sejawat indonesia

Mengakses Smartphone sebelum Usia 13 Tahun = Mengalami Gangguan Kesehatan Mental Parah

Peningkatan penggunaan smartphone dan media sosial secara global telah mengubah masa kanak-kanak dan remaja secara dramatis. Lingkungan digital yang direkayasa secara algoritmik, semakin memengaruhi kemampuan dan fungsi anak muda. 

Satu penelitian mengungkapkan bahwa menerima smartphone sebelum usia 13 tahun dikaitkan dengan hasil kesehatan mental yang lebih buruk di masa dewasa muda, terutama di kalangan perempuan. Gangguan mental tersebut meliputi kecenderungan untuk bunuh diri, keterpisahan dari realitas, regulasi emosi yang lebih buruk, dan penurunan kepercayaan diri.

Sejak awal tahun 2000-an, smartphone, yang berfungsi sebagai gerbang menuju lingkungan digital berbasis kecerdasan buatan (AI), telah dengan cepat menjadi pilihan utama anak-anak dan remaja bersosialisasi, belajar, dan membentuk identitas mereka. Itu menawarkan cara baru untuk mengakses teman, informasi, dan hiburan. 

Namun, di samping peluang-peluang tersebut, algoritma pembelajaran mesin yang tertanam dalam platform media sosial secara aktif mengkurasi dan mengamplifikasi konten yang sebagian besar tidak diatur untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna. Hal tersebut dapat mengakibatkan tergesernya dan terganggunya aktivitas perkembangan utama seperti interaksi tatap muka dan jam tidur, sekaligus mengekspos pengguna muda pada lanskap digital yang luas dan seringkali berbahaya yang berisi konten yang tidak sesuai dengan perkembangan, termasuk pornografi, deepfake, materi kekerasan, dan ideologi ekstrem.

Sistem bertenaga AI tersebut secara strategis mengeksploitasi data perilaku dan kerentanan psikologis yang berpotensi membatasi agensi anak dengan mengikis otonomi, mengurangi kapasitas pengambilan keputusan, dan mendorong perbandingan sosial. Meskipun platform umumnya menetapkan usia 13 tahun sebagai usia minimum penggunaan sesuai dengan standar tingkat negara, persyaratan ini tidak ditegakkan secara universal, dan banyak pengguna di bawah umur mengaksesnya secara global. 

Pada saat yang sama, usia kepemilikan ponsel pertama semakin cepat, dengan banyak anak kini memiliki ponsel sebelum mereka masuk sekolah menengah pertama, dan menghabiskan berjam-jam sehari di perangkat mereka.

Efek Smartphone bagi Anak dan Remaja 

Studi tersebut menganalisis hasil kuesioner terhadap lebih dari 100.000 orang dewasa muda berusia antara 18 dan 24 tahun.

Kuesioner menanyakan responden tentang gejala kesehatan mental, seperti agresi, perasaan terasing, halusinasi, dan pikiran untuk bunuh diri. Mereka yang diberikan smartphone pada usia lebih dini dikaitkan dengan hasil kesehatan mental yang lebih buruk untuk setiap tahun kepemilikan smartphone sebelum usia 13 tahun.

"Semakin muda anak mendapatkan smartphone, semakin besar dampak terhadap psikologis mereka dan membentuk cara mereka berpikir serta memandang dunia."

- Tara Thiagarajan, salah satu peneliti.

Sekitar 48% perempuan muda yang memiliki telepon pintar pada usia 5 atau 6 tahun melaporkan memiliki pikiran bunuh diri yang parah, dibandingkan dengan 28% perempuan yang memiliki telepon pintar pada usia 13 tahun atau lebih.

Pada laki-laki muda, 31% dari mereka yang memiliki telepon pintar pada usia 5 atau 6 tahun melaporkan memiliki pikiran bunuh diri yang parah dibandingkan dengan 20% laki-laki yang memiliki telepon pintar pada usia 13 tahun.

Para penulis penelitian tersebut mengaitkan perbedaan gejala kesehatan mental antara perempuan muda dan laki-laki muda dengan penggunaan media sosial. Faktor lain yang tampaknya memengaruhi hasil kesehatan mental adalah perundungan siber, kurang tidur, dan hubungan keluarga yang buruk.


BACA JUGA:


Bagaimana Smartphone memengaruhi Kesehatan Mental Anak Muda?

Apa saja jalur potensial yang menghubungkan kepemilikan smartphone di usia dini dengan hasil kesehatan mental yang lebih buruk? 

Untuk mengeksplorasi hal tersebut, peneliti memeriksa beberapa faktor potensial, termasuk usia akses media sosial, pengalaman perundungan siber dan pelecehan seksual, hubungan keluarga, pertemanan, tidur, dan konsumsi makanan ultra-olahan.

Hasil analisis regresi yang menunjukkan bagaimana berbagai faktor mengurangi koefisien beta (yaitu kekuatan) hubungan antara usia kepemilikan ponsel pintar pertama dan kesehatan mental orang dewasa.

Setelah melakukan analasis, mereka menemukan bahwa secara global, usia akses media sosial menyumbang sekitar 40% dari keseluruhan hubungan antara usia kepemilikan telepon pintar dan kesehatan pikiran. Faktor-faktor kontribusi signifikan lainnya termasuk hubungan keluarga yang buruk (13%), cyberbullying (10%), dan tidur yang terganggu (12%). Khususnya, 68% dari dampak negatif yang terkait dengan hubungan keluarga yang buruk dan 63% dari dampak negatif yang terkait dengan cyberbullying adalah hilir usia akun media sosial pertama. 

Data tersebut menunjukkan bahwa memiliki akses ke lingkungan media sosial bertenaga AI pada usia yang lebih muda menempatkan individu pada risiko yang lebih besar untuk hubungan keluarga yang lebih buruk dan paparan cyberbullying. 

Sebaliknya, hanya 19% dari efek tidur terganggu dapat dijelaskan oleh usia akses ke media sosial. Gangguan tidur yang timbul dari kepemilikan smartphone pada usia yang lebih muda muncul dari aktivitas smartphone selain media sosial (misalnya menonton film atau bermain game). 

Faktor-faktor lain seperti paparan pelecehan seksual dan konsumsi makanan ultra-olahan, yang diketahui berdampak pada kesehatan pikiran dan kesejahteraan, tidak memiliki peran yang jelas dalam menjelaskan hubungan antara kepemilikan smartphone lebih awal dan kesehatan pikiran yang lebih buruk.

Mencegah Efek Buruk Smartphone

Berikut beberapa rekomendasi langkah-langkah yang dapat ditempuh, khususnya terkait kebijakan pembatasan usia akses untuk smartphone:

  1. Mewajibkan pendidikan wajib tentang literasi digital dan kesehatan mental: Ini harus mencakup keterlibatan daring yang etis dan strategi untuk mengelola pengaruh algoritmik, penipuan, perundungan siber, dan predator seksual. Pendidikan ini harus mendahului akses mandiri ke platform media sosial, serupa dengan persyaratan pendidikan untuk mendapatkan SIM. Pendekatan ini tidak hanya menginformasikan keterlibatan digital yang lebih aman tetapi juga meningkatkan agensi individu, memungkinkan anak-anak untuk menavigasi lingkungan digital dengan cara yang lebih terinformasi dan efektif.
  2. Perkuat identifikasi aktif pelanggaran usia media sosial dan pastikan konsekuensi yang berarti bagi perusahaan teknologi: Perusahaan teknologi harus bertanggung jawab atas penegakan batasan usia melalui sistem verifikasi usia yang lebih baik dan sanksi yang tegas bagi ketidakpatuhan. Meskipun penegakannya masih menantang, terutama terkait verifikasi usia, pengalihan tanggung jawab kepada penyedia teknologi untuk secara aktif memitigasi risiko dan melindungi pengguna dapat mengurangi beban keluarga atau individu. Kerangka regulasi di sektor lain (misalnya tembakau, alkohol) menunjukkan bahwa akuntabilitas perusahaan dapat dicapai dengan kemauan politik yang memadai.
  3. Batasi akses ke platform media sosial: Platform media sosial harus dilarang di semua perangkat yang terhubung internet untuk anak-anak di bawah usia 13 tahun. Hal ini didasarkan pada batasan usia legal yang ada, tetapi membutuhkan mekanisme penegakan yang ditingkatkan secara signifikan. Tantangan implementasi meliputi kesulitan teknis dalam memverifikasi usia pengguna secara andal, dan pemantauan di berbagai perangkat dan platform.
  4. Terapkan pembatasan akses bertahap untuk smartphone: Akses ke smartphone (didefinisikan sebagai perangkat pribadi dengan akses internet dan aplikasi selain panggilan dan pesan teks yang mudah dibawa) harus dibatasi untuk anak-anak di bawah usia 13 tahun, dengan alternatif yang ditawarkan, seperti ponsel "anak-anak" yang menyediakan utilitas dasar tanpa media sosial atau aliran konten bertenaga AI. Dengan menawarkan alternatif yang sesuai dengan perkembangan, pendekatan ini bertujuan untuk meminimalkan reaktansi psikologis, menawarkan akses ke peluang yang sesuai dengan perkembangan yang ditawarkan oleh perangkat digital (misalnya aplikasi pendidikan), dan menghindari efek kontraproduktif yang sering dikaitkan dengan larangan langsung. Ini adalah rekomendasi yang paling menantang untuk diterapkan karena norma sosial budaya seputar akses teknologi, otonomi orang tua dalam pengambilan keputusan, dan tantangan penegakan praktis di ruang privat.

Secara keseluruhan, rekomendasi kebijakan tersebut bertujuan untuk menjaga kesehatan mental selama masa perkembangan kritis. Implementasinya membutuhkan kemauan politik dan sosial yang substansial, penegakan hukum yang efektif, dan pendekatan multi-stakeholder. Dan, itu realistis!

Misalnya, di Amerika Serikat, akses dan konsumsi alkohol di bawah umur diatur melalui kombinasi akuntabilitas orang tua, komersial, dan perusahaan. Orang tua dapat dikenakan denda jika ditemukan penggunaan alkohol di tempat umum seperti sekolah, restoran, taman, dan transportasi umum. Di banyak yurisdiksi, mereka juga dapat didenda, dituntut secara pidana, atau dimintai pertanggungjawaban perdata karena menyediakan alkohol kepada anak di bawah umur, terutama jika mengakibatkan kerugian. Penjual dan tempat usaha yang mendistribusikan alkohol kepada individu di bawah umur dapat dikenakan denda, pencabutan izin, atau tuntutan hukum. Selain itu, perusahaan yang terlibat dalam penjualan atau pemasaran alkohol tunduk pada peraturan periklanan yang ketat dan dapat dikenakan sanksi karena menargetkan anak di bawah umur atau gagal menegakkan batasan usia. 

Jika akses alkohol bisa, mengapa akses ke smartphone yang terlalu dini tidak bisa?


Referensi:

Thiagarajan, T. C., Newson, J. J. and Swaminathan, S. (2025) ‘Protecting the Developing Mind in a Digital Age: A Global Policy Imperative’, Journal of Human Development and Capabilities, 26(3), pp. 493–504. doi: 10.1080/19452829.2025.2518313.

Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaStrategi untuk Melawan Perintah yang Melanggar Kode Etik Profesi

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar