sejawat indonesia

Potensi terjadinya Sindrom Guillain-Barre setelah Vaksin Covid-19

Vaksinasi Covid-19 yang semakin meluas, cukup mampu mengendalikan pandemi saat ini. Dalam kondisi ideal, pengembangan vaksin baru melalui proses panjang yang biasanya memakan waktu antara 10 hingga 15 tahun. Meskipun demikian, dalam krisis kesehatan masyarakat, seperti COVID-19, langkah-langkah luar biasa diperlukan untuk mempercepat ketersediaan dan penggunaan obat, seperti vaksin.

Pada 11 Desember 2020, FDA merilis otorisasi penggunaan darurat (EUA) untuk vaksin Pfizer-BioNTech COVID-19 (BNT162b2), satu vaksin mRNA yang mengkodekan glikoprotein lonjakan prefusi dari SARS-CoV-2. 

Dengan merebaknya wabah COVID-19, banyak penelitian mengusulkan kemungkinan efek neurologis dari virus baru ini, misalnya spektrum sindrom Guillain–Barré (GBS) setelah SARS-CoV-2. Selanjutnya, hubungan antara spektrum GBS dan banyak vaksin virus telah dihipotesiskan dalam bukti sebelumnya, misalnya pengalaman tentang kaitan GBS dan Vaksin virus Zika. 

Industri vaksin komersial dan pihak lain yang kompeten telah menggunakan berbagai teknologi termasuk virus yang tidak aktif, small-activating RNA, mRNA, DNA, protein, dan vektor virus yang tidak bereplikasi yang bertujuan untuk mengembangkan vaksin COVID-19 yang paling efektif dan aman. Seperti yang telah kita ketahui, FDA akhirnya mengeluarkan izin penggunaan darurat (EUA) untuk dua vaksin, vaksin Moderna COVID-19 dan vaksin Pfizer-BioNTech COVID-19.

Vaksin Pfizer/BioNTech COVID-19 adalah vaksin mRNA yang menggunakan mRNA rekayasa genetika yang membawa gen asing untuk seluruh protein S. Efek samping yang paling umum dilaporkan dalam 3 fase studi vaksin adalah nyeri ringan hingga sedang di tempat suntikan, kelelahan, dan sakit kepala. Kebanyakan orang mengalaminya setelah dosis kedua. 

Patogen diketahui memicu respons imun. Namun, karena COVID-19 masih merupakan patogen baru, perubahan imunologis masih belum jelas. Beberapa perubahan dalam sistem kekebalan dari penjelasan berbagai literatur, misalnya, kelainan dalam produksi sitokin/kemokin, hiperaktivitas sel T dan peningkatan monosit teraktivasi, neutrofil, dan makrofag. Dengan demikian, COVID-19 dapat meniru respons inflamasi pada penyakit autoinflamasi dan autoimun

Manifestasi neurologis tersebut dikonfirmasi pada sepertiga pasien dengan COVID-19. Beberapa gejalanya terbukti cukup spesifik, misalnya ageusia dan insomnia. Beberapa penelitian kemudian mengusulkan hubungan antara GBS dan COVID-19.

Sindrom Guillain-Barré adalah poliradikuloneuropati demielinasi inflamasi akut penyebab kelemahan dan kelumpuhan otot yang mengakibatkan gagal napas. GBS adalah salah satu penyebab utama kelumpuhan flaccid, dengan insiden tahunan 1,7 orang per 1.000.000 penduduk. Setengah dari pasien GBS memiliki infeksi sebelumnya, tetapi etiologi pasti di balik GBS belum diketahui. 

Dalam sebagian besar kasus, infeksi sebelumnya yang diidentifikasi seperti Campylobacter jejuni, virus Zika, Human Immunodeficiency Virus (HIV), cytomegalovirus, virus Epstein-Barr, virus influenza, enterovirus, virus herpes simpleks, Mycoplasma pneumonia, dan Haemophilus influenzae. Namun, hubungan antara infeksi COVID-19 dan GBS belum dikonfirmasi.

Relasi keduanya dicirikan seperti hubungan GBS terhadap vaksin flu babi di tahun 1976, yang meningkatkan jumlah kasus GBS dalam enam minggu setelah vaksinasi. Vaksinasi lain yang berhubungan dengan GBS adalah hepatitis B, campak/gondong/rubella (MMR), Human papillomavirus (HPV), meningokokus quadrivalent, influenza, dan vaksin rabies. Meskipun tidak ada hubungan yang terbukti antara vaksin COVID-19 dan GBS, melaporkan setiap kasus yang dicurigai sangat penting, karena kita memerlukan studi vaksin yang lebih besar untuk secara andal mendeteksi efek samping yang kurang umum.

Di sisi lain, GBS mungkin merupakan sekuel dari prosedur pembedahan. Dua penelitian menyebutkan bahwa durasi rata-rata antara prosedur dan timbulnya gejala GBS pertama adalah antara 16 dan 19 hari. Operasi utama yang dilaporkan adalah operasi gastrointestinal, ortopedi, neurologis, jantung, dan ginekologi.

Baca Juga:

Satu penelitian menyelidiki kasus yang terjadi pada seorang perempuan berusia 81 tahun, diterbitkan pada 11 Januari 2022 lalu. Pasien tersebut mengalami kelemahan tungkai seminggu setelah menerima Vaksin dosis pertama. Riwayat penyakit yang ia miliki adalah hipertensi, Diabetes Mellitus tipe II, dislipidimea, dan arthroplasty.

Dari Korea Selatan, satu penelitian mengidentifikasi 13 pasien GBS yang pernah menerima vaksin Covid-19. Klasifikasi elektrodiagnostik menunjukkan demielinasi pada 7 kasus, aksonal pada 4 kasus, dan normal pada 2 kasus. Manifestasi klinis beragam dengan tingkat keparahan yang bervariasi: GBS klasik pada 8 kasus, varian paraparetic pada 3 kasus, sindrom Miller-Fisher pada 1 kasus dan kelemahan servikobrakial akut pada 1 kasus. Empat pasien mengalami gagal napas, dan 2 di antaranya menunjukkan fluktuasi terkait pengobatan.


Fitur Klinis 13 Pasien dengan GBS setelah Vaksin Covid-19

Dari penelitian tersebut, ditemukan GBS yang terjadi setelah Vaksin Covid-19 memiliki ciri klinis khas, di antaranya: Quadriplegia parah, kelumpuhan wajah bilateral yang sering tidak proporsional, atau varian lain yang tidak lengkap dan atipikal.

Studi lain berupa Scope Review terhadap berbagai literatur yang menyelidiki kaitan GBS dengan Vaksin Covid-19, dari Januari hingga Mei 2021. Studi tersebut menyelidiki 25 publikasi, lalu hanya menyisakan 6 studi yang memenuhi syarat setelah kurasi. 

Terdapat 43 kasus (2 laporan kasus, 6 dari Scope Review, dan 35 dari database VAERS). Usia rata-rata pasien adalah 54 tahun, 18 (44%) pasien perempuan, dan 23 (56%) pasien laki-laki, dengan 2 kasus jenis kelamin yang tidak dilaporkan. Komorbiditas terdapat pada 7 pasien (hipertensi pada 4 kasus dan dislipidemia pada 3 pasien), 6 subjek sehat, dan 26 komorbiditas tidak dilaporkan. Jenis vaksin termasuk: Pfizer (22 kasus), Moderna (9 kasus), AstraZeneca (3 kasus), Janssen (3 kasus), dan Johnson & Johnson (1 kasus), dan 5 laporan vaksin COVID-19 yang tidak diketahui administrasinya. 

Dua pertiga (24 kasus) GB terjadi setelah dosis pertama. Onset klinis rata-rata adalah 7 hari dengan 8 kasus tidak dilaporkan. Tidak ada laporan kematian dari analisis ini. 

CSF-AD dilaporkan pada semua 7 pasien yang menggambarkan analisis CSF. EMG disajikan dalam 6 laporan, menunjukkan pola demielinasi dalam 5 kasus, dan pola normal dalam satu kasus. Hanya 6 pasien yang memiliki data EMG yang dilaporkan. Lebih lengkapnya bisa dilihat pada data berikut ini: 


Kebutuhan mendesak akan vaksin menyebabkan pengembangan vaksin dan izinnya harus dipacu agar segera tersedia. Karena studi keamanan tidak cukup ekstensif untuk menemukan efek samping yang jarang dari vaksin, sangat penting bagi dokter untuk melaporkan dugaan efek samping. 

Dalam berbagai laporan kasus, secara jelas menyoroti hubungan temporal yang erat antara GBS dan vaksin COVID-19. Meskipun, risiko efek samping seperti GBS, tidak dapat dihitung sebagai penyebab kuat dalam menghindari pemberian vaksin saat ini, namun menjadi hal yang sangat penting untuk melaporkan dan mengumpulkan semua bukti tentang vaksin baru agar kita bisa mencapai profil keamanan vaksin yang terbaik di waktu mendatang.

Dapatkan penanganan terbaru Sindrom Guillain-Barre melalui Sejawat CME: Klik di Sini.

Referensi:
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaRekomendasi Penggunaan Proloterapi di Layanan Primer

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar