sejawat indonesia

Bell's Palsy dan Komplikasinya: Apa yang perlu diketahui?

Bell’s palsy, atau lebih tepatnya disebut kelumpuhan wajah idiopatik, adalah  penyebab paling umum dari kelumpuhan wajah unilateral. Bell’s palsy merupakan suatu  sindrom kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron yang disebabkan oleh kelumpuhan saraf fasialis perifer, bersifat unilateral yang terjadi di luar sistem saraf pusat, etiologi idiopatik, akut, dan  tidak disertai dengan gangguan pendengaran, atau kelainan neurologi lainnya.

Mekanismenya bermula di Nervus fasialis. Saraf otak ke VII tersebut tersusun dari dua bagian yaitu saraf motorik dan saraf sensorik atau sering disebut dengan saraf intermedius. Inti motorik yang merupakan penyusun utama saraf fasialis terletak di pons. Serabutnya mengitari inti nervus VI dan keluar di bagian lateral pons, sedangkan saraf intermedius keluar di permukaan lateral pons.

Kedua saraf tersebut kemudian bersatu membentuk berkas saraf yang berjalan dalam kanalis fasialis dan terus menuju os mastoid. Setelah melewati os mastoid, kedua saraf keluar dari tulang tengkorak melalui foramen stilomastoideus dan bercabang untuk mensarafi otot-otot wajah.

Nervus fasialis mempunyai fungsi motorik, fungsi parasimpatis dan juga sensorik pada dua pertuga lidah. Saraf ini juga mengontrol kelenjar ludah dan kelenjar lakrimal. Cabang motorik dari nervus fasialis perifer mengontrol otot wajag bagian atas dan bawah, oleh karena itu diagnosis BP untuk membedakan kelumpuhan tipe perifer maupun parsial dapat di lihat dari dahi pasien. 

 

id1I1ybC5ZgWS1V8Hi4J2-Y9uwoe-eNPbSgTOqL2dPnyGDw59RrQ2Wc_-gsQPpcn3jBQvDjvS5fU0u-vZx_yqLteCH1U6sbi0Kru4DJXUoTnwndnsv34HZOP0cyo8LFoaKZP8KDYNEI_0P5Pnu0jxhXBOHhSuL1iO4Ph3LFCCUJigyWvxU1Zq7rC_ikkEg

Gambar 1. Percabangan saraf fasialis 

BP merupakan keadaan dengan etiologi idiopatik. Beberapa literatur menjelaskan keterkaitan hubungan beberapa infeksi virus yang dapat menjadi faktor pencetus munculnya BP, di antaranya adalah infeksi virus herpes simpleks, infeksi virus varicella zoster, dan infeksi virus epstein barr. Selain itu, terdapat beberapa faktor pemicu munculnya bell's palsy yaitu trauma, kegabasan, kongenital, dan autoimun.

Bell's Palsy disebabkan oleh kompresi nervus kranialis 7 pada ganglion genikulatum. Saluran pertama yang dilewati N. VII setelah dari kanalis fasialis adalah segmen labirin yang merupakan saluran yang paling sempit sehingga menjadi tempat terjadinya kompresi yang paling sering.

Kompresi yang terjadi dapat menyebabkan iskemia pada saraf yang menimbulkan kelemahan sisi unilateral wajah termasuk otot daerah dahi. Pada preparat post-mortem kasus BP, ditemukan adanya distensi vaskular, inflamasi, dan edema disertai dengan iskemia nervus fasialis.

Namun, etiologi pasti dari penyakit ini belum diketahui. Beberapa penyebab pasti telah dikemukakan seperti kausa virus, inflamasi, autoimun, dan vaskular. Walaupun begitu, reaktivasi dari virus herpes simpleks atau herpes zoster dari ganglion genikulatum merupakan salah satu penyebab yang paling dicurigai. Walaupun pemeriksaan neuroimaging telah maju, namun diagnosis BP tetap bergantung pada klinis pasien. 

Gejala Klinis

Pasien biasanya datang dengan gejala akut tiba-tiba dan progresif yang terjadi selama beberapa hari hingga minggu, dimana puncak keparahan gejala kurang 72 jam. Gejala ini biasanya membuat pasien menjadi panik karena mirip dengan gejala pada keadaan stroke, dan membuat pasien datang ke unit gawat darurat (UGD). 

Kelemahan parsial atau komplit pada setengah dari wajah yang menyebabkan kelemahan alis, dahi, dan sudut mulut. Pasien juga menjadi sulit untuk menutup mata dan mulut pada sisi yang mengalami kelumpuhan. Derajat keparahan klinis dapat diklasifikasikan berdasarkan kelemahan pada otot wajah menurut The House-Brackmann Facial Nerve Grading System yang dimulai dari grade I (tidak ada kelemahan) hingga grade VI (Kelemahan otot wajah komplit). 

Gambar 2. Sistem grading yang dikembangkan oleh house dan brackmann yang membagi derajat keparahan paralisis nervus fasialis menjadi derajat 1) Tidak ada paralisis nervus fasialis, derajat 2) Disfungsi ringan nervus fasialis, 3) disfungsi moderat nervus fasialis, derajat 4) Disfungsii moderat-berat nervus fasialis, derajat 5) disfungsi berat nervus fasialis, derajat 6) Paralisis total. 

Hampir setengah dari pasien dengan Bell's palsy akan merasakan nyeri pada aurikula posterior. Nyeri biasanya terjadi bersamaan dengan paresis wajah, namun dapat juga muncul lebih awal 2-3 hari sebelum parese wajah. Sepertiga dari pasien akan mengalami hiperakusis pada ipsilateral telinga yang mengalami kelumpuhan, yang diakibatkan oleh kelemahan pada otot stapedius. 80% dari pasien akan mengalami penurunan sensasi indra pengecap, pasien biasanya tidak menyadari hal ini karena indra pengecap pada sisi yang tidak sakit, tidak mengalami gangguan. 

Riwayat keluhan dan pemeriksaan fisik merupakan kunci dari diagnosis. Jika dari klinis maupun pemeriksaan fisis ditemukan khas mengarah ke BP, maka tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium maupun pencitraan lebih lanjut. Jika terdapat gejala atipikal, pasien mungkin memerlukan evaluasi untuk mencari penyebab sentral dari kelumpuhan. 

Pemeriksaan Fisis

Pada pemeriksaan fisis dapat dilihat dari daerah wajah mulai dari bagian atas yaitu kerutan kulit dahi, perlu diperhatikan apabila tampak kerutan pada kulit dahi ataukah tidak. Pada kelumpuhan n.VII perifer kerutan kulit dahi pada sisi yang sakit akan menghilang, sedangkan pada kelumpuhan n. VII sentral kerutan kulit dahi akan masih tampak di sisi yang sakit. 

Kemudian dapat dilihat dari kedipan mata, Pada sisi yang lumpuh kedipan mata menjadi lambat, tidak gesit dan tidak kuat yang disebut dengan lagoftalmos. Lipatan Nasolabial menghilang, dan sudut mulut akan tampak lebih rendah pada sisi yang mengalami kelumpuhan. Kunci pemeriksaan fisis dalam menentukan kelemahan parsial atau komplit adalah dengan melihat dahi. Jika kekuatan otot pada dahi normal, maka penyebab kelumpuhan N.VII terletak di sentral. Pasien juga biasanya mengeluhkan perubahan indra pengecap, sensitivitas terhadap suara, otalgia, dan produksi air mata dan saliva. 

Terapi

Guideline yang ada merekomendasikan kortikosteroid sebagai terapi lini pertama pada BP yang diberikan dalam 72 jam setelah onset gejala. Kortikosteroid diberikan dengan dosis regimen 60 mg sehari selama 10 hari (60 mg/harj selama 6 hari kemudian di tappering off perlahan selama 10 hari).

Terdapat juga bukti yang membuktikan bahwa terapi kortikosteroid yang diberikan bersamaan dengan antivirus dapat meningkatkan outcome terapi pada BP dibandingkan monoterapi dengan kortikosteroid. Agen antivirus yang biasa digunakan yaitu asiklovir maupun valasiklovir digunakan terutama apabila terdapat kecurigaan infeksi virus, namun penggunaannya harus disertai dengan kortikosteroid.

Pada 71% pasien yang tidak diterapi menunjukkan resolusi spontan namun terapi dengan menggunakan kortikosteroid dapat mempercepat penyembuhan saraf. Rekurens sering terjadi, satu studi (Cai Z 2017) menemukan reccurance rate pada BP mencapai 12%, sedangkan studi lain (De Diego 2005) menemukan 10% dari pasien yang telah mengalami BP akan terjadi rekurens simtomatik setelah masa laten 10 tahun.

Faktor risiko terkait dengan prognosis yang jelek apabila terjadi 1) Paralisis Komplit 2) BP terjadi di umur >60 tahun, 3) menurunnya salivasi atau indra pengecap pada sisi sakit. Semakin lama waktu penyembuhan, maka semakin berisiko untuk menimbilkan sekuele residual. 

Komplikasi 

Sekuele yang sering terjadi pada BP adalah sinkinesis, asimetri, hipertensi, dan kontraktur dimana seluruh sekuele ini akan menimbulkan gangguan psikososial pada pasien. Sinkinesis dapat menyebabkan gerakan involunter yang terjadi saat gerakan volunter. Sinkinesis biasanya terjadi 3-4 bulan setelah BP akibat penyembuhan jaringan saraf yang tidak maksimal.

Beberapa tipe bentuk sinkinesis fasial yang umum adalah sinkinesis oral-okular, yaitu adanya gerakan menutup mata involunter saat menutup mulut, dan sinkinesis okular-oral dimana terdapat gerakan menutup mulut involunter saat menutup mata. Etiologi pasti dari sinkinesis belum diketahui, namun adanya regenerasi nervus fasialis yang tidak berjalan lancar merupakan dasar yang kuat. Beberapa studi menunjukkan bahwa BP dapat meningkatkan risiko strok non-hemoragik. Temuan ini dihubungkan pada sebuah penelitian yang menemukan adanya peningkatan risiko stroke pada pasien dengan infeksi HSV-1 (herpes simpleks virus type 1). Infeksi virus ini juga dihubungkan dengan keadaan inflamasi, vaskulopati, dan aterosklerosis pada pembuluh darah otak. 

Pada saat terjadi regenerasi pasca inflamasi saraf akibat BP, perbaikan saraf dapat terjadi namun tidak komplit. Pada saat regenerasi, beberapa serat saraf yang berasal dari nervus fasialis dapat salah tumbuh dan melekat pada kelenjar air mata. Pada beberapa kasus, hal ini dapat menyebabkan pasien mengeluarkan air mata ketika sedang makan atau minum yang disebut dengan crocodile tear syndrome, Bogorad's Syndrome atau refleks gustatolakrimal. 

Iritasi dan ulserasi kornea dapat terjadi akibat ketidakmampuan pasien untuk menutup matanya pada sisi yang mengalami kelumpuhan. Oleh karena itu dibutuhkan pemberian lubrikasi berupa tetes mata artificial tears sampai paralisis wajah mengalami resolusi. Pada kasus yang lebih parah dapat terjadi kelemahan kelopak mata permanen yang membutuhkan implantasi pada kelopak mata atas agar dapat menutup. Asimetris pada daerah wajah dan kontraktur otot membutuhkan prosedur koreksi dengan pembedahan atau injeksi botulinom toxin (Botox).

Pada kasus-kasus seperti itu, dibutuhkan konsultasi dengan oftalmologis dan bedah kosmetik untuk penatalaksanaan.  Botulinum toxin dapat di injeksikan transkutan atau subkonjungtiva pada batas atas tarsus dengan menarget otot levator palpebra sehingga kelopak mata dapat menutup dan melindungi kornea. 

Spasme fasial merupakan salah satu komplikasi bell's palsy yang langka, terjadi akibat kontraksi tonik pada satu sisi wajah. Spasme biasanya terjadi akibat stress atau kelelahan dan dapat bertahan saat sedang tidur. Kondisi ini dapat terjadi akibat kompresi cabang nervus 7 oleh struktur pembuluh darah yang berdekatan, tumor, atau demyelinisasi dari cabang saraf. 

Referensi:

  1. Cai Z, Li H, Wang X, Niu X, Ni P, Zhang W, Shao B. Prognostic factors of Bell's palsy and Ramsay Hunt syndrome. Medicine (Baltimore). 2017

  2. De Diego-Sastre JI, Prim-Espada MP, Fernández-García F. [The epidemiology of Bell's palsy]. Rev Neurol. 2005 Sep 1-15;41(5):287-90

  3. Ali A, Asadi S. Management of Synkinesis and Asymmetry in Facial Nerve Palsy: A Review Article. Iranian Journal of Otorhinolaryngology. Iran.2014

  4. Taylor D. Bell’s Palsy. diakses dari : https://emedicine.medscape.com/article/1146903-overview 

 

Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaMengulas Hubungan Hipoglikemia pada Diabetes terhadap Stroke

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar