Ancaman Pandemi dari Virus Hendra
Angka kejadian kemunculan penyakit zoonosis telah meningkat dalam beberapa dekade terakhir. Beberapa faktor predisposisi seperti peningkatan populasi manusia, kepadatan penduduk, hingga pemanasan global juga menjadi salah satu aspek pendukung di masa datang. Maka, dapat diperkirakan bahwa penyakit yang baru dan lebih pathogen akan meningkat pada populasi manusia, di mana hewan-hewan peliharaan atau hewan agricultural dapat menjadi sumber utama. Bahkan, spesies di alam luar dapat menjadi inang utama pathogen penyakit infeksi tersebut.
Zoonotic Emerging Disease dan Virus Hendra
Penyakit infeksi emerging adalah penyakit yang muncul dan menyerang satu populasi untuk pertama kalinya atau telah ada sebelumnya namun meningkat dengan sangat cepat, baik dalam jumlah kasus baru di dalam satu populasi, ataupun penyebarannya ke daerah geografis yang baru. Patogen zoonosis 60% di antaranya merupakan penyakit infeksi emerging, di mana 72% di antaranya berasal dari alam liar.
Kelelawar merupkan inang yang penting untuk penyakit infeksi emerging seperti Nipah Virus (NiV) di Malaysia, dan Hendra Virus (HeV) di Australia, dan juga termasuk diprediksi menjadi sumber inang virus Ebola di Afrika. Penyakit virus zoonosis yang paling baru adalah severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 atau SARS-CoV-2.
Pandemi Covid-19 akhirnya memacu para peneliti menyelidiki berbagai penyakit infeksi emerging yang berpotensi menjadi pandemi. Baru-baru ini, varian baru Virus Hendra (HeV2) diidentifikasi oleh para peneliti di Griffith University.
Baca Juga:
Virus Hendra
Hendra Virus (HeV) adalah penyakit zoonosis (penyakit yang dapat ditularkan dari hewan kepada manusia) langka yang muncul yang dapat menyebabkan penyakit yang berat dan mematikan pada kuda maupun manusia yang terinfeksi.
Hendra virus pertama kali ditemukan pada wilayah Hendra, Brisbane, Australia setelah terjadi penyakit pernapasan akut berat dan demam tinggi pada 14 dari 20 kuda yang terdapat dalam satu peternakan. Dua orang di antaranya yang memiliki riwayat kontak erat dengan kuda-kuda tersebut juga terinfeksi; satu orang meninggal satu minggu kemudian, dan satunya lagi sembuh.
Kejadian yang serupa juga terjadi di Queensland, Australia, yang melibatkan dua kuda dan seorang manusia. Kejadian ini dikenali pada tahun 1995 setelah orang yang terkena tersebut akhirnya meninggal karena ensefalitis berulang. Sementara pada bulan Juli tahun 2016, terdapat 53 kasus yang melibatkan lebih dari 70 ekor kuda. Kejadian ini semua terbatas pada daerah pesisir Australia bagian timur laut.
Sejak 1994, terdapat tujuh orang yang terinfeksi Hendra virus dan empat orang di antaranya meninggal dunia. Semua kasus ini ditemukan di Australia.
Secara umum, fatality rate terbaru pada kuda sekitar 80% dan 60% pada manusia. Komplikasi yang ditimbulkan dapat mematikan, seperti pneumonia, meningitis, dan encephalitis. Pada meningitis dan encephalitis, gejala yang umum ditemui adalah sakit kepala, demam, hilang kesadaran, koma, bahkan kematian.
Hendra Virus merupakan penyakit infeksi emerging zoonosis yang penting karena menunjukkan tingginya angka kematian pada mahluk yang terinfeksi. Ia diklasifikasikan dalam organisme biosafety level 4, setara dengan klasifikasi virus Ebola. Virus Hendra, bersama dengan Nipah dan virus Cedar, berada pada satu family yang sama yaitu Paramyxoviridae¸ di bawah genus Henipavirus.
Virus HeV merupakan virus beramplop pleomorfik (yang bervariasi antara sferis atau berfilamen), yang mengandung ikatan single, genom RNA tak bersegmen.
Pada kuda yang terinfeksi virus hendra biasanya mengalami penyakit akut yang tidak spesifik. Gejala meliputi gejala pernafasan, neurologis, hingga gejala lain-lain seperti kolik, kesadaran menurun, depresi, demam, dan gelisah. Gejala muncul dalam hitungan hari sementara pada manusia gejala dapat timbul dalam hitungan minggu.
Pada manusia yang dicurigai terkena virus Hendra, semuanya memiliki kontak erat dengan kuda yang sakit. Gejala yang timbul antara lain demam, batuk, nyeri tenggorokan, sakit kepala dan lemas merupakan gejala awal yang umum. Dapat terjadi meningitis atau ensefalitis yang menyebabkan sakit kepala, demam tinggi, kehilangan kesadaran, kejang, hingga koma. Hendra virus juga bisa menyebabkan kematian. Ensefalitis berulang dapat terjadi setelah sembuh dari infeksi akut dan terjadi karena adanya perkembangan baru dari replikasi virus yang terdapat dalam system saraf pusat.
Karena gejala klinis yang berhubungan dengan virus Hendra bukan merupakan data klinik patognomonis (sekumpulan gejala atau tanda yang karakteristiknya hanya pada penyakit tertentu), maka pemeriksaan laboratorium mejadi pemeriksaan yang sangat penting.
Pada kuda yang hidup, pemeriksaan termasuk pemeriksaan darah dengan EDTA dan swab nasal, oral, dan rektal untuk diperiksa secara PCR. Jika hasil pemeriksaan secara PCR menunukkan hasil yang positif, maka dapat dilakukan isolasi virus. Percobaan isolasi virus harus dilakukan di laboratorium dengan keamanan yang tinggi.
Pasien yang dicurigai terinfeksi diperiksa laboratorium tergantung dari gejala yang ditimbulkan. Pasien dengan paparan yang tinggi dapat memeriksakan kembali darahnya enam bulan kemudian untuk memeriksa apakah telah memiliki antibody terhadap infeksi. Pemeriksaan hendra virus tidak direkomendasikan untuk mereka yang termasuk resiko rendah. Yang termasuk resiko rendah yaitu pasien yang memiliki kontak minim dengan kuda yang terinfeksi.
Resiko tinggi terdapat pada pasien yang memiliki kontak erat dengan kuda, misalnya pada saat melakukan autopsy pada kuda yang terinfeksi tanpa menggunakan APD (alat pelindung diri) yang layak. Infeksius tertinggi terutama terdapat pada hewan post-mortem baru, sehingga paparan dalam jumlah banyak dan durasi tersebut merupakan salah satu resiko tinggi bagi seseorang untuk terinfeksi virus Hendra.
Pada manusia, diagnosis dapat diperoleh dengan pemeriksaan darah dan urin. Pada bebrapa kasus, pemeriksaan swab nasofaring, pengambilan contoh jaringan dan cairan serebrospinal (CSF, cerebrospinal fluid).
Pemeriksaan yang digunakan untuk memeriksa virus Hendra termasuk pemeriksaan antibody dengan metode ELISA (igG dan IgM), real time polymerase chain reaction (RT-PCR) dan percobaan isolasi virus. Pada kebanyakan kasus, penanganan virus Hendra perlu dilakukan di laboratorium dengan tingkat keamanan yang tinggi.
Melihat fatalitas dan angka kematian yang disebabkannya, Virus Hendra memiliki potensi menjadi Pandemi. Apalagi, hingga saat ini, belum ada terapi atau vaksin yang dapat digunakan untuk mengobati atau mencegah penularan Hendra virus dari kuda ke manusia.
Obat ribavirin yang digunakan hanya terbukti efektif melawan virus secara in vitro, tetapi kegunaan klinis obat ini masih belum pasti. Sebuah antibody monoclonal m102.4 pada manusia saat ini telah dikembangkan dalam penelitian klinis dan telah menunjukkan hasil yang menjanjikan.
Kondisi di Indonesia
Melihat posisi geografis yang berdekatan dengan Australia (Tempat HeV ditemukan) dan berada di Asia Tenggara (Wilayah risiko tinggi penyebaran penyakit zoonosis), Indonesia sepatutnya mulai memikirkan langkah-langkah perlindungan terkait Virus Hendra. Apalagi, jika melihat hewan pembawa penyakit ini adalah Kelelawar Buah (Flying Fox) yang bisa dengan mudah melintasi batas-batas geografis.
Satu studi serologi pada kelalawar yang ada di Indonesia (Sendow el al, 2013) menunjukkan bahwa sebanyak 22, 6% kelelawar spesies Pteropus vampyrus di Kalimantan Barat dan sebanyak 25% P. Alecto di Sulawesi Utara mengandung antibodi terhadap virus Hendra. Itu berarti, hewan-hewan tersebut telah terinfeksi Virus Hendra sebelumnya.
Berbagai langkah pencegahan sangat dibutuhkan sesegera mungkin untuk mengantisipasi penyebaran Virus Hendra. Diagnosis yang komprehensif untuk menilai kondisi secara cepat, serta melakukan mitigasi terhadap dampak dan akibatnya akan memerlukan pengetahuan tentang hubungan antara manusia, binatang, dan kesehatan lingkungan. Semuanya harus dilakukan dengan pendekatan interdisiplin untuk menangani outbreak penyakit zoonosis baru. Termasuk, penelitian terhadap subjek yang dicurigai perlu menjadi prioritas untuk membantu menangani ancaman di masa depan.
Penulis: dr. Gabriella Dwiputri
Referensi:
- Hendra Virus Disease (HeV), Centers for Disease Control and Prevention.
- E.G. Playford, B. McCall, G. Smith, V. Slinko, G. Allen, I. Smith, et al. Human Hendra virus encephalitis associated with equine outbreak, Australia, 2008 Emerg. Infect.
- K.T. Wong, T. Robertson, B.B. Ong, J.W. Chong, K.C. Yaiw, L.F. Wang, et al. Human Hendra virus infection causes acute and relapsing encephalitis Neuropathol. Appl. Neurobiol., 35 (3) (2009), pp. 296-305,
- J.D. O’Sullivan, A. Allworth, D.L. Paterson, T.M. Snow, R. Boots, L. Gleeson, et al. Fatal encephalitis due to novel paramyxovirus transmitted from horses Lancet, 349 (9045) (1997), pp. 93-95, 10.1016/S0140-6736(96)06162-4
- Goldspink LK et al. 2015. Hendra Virus Disease (HeV). Natural Hendra Virus Infection in Flying-Foxes - Tissue Tropism and Risk Factors.
- E.G. Playford, T. Munro, S.M. Mahler, S. Elliott, M. Gerometta, K.L. Hoger, et al. Safety, tolerability, pharmacokinetics, and immunogenicity of a human monoclonal antibody targeting the G glycoprotein of henipaviruses in healthy adults: a first-in-human, randomised, controlled, phase 1 study Lancet Infect. 2020
Log in untuk komentar