sejawat indonesia

Melawan Ableism adalah Keharusan dalam Pelayanan Kesehatan

Hingga saat ini, penyandang disabilitas masih terus diabaikan dan didiskriminasi secara—baik dalam hal pekerjaan, pendidikan, representasi media, atau dalam interaksi sosial. Sudah lumrah dan dianggap biasa ketika seseorang adalah penyandang disabilitas, maka ia dianggap tidak memiliki unsur-unsur yang diperlukan untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat.

Disabilitas secara konsisten dipandang identik dengan defisit, tragedi, dan kehilangan. Sesuatu yang disebut sebagai 'Ableism'. Ableism adalah prasangka atau perlakuan diskriminatif terhadap Difabel atau Disabilitas. Istilah ini pertama kali digunakan secara tertulis pada 1986 oleh Council of the London Borough Haringey. Ableisme dari kata “able” yang berarti mampu, sanggup, dapat, dan bisa. Jadi ableisme adalah sistem kepercayaan atau ideologi yang menempatkan dan menganggap orang-orang dengan disabilitas memiliki status yang lebih rendah dibandingkan dengan orang-orang non disabilitas. 

Ableism tersebut juga hadir dalam pelayanan kesehatan kita. Prasangka sistemik yang sudah ketinggalan zaman, sehingga harus diatasi untuk meningkatkan layanan kesehatan bagi pasien penyandang disabilitas. 

Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat menjadi lebih sadar akan cengkeraman bias yang tidak disadari dan bagaimana sikap serta penilaian pribadi kita terhadap orang lain dapat dipengaruhi oleh stigma yang melingkupi identitas tertentu. Bias rasial, misalnya, menyusup ke hampir setiap cabang sistem layanan kesehatan: Banyak pasien dengan ras tertentu yang distigma terkait kondisi kesehatan mereka disebabkan oleh alkohol, bahkan sebelum melalui pemeriksaan yang seharusnya.

Kesadaran akan bias tersebut yang mulai tumbuh adalah satu langkah maju, sebab bagaimanapun, pemahaman yang lebih luas dan beragam mengenai disabilitas akan meningkatkan standar pelayanan, bukan hanya bagi populasi disabilitas, tapi juga populasi secara keseluruhan.

Asumsi yang tidak berdasar

Para profesional di bidang kesehatan sering kali membuat asumsi yang tidak berdasar mengenai kualitas hidup pasien karena disabilitas yang mereka alami.

Sebuah studi pada tahun 2021 menemukan bahwa 82% dokter di Amerika Serikat percaya bahwa penyandang disabilitas memiliki kualitas hidup yang lebih buruk dibandingkan orang yang bukan penyandang disabilitas. Kenyataan ini terungkap selama pandemi COVID-19, ketika penyandang disabilitas menghadapi tantangan yang tidak proporsional dalam mengakses layanan kesehatan yang esensial, meskipun hal ini sudah menjadi masalah yang sudah berlangsung lama. Dan penelitian menunjukkan bahwa stigma seputar disabilitas mempunyai dampak nyata terhadap prospek pasien untuk menerima perawatan kritis. 

Contoh lain terlihat dalam perawatan kanker payudara. Dokter mungkin berasumsi bahwa perempuan penyandang disabilitas yang menderita kanker payudara stadium awal lebih memilih mastektomi daripada operasi pelestarian payudara. 6 Penilaian spekulatif dan ceroboh ini mendasari mitos bahwa perempuan penyandang disabilitas tidak peduli dengan penampilan fisik seperti perempuan lainnya. Jika dokter peka terhadap fakta bahwa memiliki disabilitas tidak menghalangi ketertarikan terhadap citra tubuh seseorang, hal ini akan membantu pasien untuk berhenti merasa tidak manusiawi, rendah diri terhadap orang lain, atau kurang feminitas.

Dalam kasus lain, seorang pengguna kursi roda diberitahu oleh dokternya bahwa dia sangat beruntung bisa menjalin hubungan romantis. Umumnya, hal ini tidak dimaksudkan untuk tujuan jahat, melainkan berasal dari kurangnya empati, kepekaan, atau wawasan terhadap kehidupan para penyandang disabilitas. 

Sungguh lebih menyakitkan dan melemahkan semangat untuk menghadapi stereotip dari orang-orang dalam profesi kesehatan yang justru diharapkan akan lebih memahaminya daripada kebanyakan orang.

Kesadaran akan isu-isu terkait disabilitas jelas tidak memadai di kalangan profesional medis. Kurangnya pengetahuan ini harus diatasi dalam beberapa bidang. Perubahan dimulai dengan pelatihan yang ditargetkan untuk para profesional kesehatan; menyediakan advokasi disabilitas di layanan kesehatan untuk memastikan bahwa pasien merasa didengarkan dan hak-hak mereka dihormati; menghilangkan hambatan fisik terhadap aksesibilitas; dan menyediakan komunikasi inklusif disabilitas. 

Namun secara lebih umum, hal ini memerlukan pemahaman yang lebih baik di kalangan dokter tentang apa sebenarnya arti dari ‘disabilitas’.


BACA JUGA:


Peran Negara

Indonesia telah menerbitkan UU Penyandang Disabilitas sebagai kerangka hukum untuk memastikan pemenuhan kesamaan hak layanan kesehatan penyandang disabilitas.

Tetapi, persoalan penyandang disabilitas di Indonesia pada umumnya adalah korban dari stereotype, label dan prasangka yang berakibat pada diskriminasi, eksklusi, penanganan yang keliru, serta perampasan terhadap hak untuk mendapatkan layanan sosial yang proporsional.

Dari Laporan Khusus Evaluasi JKN yang dilakukan oleh Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada, tahun 2020 lalu, menyimpulkan bahwa penyelenggaraan program JKN yang dicetuskan sejak 2004, sampai kini nyatanya belum mampu menghilangkan hambatan dalam akses layanan kesehatan, misal sistem rujukan yang dibentuk oleh BPJS Kesehatan belum mengaktualisasikan isi UU Penyandang Disabilitas. 

Sistem rujukan online mengharuskan seluruh peserta program JKN termasuk (penyandang disabilitas) berobat secara berjenjang ini. Artinya, peserta JKN yang merupakan penyandang disabilitas tidak bisa mengakses layanan kesehatan (rumah sakit) terdekat dari tempat tinggalnya.

Selain itu, fasilitas kesehatan dibangun belum ramah disabilitas, dan banyak tenaga kesehatan yang belum dibekali kompetensi pelayanan bagi penyandang disabilitas. Menurut Pasal 63 UU Penyandang Disabilitas terkait pelayanan kesehatan, apabila tenaga kesehatan yang ada di fasilitas kesehatan tingkat pertama belum tersedia tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan dalam pelayanan kesehatan bagi penyandang disabilitas, maka wajib merujuk secara vertikal maupun horizontal. 

Secara spesifik hak kesehatan untuk penyandang disabilitas dijelaskan dalam Pasal 12 UU Penyandang Disabilitas, yakni hak:

  1. memperoleh informasi dan komunikasi yang mudah diakses dalam pelayanan kesehatan;
  2. memperoleh kesamaan dan kesempatan akses atas sumber daya di bidang kesehatan;
  3. memperoleh kesamaan dan kesempatan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau;
  4. memperoleh kesamaan dan kesempatan secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya;
  5. memperoleh obat yang bermutu dengan efek samping rendah;
  6. memperoleh alat bantu kesehatan berdasarkan kebutuhannya;
  7. memperoleh perlindungan dari upaya percobaan medis; dan
  8. memperoleh perlindungan dalam penelitian dan pengembangan kesehatan yang mengikutsertakan manusia sebagai subjek.

Dalam Naskah Kebijakan Pelayanan Kesehatan Inklusif bagi Penyandang Disabilitas yang disusun oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), merekomendasikan berbagai panduan, salah satunya tentang kriteria Layanan Kesehatan yang Aksesibel, meliputi: 

A. Ketersediaan (availability)

Ketersediaan layanan kesehatan yang memadai meliputi sarana dan prasarana, program kesehatan, barang dan jasa, serta tenaga medis dan profesional terlatih bagi penyandang disabilitas. Selain itu, perlu adanya obat-obat esensial yang diikutkan dalam uji klinis untuk temuan obat tertentu yang berguna bagi mereka.

B. Keterjangkauan (accessibility)

Layanan kesehatan yang beradaptasi dengan kebutuhan penyandang disabilitas perlu mempertimbangkan aksesibilitas mereka, baik akses fisik, akses ekonomi, akses informasi, maupun nondiskriminasi guna mewujudkan kesamaan kesempatan.

C. Keberterimaan (acceptability)

Semua layanan kesehatan harus menghormati etika medis dan menghormati budaya/kebiasaan penyandang disabilitas. Hal ini termasuk menghormati pilihan individu penyandang disabilitas terkait pengobatan dan cara pengobatan. Persetujuan (informed consent) bagi penyandang disabilitas harus diketahui oleh individu penyandang disabilitas tersebut dan bukan oleh keluarga/pendamping penyandang disabilitas.

D. Kualitas (quality)

Selain diterima secara budaya, fasilitas dan layanan kesehatan, baik barang maupun jasa, harus secara ilmiah dan medis diakui, aman, serta memadai bagi penyandang disabilitas. Kualitas adalah komponen kunci dari cakupan kesehatan universal dan mencakup pengalaman serta persepsi layanan kesehatan.

Dalam UU Kesehatan terbaru, Aspek kesehatan untuk disabilitas telah diatur dalam Pasal 53, meskipun kita masih menunggu Peraturan turunannya untuk mengetahui sejauh mana pengaturan spesifik untuk Layanan Kesehatan bagi penyandang disabilitas.

Tanggung jawab kolektif

Disabilitas adalah fenomena yang dibangun secara sosial. Dengan kata lain, bukan hanya susunan biologis seseorang yang menggolongkan mereka sebagai penyandang disabilitas. Sebaliknya, disabilitas ditentukan oleh lingkungan dan budaya tentang apa yang seharusnya dapat dicapai oleh tubuh “normal”.

Ide ini diperkenalkan pada tahun 1980an oleh akademisi Mike Oliver, yang menciptakan istilah “model sosial disabilitas,” yang menganjurkan agar disabilitas diperlakukan sebagai masalah sosial dan bukan masalah medis. 

Desain dan infrastruktur di sekitar kita menentukan cara para penyandang disabilitas menjalani kehidupan sehari-hari mereka. Dan kita bisa menerapkan teori ini pada layanan kesehatan. Cara pemberian layanan medis—mulai dari desain bangunan rumah sakit hingga sikap staf—dapat lebih membatasi penyandang disabilitas dibandingkan kondisi fisik mereka.

Pergeseran sederhana dalam cara kita berpikir tentang disabilitas ini dapat merevolusi sikap kita terhadap penyandang disabilitas—mengalihkan “masalah” disabilitas dari orang yang mengalaminya dan menjadikannya tanggung jawab kolektif masyarakat, termasuk layanan kesehatan. 

Ketika kebijakan layanan kesehatan dibuat, kita harus memikirkan penyandang disabilitas terlebih dahulu, bukan hanya sekedar memikirkan hal-hal yang tidak penting.

Keterwakilan akan menjadi kunci, apakah itu berarti memberikan peran penting kepada penyandang disabilitas dalam merancang layanan kesehatan atau meningkatkan keterwakilan penyandang disabilitas yang bekerja di bidang kedokteran. Jika kita membuka dunia agar lebih mudah diakses oleh penyandang disabilitas, kita menjadikannya lebih inklusif dan efisien. Sebab, bagaimanapun, pelayanan kesehatan yang layak adalah hak setiap orang.


Referensi:

  • Iezzoni LI, Rao SR, Ressalam J, et al. Physicians’ perceptions of people with disability and their health care. Health Aff (Millwood) 2021
  • Janz HL. Ableism: the undiagnosed malady afflicting medicine. CMAJ2019
  • McBride-Henry K, Nazari Orakani S, Good G, Roguski M, Officer TN. Disabled people’s experiences accessing healthcare services during the COVID-19 pandemic: a scoping review. BMC Health Serv Res2023
  • Chen B, McNamara DM. Disability discrimination, medical rationing and covid-19. Asian Bioeth Rev2020
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaPsikodermatologi, Jawaban dari Hubungan Pikiran dan Kulit

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar