sejawat indonesia

Terapi Baru Perawatan Alergi Makanan

Sebuah studi baru mengidentifikasi spesies bakteri dalam usus bayi manusia. Bakteri yang berperan melindungi tubuh dari alergi makanan. Temuan tersebut mendeteksi perubahan yang terkait dengan perkembangan alergi makanan dan respon imun yang berubah. Data World Allergy Organization (WAO) dalam The WAO White Book on Allergy menunjukkan bahwa penduduk dunia yang mengalami alergi sebanyak 30 sampai 40 persen dari total populasi dunia, dengan 550 juta orang didunia menderita alergi makanan. Di Indonesia, beberapa penelitian memperkirakan peningkatan kasus alergi sebesar 30% setiap tahun. Saat ini, satu-satunya cara untuk mencegah reaksi alergi makanan adalah menghindari makanan penyebab alergi. Para peneliti secara aktif mencari perawatan baru untuk mencegah atau membalikkan alergi makanan pada pasien. Wawasan terbaru tentang mikrobioma--ekosistem mikroorganisme kompleks yang hidup di usus dan situs tubuh lainnya--telah menyarankan bahwa mikrobioma usus yang berubah dapat memainkan peran penting dalam pengembangan alergi makanan. Para peneliti dari Brigham and Women's Hospital dan Boston Children's Hospital, dalam studi praklinis dengan model tikus alergi makanan, menemukan bahwa memberikan formulasi oral yang diperkaya dari lima atau enam spesies bakteri yang ditemukan dalam usus manusia, mampu memperkuat toleransi terhadap alergen makanan. "Ini mewakili perubahan besar dalam pendekatan kami terhadap terapi untuk alergi makanan," kata co-senior penulis Lynn Bry, MD, PhD, direktur Massachusetts Host-Microbiome Center di Brigham. "Kami telah mengidentifikasi mikroba yang terkait dengan perlindungan dan alergi makanan pada pasien. Jika kami memberikan konsorsium yang mewakili mikroba pelindung sebagai terapi, kami tidak hanya dapat mencegah alergi makanan terjadi, tetapi juga dapat membalikkannya. Dengan mikroba ini, kami mengatur ulang sistem kekebalan tubuh." Tim peneliti melakukan studi pada manusia dan model praklinis untuk memahami spesies bakteri utama yang terlibat dalam alergi makanan. Tim berulang kali mengumpulkan sampel tinja setiap empat hingga enam bulan dari 56 bayi yang menderita alergi makanan. Mereka menemukan banyak perbedaan ketika membandingkan mikrobiota mereka dengan 98 bayi yang tidak mengembangkan alergi makanan. Sampel mikrobiota tinja dari bayi dengan atau tanpa alergi makanan ditransplantasikan ke tikus yang peka terhadap telur. Tikus yang menerima mikrobiota dari kontrol yang sehat, lebih terlindungi dari alergi telur daripada mereka yang menerima mikrobiota dari bayi dengan alergi makanan. Menggunakan pendekatan komputasi, para peneliti menganalisis perbedaan dalam mikroba anak-anak dengan alergi makanan dengan mereka yang tidak. Tujuannya untuk mengidentifikasi mikroba yang terkait dengan perlindungan atau alergi makanan pada pasien. Lalu, mereka menguji dan mengamati apakah pemberian mikroba pelindung secara oral pada tikus dapat mencegah perkembangan alergi makanan. Mereka mengembangkan dua konsorsium bakteri yang protektif. Dua konsorsium terpisah dari lima atau enam spesies bakteri yang berasal dari usus manusia yang termasuk spesies dalam Clostridiales atau Bacteroidetes dapat menekan alergi makanan dalam model tikus, melindungi tikus sepenuhnya dan menjaga mereka untuk tahan terhadap alergi telur. "Sangat rumit untuk melihat semua mikroba di usus dan memahami apa yang mereka lakukan terhadap alergi makanan, tetapi dengan menggunakan pendekatan komputasi, kami dapat mempersempit kelompok mikroba tertentu yang terkait dengan efek perlindungan," kata co-penulis pertama Georg Gerber, MD, PhD, MPH, co-direktur Massachusetts Host-Microbiome Center dan kepala Divisi Patologi Komputasi di Departemen Patologi di Brigham. "Mampu menelusuri dari ratusan spesies mikroba menjadi hanya lima atau enam atau lebih memiliki implikasi untuk terapi, dan dari perspektif ilmu pengetahuan dasar, berarti kita dapat mulai mencari tahu bagaimana bakteri spesifik ini memberikan perlindungan." Untuk memahami bagaimana spesies bakteri dapat memengaruhi kerentanan alergi makanan, tim juga melihat perubahan imunologis, baik pada bayi manusia dan pada tikus. Mereka menemukan bahwa konsorsium Clostridiales dan Bacteroidetes menargetkan dua jalur imunologis penting dan merangsang sel T regulator spesifik, kelas sel yang memodulasi sistem kekebalan tubuh, mengubah profil mereka untuk mempromosikan respons toleran alih-alih respons alergi. Efek ini ditemukan baik dalam model pra-klinis dan juga ditemukan terjadi pada bayi manusia. Pendekatan baru ini menunjukkan kontras yang jelas dengan imunoterapi oral--memberi zat alergen pada sistem kekebalan tubuh secara lebih sering, dan dalam jumlah yang cukup kecil, agar tubuh dapat beradaptasi. Bacteriotherapy adalah strategi yang berbeda, yaitu dengan mengubah saluran sistem kekebalan menjadi suatu mode bebas-alergen, dengan potensi untuk mengobati alergi makanan secara lebih luas. "Ketika Anda bisa sampai pada pemahaman mekanistik tentang apa mikroba, produk mikroba, dan target di sisi pasien yang terlibat, Anda tidak hanya melakukan ilmu yang hebat, tetapi juga membuka peluang untuk menemukan pendekatan terapi dan diagnostik yang lebih baik terhadap penyakit. Dengan alergi makanan, ini telah memberi kita terapi yang kredibel dan sekarang dapat kita ambil untuk perawatan pasien," kata Bry.
Sumber: Nature Medicine, 2019; DOI: 10.1038/s41591-019-0461-z
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaPenanganan dan Metode Diagnosis Bagi Infeksi Yang Resisten terhadap Obat

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar