sejawat indonesia

Anti-Epileptic Drug: Bagaimana Cara Pemberian, Mekanisme Obat hingga Efek Samping pada Epilepsi

Epilepsi merupakan masalah kesehatan tertua di dunia, dengan catatan tertulis sejak 4000 SM. Ketakutan, kesalahpahaman, diskriminasi dan stigma sosial telah melingkupi epilepsi selama berabad-abad.

Stigma ini berlanjut di banyak negara hingga saat ini dan dapat berdampak pada kualitas hidup seseorang. Epilepsi mempengaruhi sekitar 50 juta orang di seluruh dunia, menyumbang lebih dari 0,5% dari beban penyakit global.

World Health Organization (WHO), International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE) memimpin Kampanye Global Melawan Epilepsi. Tujuannya adalah memberi informasi yang lebih baik, meningkatkan kesadaran tentang epilepsi, serta memperkuat publik dan swasta dalam upaya meningkatkan perawatan dan mengurangi dampaknya.

Epilepsi ditandai dengan kejang berulang, merupakan episode singkat gerakan tak sadar yang mungkin melibatkan sebagian tubuh (partial) atau seluruh tubuh (generalized) dan kadang-kadang disertai dengan hilangnya kesadaran dan kontrol fungsi usus atau kandung kemih. Episode kejang terjadi akibat pelepasan listrik yang berlebihan pada sekelompok sel otak. 

Satu kejang tidak menandakan epilepsi (hingga 10% orang di seluruh dunia mengalami satu kali kejang selama hidup mereka). Epilepsi didefinisikan sebagai gangguan otak yang ditandai oleh salah satu dari kondisi berikut: (1) Setidaknya dua kejang tanpa provokasi yang terjadi >24 jam, (2) Satu kejang tanpa provokasi dan berkemungkinan terjadi kekambuhan setidaknya 60% setelah dua kejang selanjutnya tanpa provokasi, minimal dalam kurung waktu 10 tahun, dan 3) Diagnosis sindrom epilepsi.

Kejang provokasi adalah kejang yang terjadi sebagai reaksi terhadap kondisi akut yang mempengaruhi otak. Faktor yang memprovokasi termasuk, trauma kepala, stroke, infeksi intrakranial, gangguan metabolisme akut (misalnya hipoglikemia, anoksia) dan keracunan obat atau racun akut.

Sedangkan, etiologi kejang berulang tanpa provokasi pada umumnya bersifat ideopatik. Tapi, 2 teori yang masih digunakan sebagai penyebab epilepsi di antaranya faktor genetik dan metabolik. 

Strategi pengobatan untuk kejang adalah manajemen obat. Tapi, seperti resep agen farmasi lainnya, seorang dokter harus menyeimbangkan kemanjuran dengan efek samping, dan memberikan pertimbangan untuk biaya, interaksi obat, preferensi pasien, dan ketersediaan.

Kegiatan ini menguraikan indikasi, mekanisme aksi, metode pemberian, efek samping yang penting, kontraindikasi, dan pemantauan, dari berbagai obat kejang. Sehingga, penyedia dapat mengarahkan terapi pasien dalam mengobati gangguan yang ditunjukkan sebagai bagian dari tim interprofesional dengan obat kejang. Tentu saja berdasarkan pengetahuan saat ini untuk pemanfaatan yang optimal.

American Academy of Neurology (AAN) dan American Epilepsy Society (AES) baru-baru ini menawarkan pedoman tentang inisiasi obat setelah kejang pertama tanpa provokasi, pada orang dewasa. Fokusnya terutama pada pendekatan individual.

Sebelum membuat keputusan apa pun, faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko harus diidentifikasi dan mencakup pencitraan otak abnormal, elektroensefalogram (EEG) abnormal, dan adanya kejang di malam hari.

Pasien harus memahami bahwa risiko kekambuhan kejang paling besar dalam 2 tahun pertama (21% hingga 45%). Risikonya ini dapat dikurangi dengan pengobatan. Tapi, efek samping obat anti-kejang, meskipun masih dalam kategori ringan dan reversibel, harus ditinjau dan dibahas secara rinci.

Sebagai catatan, obat kejang tertentu telah digunakan di luar label untuk berbagai indikasi lain, seperti : 

  • Anxiolytics : Pregabalin, clonazepam, clobazam
  • Migraine relief : Zonisamide, valproic acid, topiramate
  • Mood stabilizer : Valproic Acid, lamotrigine, carbamazepine
  • Neuropathic pain relief : Pregabalin, gabapentin, carbamazepine
  • Weight loss : Zonisamide, topiramate
  • Antiparkinsonian agent : Zonisamide

Anti-Epilptic Drug (AED) ada berbagai macam dengan mekanisme kerja yang berbeda. Meskipun mekanisme yang tepat dari beberapa obat sulit dipahami, obat anti-kejang cenderung dikelompokkan berdasarkan cara kerjanya yang utama.

Beberapa AED bekerja pada saluran natrium dengan menghalangi aktivasi berulang (fenitoin, karbamazepin) atau dengan meningkatkan inaktivasi dari kejang (lakosamida). Lainnya, bekerja pada saluran kalsium dengan memblokir saluran kalsium tipe-T (ethosuximide, asam valproat) atau saluran kalsium tipe-N dan L (zonisamide).

Lamotrigin bekerja dengan memblokir saluran natrium, memblokir saluran kalsium tipe N dan L, dan memodulasi arus H. Topiramate bekerja dengan memblokir saluran natrium, reseptor alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazole propionic acid (AMPA), dan dengan menghambat karbonat anhidrase.


Baca Juga :


Mekanisme lain di mana AED bertindak dengan cara meningkatkan reseptor asam gamma-aminobutirat (GABA)-A (fenobarbital, benzodiazepin), memblokir reseptor N-metil-D-asam aspartat (NMDA) (felbamate), dan membuka saluran kalium neuronal (ezogabine). 

1. Carbamazepine (CBZ)

Digunakan untuk kejang fokal dan umum. CBZ juga digunakan untuk pasien dengan gangguan bipolar dan neuralgia trigeminal. CBZ dimetabolisme oleh sistem sitokrom P450 dan merupakan penginduksi kuat dari enzim hati.

Efek samping yang umum termasuk gangguan gastrointestinal, hiponatremia, ruam, gatal, kantuk, pusing, penglihatan kabur, dan sakit kepala. Efek samping yang jarang tetapi berbahaya termasuk Sindrom Stevens-Johnson, nekrolisis epidermal toksik, leukopenia, dan anemia aplastik (pansitopenia)

2. Oxcarbazepine

Secara struktural mirip dengan CBZ dan dengan demikian memiliki mekanisme aksi yang serupa. Ini juga sebanding dengan CBZ dalam hal kemanjuran untuk kejang tonik-klonik umum fokal dan sekunder. Pasien mungkin akan mengalami pusing, sakit kepala, ataksia, mual, ruam, penglihatan ganda, dan/atau hiponatremia.

3. Fenitoin

Salah satu obat anti-kejang tertua dan masih banyak digunakan untuk kejang fokal dan umum. Fenitoin juga diberikan untuk status epileptikus. Selain itu, praktisi dapat menggunakan fenitoin sebagai agen lini kedua untuk pasien dengan jenis kejang campuran (misalnya, tonik-klonik dan mioklonik).

Sebagai catatan, fenitoin adalah penginduksi spektrum luas dari sistem CYP dan dapat mengurangi efektivitas berbagai bentuk obat kontrasepsi oral hormonal (OCP). Efek samping utama termasuk hiperplasia gingiva, peningkatan rambut tubuh, penipisan asam folat, ruam, dan kepadatan tulang yang memburuk.

Pasien juga harus diberi konseling mengenai kemungkinan pengembangan kebingungan, ataksia, penglihatan ganda, dan neuropati dengan penggunaan jangka panjang.

4. Lakosamida

Menstabilkan membran yang hipereksitasi dan menghambat penembakan saraf berulang melalui inaktivasi lambat saluran natrium berpintu tegangan. Mekanisme lain yang mungkin melibatkan pengikatan protein mediator respon collapsin 2 (CRMP2), yang telah terlibat dalam epileptogenesis. Lakosamida digunakan sebagai monoterapi atau terapi tambahan untuk kejang onset fokal pada pasien berusia 4 tahun ke atas.

5. Fenobarbital

Digunakan untuk kejang umum dan fokal, tetapi sifat penenang membuatnya sulit untuk digunakan dalam dunia klinis modern. Mengenai mekanisme, fenobarbital adalah barbituate dan mengikat reseptor GABA-A, memperpanjang keadaan terbuka untuk memungkinkan lebih banyak masuknya klorida dan hiperpolarisasi seluler konsekuen.

6. Vigabatrin

Penghambat enzim yang memetabolisme GABA (GABA transaminase), sehingga meningkatkan konsentrasi GABA dalam sistem saraf pusat. Vigabatrin digunakan sebagai tambahan untuk kejang fokal refrakter, tetapi juga dapat digunakan sebagai monoterapi.

Vigabatrin juga berguna dalam dunia pediatrik untuk kejang infantil, terutama pada anak-anak dengan kompleks tuberous sclerosis. Pasien harus berhati-hati mengenai kemungkinan kehilangan penglihatan. Obat ini juga dapat menyebabkan kelainan MRI (tetapi tanpa defisit neurologis yang jelas), kelelahan, pusing, dan sakit kepala.

7. Valproat (Asam valproat, VPA)

Obat spektrum luas lain yang digunakan untuk mengobati kejang fokal dan umum. Mirip dengan topiramate, ia memiliki beberapa mekanisme aksi, termasuk penghambatan saluran natrium gerbang tegangan, augmentasi konsentrasi GABA, dan penghambatan ringan arus kalsium tipe-T (tetapi tidak sejauh etosuksimida).

Valproat dimetabolisme oleh hati dan merupakan penghambat enzim CYP. VPA harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan insufisiensi hati. Tapi harus dihindari oleh pasien dengan gangguan siklus urea karena risiko tinggi hiperamonemia.

Efek samping umum lainnya dari VPA termasuk mual/muntah, tremor, mudah memar, penambahan berat badan/resistensi insulin, sindrom metabolik, dan hipotiroidisme subklinis. VPA dapat menyebabkan cedera hepatoseluler akut dengan penyakit kuning atau pankreatitis akut, tapi terbilang jarang. VPA harus dihindari selama kehamilan, karena neurotoksisitas teratogenik telah diamati.

Jenis Kejang

Setelah diagnosis epilepsi, pemilihan AED sangat bergantung pada klasifikasi jenis kejang. Dalam pengertian yang paling umum, kejang dapat diklasifikasikan sebagai parsial atau umum. Kejang parsial dapat dipecah lebih lanjut menjadi kejang yang tidak mempengaruhi kesadaran (parsial sederhana) atau yang mempengaruhi (parsial kompleks).

Kejang parsial sederhana mempengaruhi area fokus otak, yang pada gilirannya menyebabkan temuan neurologis fokal seperti hilangnya fungsi motorik pada satu anggota badan, disfungsi sensorik di wilayah tubuh tertentu, atau perubahan penglihatan atau bicara, tanpa mempengaruhi kesadaran akan kejadian tersebut.

Kejang parsial kompleks memang serupa, tapi termasuk saat-saat kebingungan singkat yang cepat sembuh setelah kejang berakhir. Kejang umum mempengaruhi seluruh tubuh dan dapat muncul sebagai kejang tonik-klonik (otot awalnya menegang, yang diikuti sentakan), kejang absen (individu mungkin menatap ke angkasa, dan ada jeda singkat dalam kesadaran, sering disalahartikan dengan melamun), dan kejang atonik (tiba-tiba terjadi kehilangan tonus otot, sering mengakibatkan jatuh).

Inisiasi Obat Antiepilepsi

AED dapat dibagi menjadi dua kategori, yakni spektrum luas dan spektrum sempit. AED spektrum luas mengobati berbagai jenis kejang, seperti namanya, dan merupakan pilihan awal yang baik, terutama ketika klasifikasi jenis kejang tidak pasti.

AED ini termasuk levetiracetam, lamotrigin, zonisamide, topiramate, asam valproat, clonazepam, perampanel, clobazam, dan rufinamide. Sedangkan AED spektrum sempit terutama untuk pengobatan kejang fokal atau parsial. Ini termasuk lacosamide, pregabalin, gabapentin, carbamazepine, oxcarbazepine, ezogabine, phenytoin, dan vigabatrin.

Monoterapi adalah jalur ideal untuk pengobatan kejang, tetapi AED terbaru mengalami kesulitan mendapatkan persetujuan FDA sebagai agen monoterapi karena kesulitan mencapai persyaratan dan persetujuan.

Namun, dengan memeriksa basis bukti saat ini, AED generasi kedua tampaknya menjadi pilihan yang tepat. Ini karena telah menunjukkan kemanjuran yang serupa bila dibandingkan dengan AED yang lebih tua dan memiliki toleransi yang lebih baik.

Satu uji coba besar secara acak, uji coba Standard and New Antiepileptic Drugs (SANAD), menunjukkan beberapa keunggulan komparatif dari AED tertentu ketika mengobati epilepsi fokal atau umum.

Pada akhirnya, ketika membandingkan valproat, lamotrigin, atau topiramate untuk kejang umum, mereka merekomendasikan asam valproat sebagai pilihan lini pertama mereka. Selain itu, ketika membandingkan karbamazepin, gabapentin, lamotrigin, oxcarbazepine, dan topiramate untuk kejang fokal, lamotrigin disebut sebagai pilihan lini pertama.

Sebagai catatan, mengenai kejang onset parsial secara khusus, beberapa obat kejang yang baru-baru ini disetujui FDA untuk monoterapi adalah perampanel, lacosamide, brivaracetam, dan eslicarbazepine acetate.

Efek Samping

Pasien harus diajari bahwa efek samping dengan obat anti-kejang, menurut AAN, dapat berkisar antara 7% hingga 31%. Tetapi sebagian besar ringan dan reversibel. Secara umum, penting untuk meninjau sisipan obat khusus untuk daftar lengkap efek samping.

Dari efek samping yang lebih ringan dan umum, pasien harus disarankan untuk memantau sakit kepala, kelelahan, pusing, penglihatan kabur, mual, penambahan atau penurunan berat badan, gangguan mood, dan masalah neurokognitif. Potensi reaksi alergi ada di antara semua obat dan harus dipantau saat inisiasi.

Dengan penggunaan kronis, banyak AED membawa efek samping osteoporosis, dan rekomendasi umum adalah untuk melengkapi diet dengan kalsium dan vitamin D, sambil mendorong kebiasaan olahraga rutin

Dari efek samping yang lebih serius, sindrom Stevens-Johnson, agranulositosis, anemia aplastik, gagal hati, pansitopenia, hipersensitivitas multiorgan, psikosis, dan sindrom lupus semuanya telah dilaporkan. Meskipun risiko bunuh diri rendah, FDA telah mewajibkan semua AED untuk membawa peringatan bunuh diri.

Selanjutnya, yang harus menjadi perhatian interaksi obat-obat, yang paling sering terjadi pada AED generasi yang lebih tua, karena dapat mempengaruhi enzim hati (misalnya, sistem sitokrom P450).

Jika enzim hati ini diinduksi, dapat menyebabkan metabolisme yang cepat dari obat lain, berpotensi menyebabkan tingkat subterapeutik mereka dalam tubuh. Jika, di sisi lain, enzim hati dihambat, tingkat racun obat dapat dicapai karena gangguan pemecahan melalui hati.

Misalnya, karbamazepin, fenitoin, dan fenobarbital, yang penginduksi enzim hati dan dapat meningkatkan metabolisme obat yang diresepkan secara bersamaan seperti warfarin. Sebaliknya, valproate adalah inhibitor enzim hati.

Baik obat yang menginduksi dan menghambat dapat meningkatkan perhatian yang signifikan ketika mengelola kondisi komorbiditas tertentu di mana dosis terapeutik obat adalah yang paling penting, termasuk HIV, kanker, gangguan endokrin, dan penyakit kardiovaskular.

Setelah pasien mulai menggunakan obat anti-kejang, pendidikan pasien sangat penting. Selain praktisi peresepan, perawat pasien dan apoteker harus mendidik pasien tentang kepatuhan dalam minum obat.

Selanjutnya, keluarga harus dididik tentang tindakan pencegahan kejang seputar aktivitas seperti mengemudi dan berenang. Pasien dengan diagnosis kejang tidak boleh melakukan aktivitas tanpa pengawasan di dalam air atau bekerja di ketinggian. Tergantung pada frekuensi kejang, beberapa pasien mungkin tidak diperbolehkan mengemudi.

Karena sebagian besar obat anti-kejang memiliki efek samping, pasien harus diberitahu untuk menindaklanjuti dengan pengasuh utama dan dipantau secara ketat. Akhirnya, pasien harus diperingatkan agar tidak mengubah frekuensi atau waktu dosis, tanpa berbicara terlebih dahulu dengan penyedia layanan kesehatan.

Cari tahu tentang cara penanganan epilepsi bersama ahlinya melalui LIVE CME Update Diagnosis dan Manajemen Epilepsi.


Penulis : Suci Sasmita, S.Ked

Referensi :

  • Shaikh, M. F., Chakraborti, A., O'Brien, T. J., & Raymond, A. A. (2022). Editorial: Translational Epilepsy: An Experimental to Clinical Update. Frontiers in neurology, 13, 939559.
  • Saad, Khaled. (2015). Childhood Epilepsy: An Update on Diagnosis and Management. American Journal of Neuroscience.
  • Guidelines. AES. (n.d.). Diakses pada 17 Agustus 2022, melalui https://www.aesnet.org/clinical-care/clinical-guidance/guidelines.
  • Smith, P. E. M., & Author AffiliationsFrom the Department of Neurology. (n.d.). Initial management of seizure in adults: Nejm. New England Journal of Medicine. Diakses pada 17 Agustus 2022, melalui https://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMcp2024526#:~:text=Data%20from%20long%2Dterm%20pragmatic,except%20for%20women%20of%20childbearing.
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaPentingnya Inisiasi Menyusui Dini pada Jam Pertama Kelahiran Bayi

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar