sejawat indonesia

Selayang Pandang PNPK Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia

Seperti yang kita ketahui, Indonesia telah membuat banyak kemajuan selama dekade terakhir dalam pengendalian Tuberkulosis (TB). Namun, penyakit ini masih menjadi salah satu dari empat tantangan di dunia kesehatan Indonesia sebagai penyebab kematian tertinggi. 

Secara global, Indonesia memiliki beban TB dengan menduduki peringkat ketiga di dunia. Antara tahun 2017 dan 2019, kasus yang dilaporkan meningkat dari 429.219 menjadi 523.614 orang, sesuai dengan peningkatan insiden dari 167 kasus per 100.000 menjadi 196 kasus per 100.000.

Pada tahun 2019, lebih dari 250 kasus per 100.000 penduduk dilaporkan di Jakarta , Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Papua. Tingkat keberhasilan pengobatan meningkat dari 363.098 (84,60%) dari 429.219 pada tahun 2017 menjadi 452.966 (86,51%) dari 523.614 pada tahun 2019, dengan mortalitas yang relatif stabil, berubah dari 3,15% menjadi 3,05%.

Atas dasar tersebut, Pemerintah memperkuat komitmen dengan menyusun Rencana Strategi Nasional Tahun 2016-2020 untuk Penanggulangan TB, yaitu menetapkan strategi utama untuk meningkatkan pengetahuan, memperbaiki akses, meningkatkan keberhasilan pengobatan, dengan dukungan dari sistem kesehatan, semua penyedia layanan, pasien TB dan masyarakat, sesuai dengan strategi Eliminasi TBC Tahun 2030 sesuai dengan visi WHO yaitu "End Tuberculosis".

Beberapa indikator yang digunakan untuk pencapaian target pengendalian TB pada tahun 2030 antara lain:

  1. Jumlah kematian akibat TB menurun 95% dibandingkan tahun 2015.
  2. Angka insidensi TB menurun 90% dibandingkan tahun 2015.
  3. Tidak ada keluarga yang mengalami masalah ekonomi yang bersifat katastropik (membutuhkan perawatan medis yang lama dan berbiaya tinggi).

Sementara pilar dan komponen dalam strategi pengendalian TB yaitu:

  1. Tatalaksana dan upaya pencegahan terintegrasi yang berpusat pada pasien.
  2. Dukungan politik dan sistem pendukung yang kuat.
  3. Intensifikasi penelitian dan inovasi baru.

Dari dasar tersebut disusunlah beberapa rekomendasi yang tercantum dalam Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana (PNPK) Tuberkulosis yang diringkas dalam poin-poin berikut:

1. Rekomendasi tuberkulosis paru kasus baru

  1. Berdasarkan hasil penelitian meta analisis WHO merekomendasikan paduan standar untuk TB paru kasus baru adalah 2RHZE/4RH.
  2. Pada pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya bila spesimen yang diperoleh pada akhir fase intensif (bulan ketiga) adalah BTA positif maka biakan sputum dan uji kepekaan obat sebaiknya dilakukan.

2. Panduan pengobatan TB-RO berkembang dengan adanya bukti-bukti baru yang mendukung

3. Rekomendasi tuberkulosis paru dengan HIV

  1. Gambaran klinis TB pada pasien HIV ditandai dengan penurunan berat badan dan demam. Keluhan batuk tidak perlu lebih dari 2 minggu.
  2. Rekomendasi WHO untuk pengobatan TB HIV pada fase intensif dan lanjutan diberikan setiap hari, tidak direkomendasikan terapi intermiten.
  3. Jika rifampisin tetap akan digunakan bersama LPV/r, terutama pada meningitis TB, maka dianjurkan untuk meningkatkan dosis LPV/r menjadi 2 kali dari dosis normal.

4. Rekomendasi pengobatan tuberkulosis pada saluran urogenital

  1. Durasi pengobatan tuberkulosis saluran urogenital adalah 6 bulan untuk kasus tanpa komplikasi. Terapi 9-12 bulan diberikan pada kasus dengan komplikasi (kasus kambuh, imunosupresi dan HIV/AIDS).
  2. Nefrektomi direkomendasikan pada pasien dengan hipertensi akibat komplikasi nefropati tuberkulosis.

5. Rekomendasi pengobatan tuberkulosis pada sistem saraf pusat

  1. Setiap pasien TB meningen harus dilakukan CT-scan kepala dengan kontras sebelum diterapi atau dalam 48 jam pertama terapi.
  2. CT-scan kepala dapat membantu diagnosis TB meningen dan memberikan informasi dasar yang penting terutama untuk pertimbangan intervensi bedah pada hidrosefalus.
  3. Semua pasien dengan tuberkuloma serebral atau tuberkulosis spinal sebaiknya dilakukan MRI untuk menentukan perlunya intervensi bedah dan melihat respons terapi.
  4. Foto toraks harus dilakukan pada seluruh pasien TB meningen.
  5. Paduan obat terapi lini pertama untuk segala bentuk tuberkulosis sister pusat diberikan selama 9-12 bulan.
  6. Setiap pasien TB meningen diberikan kortikosteroid tanpa memandang keparahan.
  7. Dosis kortikosteroid untuk dewasa (>14 tahun) dapat dimulai dari metil prednisolon 0,4 mg/kgBB/hari atau prednisone/dexamethasone/prednisolone dengan dosis setara selama 6-8 minggu lalu dilakukan tapering off.
  8. Indikasi bedah: hidrosefalus, abses serebral tuberkulosis.
  9. Dekompresi bedah segera harus dipertimbangkan pada lesi ekstradural yang menyebabkan paraparesis.

6. Rekomendasi tuberkulosis pada sistem parakardial 1 mg/kgBB dengan pemberian kortikosteroid dengan dosis prednisolon tapering off dalam 11 minggu.

7. Rekomendasi penanganan tuberkulosis ekstraparu

  1. Foto toraks dilakukan pada pasien TB ekstraparu untuk memastikan koeksistensi TB paru.
  2. Paduan terapi adekuat dapat dimulai tanpa menunggu hasil biakan bila histologi dan gambaran klinis sesuai dengan diagnosis tuberkulosis.
  3. Pasien dengan TB ekstraparu, paduan OAT selama 6-9 bulan (2 bulan INH, RIF, PZA, dan EMB diikuti dengan 4-7 bulan INH dan RIF).
  4. TB sistem saraf pusat (tuberkuloma atau meningitis) dan TB tulang dan sendi, OAT diberikan selama 9-12 bulan.
  5. Kortikosteroid direkomendasikan pada TB sistem saraf pusat dan pericardial.

3. Rekomendasi penanganan kasus tuberkulosis anak

  1. Semakin muda usia anak, makin tinggi risiko morbiditas dan mortalitas TB.
  2. Pendekatan diagnosis TB anak melalui 2 cara: investigasi anak yang kontak erat dengan pasien TB BTA positif dan investigasi anak dengan keluhan tanda dan gejala klinis sesuai.
  3. Adanya pasien TB anak merupakan indikator masih berlangsungnya transmisi kuman TB di komunitas.
  4. Pemeriksaan IGRA mempunyai potensi keunggulan dibanding uji tuberkulin, namun pemeriksaan IGRA relatif lebih mahal.
  5. Pemeriksaan serologi, LED dan hitung jenis yang limfositer tidak direkomendasikan untuk diagnostik TB pada pasien dewasa maupun anak.
  6. Uji tuberkulin atau pemeriksaan IGRA merupakan alat diagnosis yang paling baik untuk membuktikan adanya infeksi TB.
  7. Sistem skoring hanya digunakan di fasilitas kesehatan primer yang terbatas, baik keterbatasan tenaga medis maupun perangkat diagnosis.
  8. Kasus yang meragukan harus dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap.
  9. Untuk fasilitas layanan kesehatan yang lebih lengkap, sistem skoring dapat namun harus dilengkapi dengan digunakan sebagai penapisan awal, pemeriksaan diagnosis yang lebih lengkap.
  10. Profilaksis INH 10 mg/kgBB selama 6 bulan diberikan pada anak balita dan anak imunokompromais di segala usia yang kontak erat dengan pasien TB BTA positif.
  11. Profilaksis Levofloksasin 15-20 mg/kgBB/hari dan Etambutol 15-25 mg/kgBB/hari selama 6 bulan diberikan pada anak balita dan anak imunokompromais di segala usia yang kontak erat dengan pasien TB-RO/MDR. Obat diminum 1-2 jam sebelum makan.

Bagaimanapun tinggi rendahnya keberhasilan pengobatan tetap dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor pasien yang tidak patuh minum obat anti TB atau pasien sering pindah fasilitas pelayanan kesehatan (tanpa informasi hasil pengobatan ke fasyankes awal), faktor pengawas menelan obat (PMO) yang tidak ada atau ada namun kurang memantau, faktor obat yang mana suplai obat terganggu sehingga pasien menunda atau tidak meneruskan pengobatan dan kualitas obat menurun karena penyimpanan tidak sesuai standar.

Untuk memahami Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Tuberkulosis lebih lanjut dapat diakses melalui: PNPK TB di Indonesia

Referensi:

  1. KEMENKES RI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Tuberkulosis. 2020.
  2. USAID. Controlling Tuberculosis in Indonesia. 2021. Available on: https://2017-2020.usaid.gov/indonesia/fact-sheets/reducing-multidrug-resistant-tuberculosis-indonesia
  3. Lestari T, Fuady A, Yani FF, Putra IWGAE, Pradipta IS, Chaidir L, et al. The development of the national tuberculosis research priority in Indonesia: A comprehensive mixed-method approach. PLoS ONE. 2023. 18(2): e0281591. doi:10.1371/journal.pone.0281591
  4. Iskandar D, Suwantika AA, Pradipta IS, Postma MJ, van Boven JF. Clinical and economic burden of drug-susceptible tuberculosis in Indonesia: National trends 2017–19. The Lancet Global Health. 2023;11(1). doi:10.1016/s2214-109x(22)00455-7 
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaPenilaian Akreditasi Klinik dan Tempat Praktik Mandiri Dokter/Dokter Gigi (TPMD/TPMDG)

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar