sejawat indonesia

Mengapa Pengobatan Alternatif Sangat Diminati di Indonesia?

Pengobatan alternatif masih menjadi pilihan masyarakat Indonesia untuk sembuh. Berbagai contoh mudah kita temui sehari-hari. Dari persalinan, patah tulang, hingga kondisi kronis dan akut seperti gagal ginjal. 

Bahkan, rutin muncul dukun-dukun fenomenal dengan klaim memiliki kemampuan luar biasa dalam menyembuhkan banyak penyakit. Sebut saja Ida Dayak di Kota Depok yang viral beberapa waktu lalu atau bocah ajaib Ponari yang heboh sekitar tahun 2009 silam. 

Pengobatan tradisional atau alternatif bukan sesuatu yang terpisah dalam dunia kesehatan di Indonesia. Mengutip Handayani, Suparto, dan Suprapto (2001), Indonesia sudah mendeklarasikan pengobatan tradisional sebagai salah satu area kesehatan yang berpotensi dikembangkan sejak 1988. Di tingkat internasional, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada November 2008 menyatakan, pelayanan kesehatan tradisional yang aman dan bermanfaat dapat diintegrasikan ke dalam sistem layanan kesehatan.

Namun, harus diingat bahwa, tidak semua pengobatan tradisional dapat diakomodasi ke dalam pelayanan kesehatan. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebut bahwa Pelayanan kesehatan tradisional yang diakomodasi adalah pengobatan atau perawatan dengan ramuan atau cara yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan empiris, diwariskan turun-temurun, dapat dipertanggungjawabkan, dan tidak bertentangan dengan norma agama. 

Sehingga, dalam praktiknya, syarat-syarat tersebut memberi batasan: tidak semua pengobatan tradisional dapat diakomodasi sebagai metode penyembuhan penyakit. 

Lalu, mengapa masih banyak dari kita yang percaya pengobatan alternatif?

Penelitian Pengpid dan Peltzer (2018) yang menggunakan data survei demografis dan kesehatan IndonesiaFamily Life Survey (IFLS) yang dilakukan oleh RAND Corporation. Survei ini melibatkan sampel 31.415 orang berumur 15 tahun ke atas yang tersebar di 13 provinsi Indonesia. 

Penelitian ini juga menemukan beberapa karakteristik sosio-demografis yang berhubungan dengan kecenderungan berobat ke pengobatan alternatif. Karakteristik ini termasuk umur yang lebih tua, muslim, hidup di daerah urban, memiliki gejala depresi, dan penyakit kronis. Penyakit kronis ini termasuk kanker, rematik, kolesterol tinggi, stroke, diabetes, dan penyakit ginjal. Kanker menjadi penyakit dengan persentase pengobatan alternatif tertinggi, yaitu 14,4%. Selanjutnya, 11,3% pengidap rematik dan kolesterol tinggi juga berobat ke pengobatan alternatif.

Responden yang mengakses pengobatan alternatif berdasarkan kelompok umur

Tingginya tingkat pendidikan, membaiknya kesejahteraan, meningkatnya layanan kesehatan modern, termasuk tersedianya akses pembiayaan kesehatan, tidak serta-merta menyurutkan penggunaan pengobatan alternatif/tradisional yang tidak terbukti efektif mengatasi penyakit.

Khusus untuk praktik pengobatan tradisional seperti dukun, Irfan Ardani dalam jurnal Lakon (2013) menulis, dukun dan cara pengobatan tradisionalnya eksis di era modern karena masih ada masyarakat yang memercayainya. Keunggulan dukun adalah pola pengobatannya simpel dan bersifat universal, bisa menyembuhkan semua jenis penyakit. Sebaliknya, pengobatan modern justru mengarah ke spesialisasi, satu dokter untuk satu penyakit, yang berimbas pada besarnya sumber daya yang harus dikeluarkan pasien.

Di sisi lain, dengan segala kemajuan dan peningkatakan kesejahteraan, sebagian masyarakat Indonesia sejatinya masih termasuk masyarakat tradisional. Sosiolog Talcott Parsons menyebut ciri masyarakat tradisional, antara lain, masih mempertahankan adat istiadat dan belum terlalu dipengaruhi perubahan dari luar.

Dari kondisi itu, sebagian masyarakat masih memercayai bahwa setiap penyakit pada manusia disebabkan oleh makhluk gaib. Konservatisme agama makin memperkuat keyakinan ini. Akibatnya, pengobatan alternatif dengan pembacaan mantera atau ayat-ayat kitab suci yang menyaru sebagai bagian dari laku keagamaan, laris manis di berbagai media dan disebarkan secara luas di berbagai platform media sosial. 

Sulitnya akses, mahalnya biaya kesehatan, dan literasi kesehatan

Penelitian Pengpid dan Peltzer juga menemukan bahwa salah satu penyebabnya adalah sulitnya akses kesehatan. Akses kesehatan yang terbatas semakin diperparah dengan literasi kesehatan yang rendah pula. Literasi kesehatan membantu individu untuk lebih paham soal informasi dan isu kesehatan, juga penentuan keputusan untuk keluhan kesehatan yang dimiliki. 

Di Indonesia, belum ada studi terkait literasi kesehatan secara nasional. Namun, satu penelitian oleh Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro pernah mengukur literasi kesehatan di Kota Semarang pada 2014. Hasilnya, sebagian besar atau 53,06% responden studi memiliki literasi kesehatan bermasalah atau problematic. Sebanyak 10,69% responden bahkan memiliki literasi kesehatan yang kurang (inadequate). 

Jenis penyakit yang dialami pasien yang mengakses pengobatan tradisional

Persoalan selanjutnya adalah biaya pengobatan tradisional yang jauh lebih murah ketimbang pengobatan modern. Pada 2021, rata-rata pengeluaran per kapita untuk pengobatan tradisional hanya Rp405. Ini jauh lebih rendah dari pengeluaran untuk praktik dokter klinik yang sebesar Rp1.801. Perbedaan semakin mencolok ketika harus membandingkan dengan pengeluaran pengobatan di rumah sakit. Rata-rata pengeluaran per kapita di rumah sakit pemerintah mencapai Rp8.041, sementara di rumah sakit swasta mencapai Rp10.011.

Hal serupa juga ditemukan di pengeluaran untuk obat. Rata-rata pengeluaran per kapita untuk obat tradisional atau jamu hanya Rp638. Sementara, biaya untuk obat modern dengan resep sebesar Rp1.793 dan tanpa resep sebesar Rp1.796. Pemerintah sudah mencoba memudahkan akses kesehatan dengan adanya BPJS Kesehatan. Akan tetapi, nyatanya hadirnya BPJS belum sepenuhnya membantu masyarakat mengakses fasilitas kesehatan. Ini terlihat dari masih tingginya pengeluaran kesehatan out-of-pocket atau dari kantong sendiri. 

 

Rata-rata pengeluaran per kapita untuk pengobatan

Persentase pengeluaran out-of-pocket ini jauh lebih tinggi dari Singapura, Thailand, dan Jepang. Singapura memiliki proporsi pengeluaran dari kantong sendiri sebesar 19%, Thailand sebesar 11%, dan Jepang 13%.

Selain solusi dari berbagai faktor penyebab di atas, peningkatan kualitas layanan kesehatan modern di fasilitas kesehatan pemerintah pun mendesak diperbaiki. Alasan masyarakat menjauhi pengobatan modern bukan hanya karena takut dengan vonis penyakitnya atau harga yang mahal, tetapi buruknya komunikasi di sebagian fasilitas kesehatan pemerintah.

Layanan yang tidak ramah, judes, tidak empatik, hingga informasi yang sepotong-potong masih mudah ditemukan di sejumlah fasilitas kesehatan. Sikap itu pula yang membuat sebagian pasien enggan berobat meski memiliki jaminan kesehatan dan tidak memiliki kendala jarak dengan fasilitas kesehatan. Layanan kesehatan di fasilitas kesehatan pemerintah yang ramah dan simpatik perlu terus diduplikasi dan diperluas sebarannya.

Masyarakat memang memiliki hak untuk memilih jenis layanan kesehatan yang diinginkan, termasuk memilih dan mengkases layanan kesehatan tradisional yang dipercayainya. Namun, apapun pilihan masyarakat, negara wajib menjamin keamanan dan keselamatan masyarakatnya. 

Referensi:

  • Pengpid, S., & Peltzer, K. (2018). “Utilization of traditional and complementary medicine in Indonesia: Results of a national survey in 2014–15”. Complementary Therapies in Clinical Practice, 33, 156–163.
  • Nurjanah, N., Rachmani E., & Soenaryati. S. (2014). “Demography and Social Determinants of Health Literacy Semarang”. Conference: 2nd International Conference on Health Literacy and Health Promotion, Taipei.
  • Handayani, L., Suparto, H., & Suprapto, A. (2001). “Traditional system of medicine in Indonesia”. Traditional Medicine in Indonesia, 47. 
  • Badan Pusat Statistik (2021). Profil Statistik Kesehatan 2021.
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaPolusi Udara dan Perkembangan Anak: Pahami Masalahnya!

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar