baik, kepatuhan yang lebih besar, hasil yang lebih aman, keluhan dan litigasi yang lebih sedikit. 

Apa yang disebut sebagai 'softskill', seperti mendengarkan secara aktif dan penyelidikan terfokus, tidak hanya menghasilkan perasaan yang menyenangkan dan hangat. Memadukan penjelasan pasien dengan bahasa normatif dokter dalam praktik medis dapat menyelamatkan nyawa, dan tentu saja karier kedokteran Teman Sejawat.

Referensi:

  • Marshall RJ, Bleakley A. Lost in translation. Homer in English: the patient’s story in medicine. Med Hums 2013;39:47–52.
  • Launer J. Narrative-based practice in health and social care: conversations Inviting change. London: Routledge, 2018.
  • Mishler E, Clark JA, Ingelfinger J, et al. The language of attentive patient care: a comparison of two medical interviews. J Gen Int Med 1989;4:325–35.
  • Street RL, Makoul G, Arora NK, et al. How does communication heal? Pathways linking clinician–patient communication to health outcomes. Patient Educ Couns 2009;74:295–301.
  • Kim SS, Kaplowitz S, Johnston MV. The effects of physician empathy on patient satisfaction and compliance. Eval Health Prof 2004;27:237–51.
  • Casal T. Can you die from not being listened to? In: Fernandes I, Martins CB, et al, eds. Creative dialogues: narrative and medicine. Cambridge: Cambridge Scholars, 2015: 80–94.
  • Levinson W, Roter DL, Mullooly JP, et al. PhysicianPatient communication. The relationship with malpractice claims among primary care physicians and surgeons. JAMA 1997;277:553–9.
  • Hargraves I, LeBlanc A, Shah ND, et al. Shared decision making: the need for Patient-Clinician conversation, not just information. Health Aff 2016;35:627–9
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaCepat Tanggap Menghadapi Hipoglikemia Pediatri

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar