Memahami Signifikansi Klinis dan Kompleksitas Penyakit HIV
Mencuatnya laporan lebih dari 400 mahasiswa di Bandung yang terinfeksi HIV selama beberapa tahun terakhir, membuat publik banyak mempertanyakan seluk beluk HIV. Adalah sebuah PR dan tantangan bagi para klinisi dalam menjawab berbagai pertanyaan, mengedukasi hingga menangani kasus tersebut.
HIV merupakan salah satu
penyakit menular yang terus berkembang. Perkembangan ini dapat dilihat dari
jumlah penderita HIV saat ini yang semakin meningkat di seluruh dunia, termasuk
di Indonesia. Menurut Kementerian Kesehatan RI, jumlah kumulatif kasus HIV
yang dilaporkan per Maret 2021 sebanyak 427.201 diiringi jumlah kumulatif kasus
AIDS (HIV komplikatif) sebanyak 131.417.
Namun, laporan resmi tersebut
sesungguhnya tidak mencerminkan jumlah kasus yang terjadi di lapangan secara
keseluruhan, sehingga banyak pihak yang meyakini bahwa fenomena HIV di
Indonesia layaknya fenomena gunung es. Berbagai faktor yang saling berkaitan
diduga menjadi penyebab timbulnya fenomena ini.
Meskipun perlu kerjasama
banyak pihak dalam penanganannya, peran tim interprofesional terutama dokter
menjadi sorotan dalam kinerjanya. Untuk itu, pemahaman dan penguasaan terkait
kasus HIV sangat diperlukan.
Definisi
HIV
HIV (human
immunodeficiency virus) merupakan retrovirus berselubung yang berisi dua
salinan genom RNA untai tunggal. Virus ini menginfeksi sistem imunitas tubuh,
khususnya sel CD4 pada sel darah putih dan bila tidak tertangani dapat
menyebabkan AIDS (acquired immunodeficiency syndrome).
Terdapat dua jenis HIV
penyebab penyakit menular ini yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 dikenal lebih ganas
dan meluas secara global. Sejauh ini, HIV tidak dapat disembuhkan tapi dapat
ditekan progresifitasnya. ODHA (orang dengan HIV/AIDS) yang mendapatkan
pengobatan optimal dapat memiliki angka harapan hidup lebih tinggi.
Faktor
Risiko dan Transmisi HIV
Faktor risiko memiliki
kaitan penting dalam transmisi atau penyebaran dan peningkatan infeksi HIV.
Faktor risiko tersebut meliputi penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan
terlarang jenis suntik (contoh: heroin), penggunaan jarum suntik secara
bergantian, praktik seksual yang tidak aman (contoh: seks anal), transmisi
vertikal (contoh: dari ibu yang mengandung), transfusi darah, dan memiliki penyakit
menular seksual lainnya.
Patofisiologi
HIV
HIV menempel pada molekul
CD4 dan CCR5 yang merupakan koreseptor kemokin. Hal ini menyebabkan permukaan
virus menyatu dengan membran sel dan memungkinkannya masuk ke limfosit T-helper.
Setelah integrasi dalam
genom inang, provirus HIV terbentuk dan kemudian mengikuti transkripsi dan
produksi mRNA virus. Protein struktural HIV dibuat dan disusun di dalam sel
inang. Tunas virus dari sel inang dapat melepaskan jutaan partikel HIV yang
dapat menginfeksi sel lain.
Baca Juga :
- Peran Kortikosteroid pada Pasien Pneumocistis Jiroveci Koinfeksi HIV
- Trauma Pelecehan Seksual Lebih
Kuat dari Jenis Kekerasan yang Lain
Fase
Infeksi dan Gejala HIV
Terdapat tiga fase infeksi
HIV yaitu serokonversi akut, asimptomatik dan AIDS.
Gambar
1. Timeline perubahan limfosit T CD4 dan viral load pada infeksi HIV tanpa
pengobatan.
Pada fase serokonversi
akut, infeksi terbentuk dan reservoir provirus dibuat. Reservoir ini terdiri
dari sel-sel yang terinfeksi terus-menerus, biasanya makrofag, dan akan terus
melepaskan virus. Beberapa pelepasan virus mengisi kembali reservoir, dan
beberapa melanjutkan untuk menghasilkan infeksi yang lebih aktif.
Pada titik ini, viral
load biasanya sangat tinggi, dan jumlah limfosit T CD4+ turun drastis.
Dengan munculnya antibodi anti-HIV dan tanggapan limfosit T CD8+, viral
load turun ke keadaan stabil dan jumlah limfosit T CD4+ kembali
seperti sebelum infeksi meskipun sedikit lebih rendah
Fase serokonversi biasanya terjadi dalam beberapa minggu hingga beberapa bulan dengan gejala umum demam, flu like symptoms, malaise, nyeri otot, sariawam, limfadenopati, dan ruam, yang berkembang pada sekitar setengah dari semua orang yang terinfeksi HIV.
Gambar
2. Manifestasi klinis HIV.
Sementara pada fase
asimptomatik, orang yang terinfeksi HIV menunjukkan sedikit atau tidak ada
tanda atau gejala selama beberapa tahun hingga satu dekade bahkan bisa lebih.
Selama fase ini, replikasi virus tetap sedang berlangsung, hanya saja respon
imun terhadap virus masih relatif efektif dan kuat.
Pada beberapa pasien
ditemukan limfadenopati generalisata persisten namun ini bukan tanda infeksi.
Jika fase ini tidak mendapat penanganan, viral load akan
cenderung bertahan pada kondisi yang relatif stabil, tetapi jumlah limfosit T
CD4+ terus menurun.
Fase AIDS adalah fase
ketika sistem kekebalan tubuh cukup rusak sehingga infeksi oportunistik yang
signifikan mulai berkembang. Dikatakan AIDS apabila jumlah limfosit T CD4+
<200/mm3, meskipun beberapa infeksi oportunistik dapat terjadi ketika jumlah
limfosit T CD4+ >200/mm3, dan beberapa orang dengan jumlah limfosit T CD4+
<200/mm3 mungkin tetap relatif sehat.
Rentang normal jumlah
limfosit T CD4+ adalah 500-1500 sel/mm3. Jika orang yang terinfeksi HIV tidak
ditangani, kadarnya bisa turun <200 sel/mm3, yang merupakan salah satu
indikasi diagnosis AIDS. Kisaran dalam nilai normal merupakan produk dari tiga
variabel yaitu jumlah sel darah putih, persentase limfosit, dan persentase
limfosit yang mengandung reseptor CD4.
Deteksi
HIV
Tidak jarang infeksi HIV
tidak terdeteksi dalam hitungan tahun. Tapi, ada beberapa uji diagnostik yang
dapat digunakan untuk mendiagnosis HIV.
1. Tes serologi menggunakan
darah atau saliva untuk mendeteksi HIV dalam hitungan jam
2. Tes antibodi-antigen
untuk mendeteksi antibodi spesifik dan antigen P24 HIV.
3. Tes ELISA untuk deteksi infeksi akut (skrining awal), idealnya dengan kombinasi antigen/antibodi immunoassay.
4. Tes Western blot untuk
menindaklanjuti tes ELISA sebagai skrining awal yang menunjukkan HIV positif.
5. Tes Virologi sebagai uji
konfirmasi infeksi HIV yang dapat memberikan informasi mengenai viral load.
Didapatkannya hasil tes
ELISA dan PCR awal negatif perlu diwaspadai karena bukan berarti pasien bebas
dari infeksi HIV melainkan belum terdeteksi. Viremia HIV dapat tidak berkembang
sampai sekitar 10-15 hari setelah infeksi, bahkan hasil tetap dapat negatif
hingga lima hari setelahnya.
Gambaran
Terapi HIV
Pengobatan HIV memerlukan
penggunaan terapi antiretroviral (ART) berbentuk tablet tunggal maupun
kombinasi, yang bekerja untuk mengendalikan replikasi virus dalam tubuh. ART
direkomendasikan untuk semua orang dengan HIV, dan orang dengan HIV harus
diberikan ART sesegera mungkin, bahkan pada hari yang sama, setelah diagnosis
tegak dengan tes virologi (bila perlu sertakan pemeriksaan jumlah limfosit T
CD4+).
Pemilihan regimen terapi
harus dinilai secara individual berdasarkan efektivitas virologi, potensi efek
samping, beban pil, frekuensi dosis, potensi interaksi obat-obat, hasil tes
resistensi pasien, kondisi komorbiditas, ketersediaan obat, dan biaya.
Regimen antiretroviral awal
umumnya terdiri dari dua nucleoside/nucleotide reverse transcriptase
inhibitor (NRTI) seperti Abacavir 300 mg, Lamivudine 150 dan 300
mg, dan Tenofovir disoproxil 245 mg dalam kombinasi dengan obat aktif ketiga
dari salah satu kelas berikut :
1. Non-nucleoside
reverse transcriptase inhibitor (NNRTI): Etravirine 100 dan 200 mg,
Rilpivirine 25 mg.
2. Protease
inhibitor (PI): Lopinavir/Ritonavir terdiri dari Lopinavir 20 mg dan
Ritonavir 50 mg, Atazanavir/Cobicistat terdiri dari Atazanavir 300 mg dan
Cobicistat 150 mg.
3. Integrase strand
transfer inhibitor (INSTI): Dolutegravir 50 mg, Raltegravir 400 mg.
Semua pasien dengan HIV tanpa
melihat jumlah limfosit T CD4+, harus mendapat terapi ART sebagai terapi seumur
hidup.
Signifikansi
Klinis
Menurut rekomendasi pedoman
terpadu HIV dari WHO, jumlah limfosit T CD4+ digunakan untuk mengevaluasi
perkembangan HIV. Pemeriksaan jumlah limfosit T CD4+ harus dilakukan pada semua
pasien baik yang didiagnosis HIV positif setiap 3-6 bulan untuk mengetahui
kemungkinan timbulnya diagnosis AIDS dan risiko infeksi oportunistik.
Selain itu, tes merupakan
indikator kegagalan pengobatan. Pemberian terapi antiretroviral (ART) dilakukan
sebelum jumlah limfosit T CD4+ <200 sel/mm3, karena komplikasi yang timbul
dapat lebih tinggi pada populasi ini dan perlu dievaluasi setiap 3-6 bulan
setelah memulai terapi ART untuk memeriksa respons terapi.
Jika responnya sesuai,
jumlah limfosit T CD4+ dapat diperiksa ulang setiap 6-12 bulan. Keberhasilan
pengobatan berkaitan dengan peningkatan jumlah limfosit T CD4+ dan kepatuhan
terhadap terapi.
Permasalahan HIV harus
diatasi dengan pendekatan pelayanan kesehatan primer komprehensif yang langsung
dapat menyentuh akar permasalahan mencakup masalah sosial, ekonomi dan budaya
melalui berbagai langkah yang bersifat preventif, promotif, kuratif dan
rehabilitatif.
Namun, ini juga butuh partisipasi dan kerjasama yang luas yang melibatkan berbagai sektor dan organisasi non-pemerintah dan masyarakat, tidak hanya klinisi.
Ketahui cara penanganan transmisi HIV dalam keluarga bersama ahlinya melalui LIVE CME Sigap Cegah dan Hadapi Transmisi HIV Ibu ke Anak.
Penulis : dr.
Pamela Sandhya De Jaka
Referensi :
- Laporan Situasi Perkembangan
HIV AIDS dan PIMS di Indonesia, Triwulan I Tahun 2021. Kementerian
Kesehatan RI. 2021.
- HIV Basics: About HIV. Center
for Disease Control and Prevention. 2022. Available
from:https://www.cdc.gov/hiv/basics/whatishiv.html.
- Justiz Vaillant AA, Gulick PG.
HIV Disease Current Practice. StatPearls. 2022. Available
from:https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534860/#_NBK534860_pubdet_
- HIV/AIDS. WHO. 2022. Available
from:https://www.who.int/health-topics/hiv-aids#tab=tab_1.
- Battistini Garcia SA, Guzman N.
Acquired Immune Deficiency Syndrome CD4+ Count. StatPearls. 2022.
Available
from:https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513289/#_NBK513289_pubdet_
- Weihe R. HIV Treatment Regimens
CDC Guidelines, Adult/Adolescent. Medscape. 2021. Available
from:https://emedicine.medscape.com/article/2172322-overview#a1.
- WHO. Consolidated guidelines on
HIV prevention, testing, treatment, service delivery and monitoring:
recommendations for a public health approach. 2021. ISBN:
978-92-4-003159-3.
Log in untuk komentar
Dian Safitri
Posted at 08 September 2022 15:21Artikel yang sangat informatif. Perbanyak artikel dari dokter-dokter pengguna layanan Sejawat!