Ketika Dokter Menyingkirkan Pasien dengan Kata-Kata
Bahasa seringkali dimaknai sebatas alat untuk berbagi pengetahuan dan pemahaman. Namun, lebih jauh dari itu, bahasa sesungguhnya adalah refleksi atas nilai-nilai dan sikap yang kita miliki terhadap orang lain. Dalam konteks medis, bahasa lebih dari sekadar mentransfer informasi antara pasien dan penyedia layanan kesehatan. Ia memiliki potensi untuk membentuk hubungan terapeutik.
Pilihan kata dan frasa tertentu memengaruhi cara pasien memandang kesehatan dan penyakit mereka, mencerminkan persepsi petugas kesehatan tentang pasien, memengaruhi pilihan perawatan. Bahasa yang digunakan profesional kesehatan juga memengaruhi pasien dalam berpikir, berbicara, bertindak, serta melanggengkan bias yang telah mendarah daging.
Dari penelitian Hydén, L., & Mishler, E. (1999), menemukan bahwa beberapa kata/frasa yang digunakan profesional kesehatan, baik untuk berkomunikasi langsung atau saat mendiskusikan perawatan, secara tidak sengaja dapat melemahkan posisi pasien.
Caitríona Cox dan Zoë Fritz melakukan review literatur yang mempelajari tentang bahasa dan dunia kedokteran, membagi beberapa kategori tentang kalimat yang sering digunakan para profesional kesehatan yang meremehkan, meragukan, atau menyalahkan pasien dalam praktik klinis sehari-hari, baik secara lisan maupun dalam catatan tertulis.
Bahasa yang Meremehkan Pasien
Beberapa kata yang digunakan dalam praktik klinis secara implisit meragukan pengalaman pasien atau menyimpulkan tingkat kekesalan. Salah satunya misalnya: "menggambarkan keluhan." Satu frasa yang penting dan sering hadir dalam pertemuan pasien-dokter sehingga mungkin akan dianggap biasa.
Padahal, kata "mengeluh" memiliki konotasi negatif dan mulai disarankan untuk menggantinya dengan "masalah" atau "kekhawatiran" yang jauh lebih simpatik.
Dalam dokumentasi medis, dokter terkadang menggunakan bahasa yang mempertanyakan keaslian gejala pasien. Misalnya, mereka sering menerjemahkan tidak adanya gejala atau pengalaman yang dilaporkan sebagai pasien "menyangkal" gejala—misalnya, "pasien menyangkal demam, menggigil, atau berkeringat di malam hari."
Kata "menyangkal" bisa berarti menolak mengakui kebenaran atau keberadaan sesuatu, dan istilah ini dapat mengisyaratkan ketidakpercayaan.
Dalam sebuah penelitian yang meneliti reaksi terhadap catatan rawat jalan, pasien menanggapi secara negatif bahasa yang mempertanyakan validitas pengalaman mereka. Seorang pasien menyatakan: "Saya tidak menyangkal hal-hal ini. Saya bilang saya tidak merasakannya. Benar-benar berbeda. Bahasa itu penting."
Begitu juga dengan: "pasien mengakui nyeri adalah 10/10" dan bukannya "pasien mengalami nyeri 10/10" menyiratkan tingkat ketidakpercayaan. Ungkapan lain yang meragukan validitas pengalaman pasien juga telah dikritik.
Tentu saja, kadang-kadang tepat bagi seorang klinisi untuk bersikap skeptis terhadap laporan pasien (misalnya, ketika seorang pasien menyatakan bahwa mereka tidak mengonsumsi zat terlarang tetapi pemeriksaan toksikologi urin memberikan hasil yang positif). Tetapi, istilah menyangkal dan mengakui banyak digunakan dalam situasi di mana tidak ada dasar yang masuk akal untuk keraguan semacam itu.
Bahasa yang Menekankan Pasien Sebagai Pasif atau Kekanak-kanakan
Sebagian besar bahasa yang digunakan dalam kedokteran klinis secara tidak tepat menjadikan pasien sebagai objek tindakan dokter, memberikan kepasifan kepada pasien sambil menekankan posisi kekuasaan dokter. Misalnya, dokter "mengambil" riwayat, atau "mengirim" pasien pulang.
Ini sangat menonjol dalam narasi seputar kondisi seperti diabetes. Ada otoritarianisme, misalnya, dalam membicarakan pasien "diizinkan" atau "tidak diizinkan" mengonsumsi makanan tertentu oleh dokternya.
Meskipun pasien dapat menemukan bahasa seperti itu menjengkelkan atau membuat frustrasi, beberapa juga mengadopsi narasi kekanak-kanakan, misalnya menceritakan kalau mereka "dimarahi" oleh profesional kesehatan.
Istilah "kepatuhan" dan "ketidakpatuhan" (berkaitan dengan minum obat) juga bersifat otoriter, menunjukkan bahwa pasien harus patuh terhadap rekomendasi dokter. "Digambarkan sebagai 'tidak patuh' itu buruk dan tidak mencerminkan fakta bahwa setiap orang melakukan yang terbaik."
Sebagai alternatif, kata "kesesuaian" telah diusulkan sebagai alternatif; ini berusaha untuk rekonseptualisasi hubungan dokter-pasien sebagai kemitraan, dengan keputusan pengobatan hasil kolaborasi menuju tujuan bersama.
Bahasa yang Menyalahkan Pasien
Kategori bahasa bermasalah lainnya adalah yang secara implisit menyalahkan pasien atas hasil yang buruk. Ini juga telah dieksplorasi dalam konteks diabetes, di mana bahasa yang umum digunakan seringkali bersifat moralistik, secara diam-diam menyalahkan pasien atas hasil yang buruk.
Istilah "diabetes yang tidak terkontrol" dapat menimbulkan stigma dan membuat pasien merasa dihakimi. Secara lebih umum, berbicara tentang kontrol glukosa telah disorot sebagai tidak membantu. Meskipun mungkin berguna untuk mengkonseptualisasikan pasien sebagai mampu memberikan pengaruh positif terhadap kesehatan mereka, penting untuk bersikap realistis tentang sifat diabetes dan mengakui tantangan dalam pengelolaannya.
Banyak pasien akan mengalami kesulitan untuk mengelola penyakit karena alasan kompleks di luar kendali mereka. Mungkin lebih baik untuk mengakui bahwa pasien tidak pernah dapat benar-benar mengontrol konsentrasi glukosa darah mereka dengan menggunakan istilah seperti "pengaruh."
"Kegagalan pengobatan" adalah contoh lain dari penggunaan bahasa yang menyalahkan pasien. Pasien seolah bertanggung jawab atas sesuatu yang tidak dapat mereka kendalikan: "pasien gagal imunoterapi" daripada "imunoterapi gagal untuk pasien."
Pergeseran linguistik ini secara implisit menunjukkan bahwa pasien adalah penyebab kegagalan (bahkan mungkin karena kurangnya kemauan atau usaha), daripada keterbatasan pengobatan atau dokter. Kita harus menjauh dari bahasa yang menyiratkan (betapapun halusnya) bahwa pasien secara pribadi bertanggung jawab atas hasil yang tidak menguntungkan.
***
Bahasa yang meremehkan, merendahkan, atau menyalahkan pasien bertentangan dengan hubungan kolaboratif yang coba kita wujudkan melalui inisiatif seperti pengambilan keputusan bersama.
Pola bahasa yang berkonotasi objektivitas dan kredibilitas temuan dokter sambil mempertanyakan keandalan pengalaman pasien mengisyaratkan kurangnya rasa hormat terhadap pasien. Komunikasi tertulis dan verbal dapat membentuk hubungan terapeutik dengan secara halus mengubah cara, baik dokter maupun pasien, mengkonseptualisasikan dan menafsirkannya.
Efek negatif dari stigmatisasi bahasa pada sikap profesional kesehatan terhadap pasien dipelajari dengan baik dalam konteks nyeri kronis dan penyakit sel sabit. Misalnya, sebuah studi sketsa AS membandingkan kata-kata "penyalahgunaan zat" dengan "memiliki gangguan penggunaan zat," menemukan bahwa ketika penyalahgunaan zat digunakan, petugas kesehatan lebih setuju bahwa pasien secara pribadi bersalah sehingga tindakan hukuman lebih didahulukan dibanding perawatan.
Ada juga bukti bahwa kata-kata tertentu yang digunakan oleh dokter dapat mempengaruhi bagaimana perasaan pasien tentang dokter mereka, sehingga secara langsung mempengaruhi hubungan terapeutik.
Misalnya, peserta dalam satu penelitian menilai istilah seperti "gemuk" dan "obesitas" sebagai hal yang tidak diinginkan dan menyalahkan, dengan 19% melaporkan bahwa mereka akan menghindari janji medis di masa depan jika dibuat merasakan stigma tentang berat badan mereka.
Lebih jauh lagi, istilah yang meremehkan atau memberikan kepasifan pada pasien hanya menyisakan sedikit ruang untuk mempertimbangkan alasan tindakan pasien. Bahasa harus dibingkai ulang untuk secara eksplisit menyampaikan situasi individu pasien—misalnya, kita mungkin menulis "hambatan kepatuhan termasuk biaya dan polifarmasi dalam pengaturan kehilangan pekerjaan baru-baru ini" alih-alih hanya, "pasien tidak patuh."
Dengan mendorong dokter untuk menyebutkan hambatan, sifat percakapan antara pasien dan dokter dapat diubah, membuka jalur komunikasi untuk pemecahan masalah bersama.
Karena mengubah bahasa dapat bertindak sebagai katalis untuk mengubah cara dokter berpikir atau mendekati perawatan pasien, merenungkan dan memperbarui kata-kata yang kita gunakan dapat dianggap sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas untuk mendukung dan mempromosikan hubungan dokter-pasien yang kolaboratif.
Referensi :
- Park, J., Saha, S., Chee, B., Taylor, J., & Beach, M. C. (2021). Physician use of stigmatizing language in patient medical records. JAMA Network Open, 4(7).
- Mintz, D. (1992). What's in a word: The distancing function of language in medicine. The Journal of Medical Humanities, 13(4), 223–233.
- Hydén, L. C., & Mishler, E. G. (1999). Language and medicine. Annual Review of Applied Linguistics, 19, 174–192.
- P. Goddu, A., O’Conor, K. J., Lanzkron, S., Saheed, M. O., Saha, S., Peek, M. E., Haywood, C., & Beach, M. C. (2018). Do words matter? stigmatizing language and the transmission of bias in the medical record. Journal of General Internal Medicine, 33(5), 685–691.
Log in untuk komentar