sejawat indonesia

Inersia Klinis dan Langkah Mengatasinya

Kegagalan dokter untuk memulai atau mengintensifkan pengobatan sesuai pedoman telah mendapat perhatian dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena ini disebut “inersia klinis” dan berkontribusi pada kesalahan penanganan kondisi kronis yang serius, seperti hipertensi dan diabetes.

Fenomena inersia klinis pertama kali didefinisikan hampir 20 tahun yang lalu. Sejak saat itu, berbagai penelitian populasi menunjukkan bahwa rekomendasi dan pedoman yang memadai belum diterapkan dalam praktik klinis.

Inersia Klinis adalah…

Kegagalan untuk memulai atau mengintensifkan pengobatan pada waktu yang tepat pada pasien yang kesehatannya kemungkinan akan membaik dengan intensifikasi tersebut. Definisi ini belakangan diperluas hingga mencakup kegagalan dalam:

  • menetapkan target yang tepat; 
  • meningkatkan atau menurunkan eskalasi pengobatan untuk mencapai tujuan pengobatan; dan 
  • mencegah pengobatan yang berlebihan. Misalnya pada sebagian penderita diabetes, khususnya orang lanjut usia yang lemah, pengobatan yang berlebihan dapat menyebabkan kerugian yang signifikan melalui hipoglikemia atau penambahan berat badan.

Apa penyebab Inersia Klinis?

Ada banyak alasan untuk inersia klinis dalam manajemen faktor risiko. Ini termasuk faktor dokter, faktor pasien, dan aspek sistemik seperti pelayanan kesehatan, baik di skala faskes, maupun di satu wilayah. 

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan Inersia Klinis

Faktor dokter

Pertama, dokter melebih-lebihkan kualitas layanan yang mereka berikan dan terlalu meremehkan jumlah pasien yang membutuhkan farmakoterapi intensif.

Kedua, dokter membuat “alasan halus” untuk menghindari perawatan intensif. Hal ini termasuk menyalahkan pasien karena ketidakpatuhan terhadap rekomendasi sebelumnya, dengan alasan kurangnya waktu untuk mengunjungi dokter, atau menyarankan agar dokter dapat memberitahu (tanpa bertanya) bahwa pasien akan menolak saran untuk mengintensifkan terapi. Meskipun terdapat tingkat ketidakpatuhan tertentu, hal ini tidak boleh dijadikan alasan untuk tidak bertindak dalam kasus tertentu tanpa bukti pendukung yang kuat mengenai keberadaannya.

Ketiga, dokter tidak memiliki pengetahuan, peralatan, pelatihan, dan sistem kantor yang relevan untuk mendukung perawatan aktif bagi mereka yang menderita penyakit kronis.

Terdapat pertimbangan tambahan terkait peran dokter dalam inersia klinis yang dapat diperoleh dari analisis ilmu kognitif tentang proses yang terlibat dalam perawatan penyakit kronis. Dalam penatalaksanaan penyakit kronis, tugas yang dihadapi oleh penyedia layanan kesehatan (dan pasien) adalah pengambilan keputusan untuk mengendalikan proses yang terjadi pada berbagai kondisi kesehatan pasien. Dalam situasi tersebut, penyedia layanan harus membuat serangkaian keputusan dari waktu ke waktu, di mana setiap keputusan bergantung pada pertimbangan masa lalu dan masa depan. Situasi ini dapat berubah, baik secara mandiri maupun sebagai akibat dari keputusan-keputusan di masa lalu.

Dalam kondisi tersebut, keputusan dapat disusun sebagai strategi yang terdiri dari tiga bagian: 

  1. menetapkan tujuan klinis, 
  2. memulai pengobatan yang tepat, dan 
  3. melakukan titrasi (penyesuaian) pengobatan dari waktu ke waktu untuk mencapai tujuan klinis. 

Penerapan strategi tersebut juga harus mengenali dan mengelola kondisi yang mengganggu pencapaian tujuan.

Kehadiran inersia klinis dalam pengelolaan penyakit kronis dapat direpresentasikan sebagai pola perawatan berdasarkan penggunaan strategi pengambilan keputusan untuk mencapai kondisi kesehatan pasien tertentu (misalnya, tingkat tekanan darah). 

Pola perawatan seperti itu mencerminkan kegagalan satu atau lebih bagian dari strategi pengambilan keputusan (misalnya, kegagalan menetapkan tujuan yang tepat, kegagalan memulai pengobatan yang tepat, kegagalan mencapai tujuan). 


BACA JUGA:


Dalam satu penelitian, terdapat bukti yang menunjukkan bahwa kegagalan pengambilan keputusan yang diidentifikasi sebagai inersia klinis dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori: 

  1. Keputusan dibuat berdasarkan dua jenis patologi yang berhubungan dengan tujuan. Dalam jenis pertama, tujuan terus berubah seiring berjalannya waktu, sehingga keputusan tidak pernah konsisten dan tujuan akhir tidak pernah tercapai. (Jenis patologi ini terkadang disebut sebagai pengembaraan tematik.) Jenis patologi tujuan kedua adalah keputusan yang dibuat berdasarkan tujuan yang paling familiar (dan paling nyaman) bagi pengambil keputusan, meskipun mungkin tidak pantas. Jenis patologi ini sering disebut sebagai fiksasi tujuan, karena biasanya terjadi ketika ada bukti bahwa strategi pengambilan keputusan saat ini tidak berhasil.
  2. Kategori kedua dari inersia klinis didasarkan pada penggunaan strategi pengendalian yang salah. Untuk mengendalikan proses yang berubah-ubah terhadap waktu, keputusan harus mencerminkan tidak hanya keadaan saat ini, namun juga keadaan di masa depan. Penggunaan informasi untuk mengambil tindakan berdasarkan keadaan sistem yang diantisipasi disebut sebagai pengendalian proses umpan maju (feed forward process). Strategi alternatifnya adalah pengendalian umpan balik (feedback). Dalam pengendalian umpan balik, keputusan hanya didasarkan pada informasi terkini. Model mental yang digunakan dengan kontrol umpan balik biasanya gagal mencerminkan proses umpan balik positif dan bergantung pada waktu. Karena informasi mengenai kesesuaian model mental tertentu seringkali tidak jelas, agen pengambil keputusan gagal menyadari bahwa model mental yang digunakan tidak terhubung dengan realita yang terjadi. Akibatnya, kendali terhadap kondisi pasien tidak pernah tercapai.
  3. Kategori ketiga dari inersia klinis didasarkan pada penggunaan tindakan kontrol yang salah. Ada tiga jenis dalam kategori ini. Pada tipe pertama, ambang batas untuk mengambil tindakan tidak akurat atau justru tidak ada. Dalam kedua kasus tersebut, tindakan awal salah dan respons sistem tidak sesuai harapan. Tindakan selanjutnya juga merupakan kesalahan, karena pengetahuan tentang ambang batas yang tepat gagal mencakup keadaan di masa depan serta keadaan awal. Jenis kegagalan kedua didasarkan pada pilihan respons yang diambil sebagai tindakan pengendalian. Di bagian itu, masalahnya adalah kurangnya pengetahuan (atau kekeliruan) mengenai jenis atau jumlah tindakan yang diambil (misalnya, jenis dan dosis obat). Masalah terkait adalah kegagalan dalam memahami bagaimana berbagai tindakan harus dikoordinasikan dari waktu ke waktu untuk mencapai efek yang diinginkan (titrasi menuju tujuan). Jenis kegagalan ketiga dalam kategori inersia klinis ini didasarkan pada kurangnya pemahaman tentang efek samping atau konsekuensi dari tindakan yang diambil. 

Banyak dari inersia klinis terjadi karena kegagalan memahami bagaimana proses umpan balik positif dan negatif terkait dalam sistem yang sedang dipertimbangkan. Akibatnya, proses yang diinginkan (misalnya kondisi pasien) mungkin memburuk (atau menjadi tidak dapat diprediksi) sebagai konsekuensi dari tindakan yang dimaksudkan untuk memperbaikinya.

Faktor pasien

Faktor pasien termasuk penolakan pasien terhadap suatu penyakit, keyakinan bahwa penyakit tertentu tidak berbahaya, ketidakpatuhan terhadap pengobatan, atau penolakan terhadap gaya hidup yang mendukung perawatan penyakit kronis. 

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sekitar sepertiga masalah perawatan diabetes yang tidak memadai berhubungan dengan faktor pasien. Alasannya antara lain:

  • kurangnya pemahaman terhadap rencana pengelolaan mereka;
  • perasaan lelah dengan rejimen pengobatan yang rumit; Dan
  • kurangnya pemahaman mendasar mengenai kegunaan obat tersebut.

Survei Time2DoMore memberikan bukti bahwa komunikasi yang terburu-buru merupakan kontributor signifikan terhadap kurangnya pemahaman pasien terhadap farmakoterapi mereka. Time2DoMore adalah survei multinasional, di Amerika Serikat, Inggris, Spanyol, Brasil, India, dan Jepang, yang mengeksplorasi pendapat penderita diabetes dan penyedia layanan kesehatan mereka. Studi ini menyoroti konsep yang secara umum diterima sebagai “pengetahuan umum” oleh para dokter: bahwa penderita diabetes kurang memahami penyakitnya, termasuk pentingnya diagnosis, pentingnya pola makan dan olahraga, serta tujuan pengobatan untuk mengurangi risiko komplikasi. 

Menariknya, negara-negara dengan periode konsultasi terlama (khususnya Brasil) memiliki kepatuhan pengobatan tertinggi. Namun durasi komunikasi bukanlah poinnya. Hanya ketika komunikasi menghasilkan pemberdayaan pasien untuk mengendalikan penyakitnya barulah komunikasi tersebut dianggap berhasil.

Faktor Sistem Pelayanan Kesehatan

Sejumlah faktor ini mencakup gaya praktik yang reaktif di mana pemberian layanan klinis dipicu oleh kunjungan yang dimulai oleh pasien, dan pasienlah yang menentukan agenda klinis untuk kunjungan tersebut. 

Selain itu, pedoman praktik klinis, yang berupaya mengurangi jumlah variasi dalam pemberian perawatan penyakit kronis, dapat menyebabkan hilangnya penyesuaian perawatan yang sesuai dengan status klinis dan kesiapan perilaku masing-masing pasien.

Banyak dokter cenderung menganggap kepatuhan pasien sebagai hal yang paling penting, namun fokus yang kaku pada aspek kepatuhan saja, seperti pembatasan diet dan waktu pengobatan, dapat berisiko membuat pasien terisolasi.

Apa yang harus dilakukan?

Masih terdapat banyak tantangan untuk memastikan bahwa pasien penyakit kronis menerima dan kemudian benar-benar mematuhi pengobatan terbaik untuk mereka. Penyedia layanan kesehatan perlu menggunakan semua sumber daya yang tersedia untuk mengatasi tantangan ini. Peran yang dimainkan oleh pasien dalam membentuk layanan kesehatannya sendiri merupakan sumber daya yang berguna dalam menyesuaikan perawatan untuk masing-masing pasien. 

Peran dan posisi yang setara antara dokter dan pasien haruslah terus diperkuat untuk mengatasi Inersia Klinis. Dua pihak yang bekerja sama sebagai rekan dalam perawatan.

Sistem kesehatan mengandalkan keterlibatan pasien untuk memastikan bahwa pengobatan yang ditentukan oleh dokter dilaksanakan, dengan bekerja sama dalam konteks lingkungan yang lebih luas. Pasien bukan hanya penerima layanan kesehatan yang pasif – mereka juga merupakan kontributor penting bagi keberhasilan setiap rekomendasi pengobatan. Namun, agar dapat bekerja sama seefektif mungkin, dokter dan pasien harus terlebih dahulu menyepakati tujuan pengobatan dan cara mencapainya.

Tetapkan tujuan bersama

Menetapkan tujuan bersama antara penderita diabetes dan dokter tidaklah semudah yang dibayangkan. Dokter dan pasien tidak selalu berbagi prioritas dan dimotivasi oleh faktor yang berbeda. Misalnya, untuk perawatan diabetes, sebagian besar pedoman menganjurkan pengelolaan risiko penyakit kardiovaskular sebagai prioritas dalam perawatan diabetes, sedangkan pasien seringkali lebih khawatir dengan risiko retinopati, hipoglikemia, dan penambahan berat badan. Harapan tersebut tidak selalu jelas, atau mungkin tampak tidak relevan dengan tujuan pengobatan dokter. Bahkan, ketika tujuan sudah disepakati, pasien diabetes dan penyedia layanan kesehatan mungkin tidak sepakat mengenai bagaimana tujuan tersebut harus dicapai atau diprioritaskan.

Mengelola penyakit kronis seperti diabetes memakan waktu dan dapat mempengaruhi setiap aspek kehidupan seseorang. Sekali lagi, karena perbedaan perspektif, dokter mungkin tidak selalu mempertimbangkan semua aspek perjalanan pasien, melainkan berfokus pada perlunya kepatuhan. 

Kepatuhan yang ketat terhadap waktu pengobatan atau pembatasan pola makan berisiko memicu isolasi sosial. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika individu tidak secara ketat mengikuti setiap aspek dari anjuran yang diberikan. Tantangan bagi dokter adalah mencoba dan menegosiasikan tujuan bersama yang memenuhi hasil penyakit dan prioritas pasien. 

Seseorang kemungkinan besar akan mematuhi pengobatan dan intervensi yang selaras dengan prioritasnya dalam konteks kehidupannya yang lebih luas. Menyadari dampak masalah kesehatan kronis terhadap kehidupan masyarakat dapat membantu mewujudkan tujuan-tujuan tersebut.

Membangun kepercayaan

Tidak ada jaminan bahwa diskusi mengenai tujuan-tujuan tersebut akan menghasilkan kesepakatan. Syarat pertama, pasien harus merasa mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur, barulah diskusi dapat dilakukan. 

Komunikasi yang baik antara dokter dan pasien dapat memfasilitasi diskusi tersebut dan membangun kepercayaan dalam tim layanan kesehatan yang lebih luas. Melibatkan keluarga seringkali merupakan persyaratan penting jika pasien ingin menjadi mitra setara dalam meningkatkan kesehatannya. Semua pihak harus mampu melakukan diskusi yang terbuka dan jujur ​​mengenai keprihatinan dan prioritas mereka jika mereka ingin menyepakati tujuan bersama dan bagaimana tujuan tersebut dapat dicapai. 

Membangun hubungan antara dokter dan pasien membutuhkan waktu. Namun tanpa hal ini, pasien mungkin tidak mengungkapkan kekhawatirannya atas ketidakpatuhan, tantangan dalam kepatuhan terhadap gaya hidup dan pengobatan, atau tujuan pengobatan yang berbeda.

Komunikasi terbuka akan mendorong wacana dua arah, memungkinkan pasien memahami pentingnya diagnosis dan terlibat dalam pilihan pengobatan. Meningkatkan keterlibatan akan memungkinkan tim layanan kesehatan untuk menetapkan tujuan bersama yang penting bagi semua anggota tim, dan menyetujui risiko yang dapat diterima untuk mencapai tujuan tersebut. Hanya ketika pasien penyakit kronis diperbolehkan untuk mengambil kepemilikan penuh atas penyakitnya dan berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan, barulah mereka dapat mengendalikan penyakitnya dan meningkatkan hasil perawatan.


Referensi:

  • Strain WD, Bluher M, P Paldanius. Clinical inertia in individualising care for diabetes: Is there time to do more in type 2 diabetes? Diabetes Ther 2014; 5(2): 347–354.
  • Strain WD Hope SV, Green A et al. Type 2 diabetes mellitus in older people: a brief statement of key principles of modern day management including the assessment of frailty. A national collaborative stakeholder initiative. Diabet Med 2018; 35(7): 838–845.
  • Milman T, Joundi RA, Alotaibi NM, Saposnik G. Clinical inertia in the pharmacological management of hypertension: A systematic review and meta-analysis. Medicine. 2018;97(25):e11121.
  • Andreozzi F, Candido R, Corrao S, et al. Clinical inertia is the enemy of therapeutic success in the management of diabetes and its complications: a narrative literature review. Diabetol Metab Syndr. 2020;12(1):52.
  • O'Connor PJ, Sperl-Hillen JAM, Johnson PE, et al. Clinical Inertia and Outpatient Medical Errors. In: Henriksen K, Battles JB, Marks ES, et al., editors. Advances in Patient Safety: From Research to Implementation (Volume 2: Concepts and Methodology). Rockville (MD): Agency for Healthcare Research and Quality (US); 2005 Feb.
  • Soto C and Strain D. Tackling clinical inertia: The role of patient engagement. Medicine Matters.
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaMengapa Dokter yang Lebih Tua, Belum Tentu Lebih Bijak?

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar