Mengapa Banyak Orang Begitu Mudah Ditipu Janji-Janji Kesehatan?
Apa persamaan serial The Dropout di Hulu, Apple Cider Vinegar di Netflix, hingga Scamanda di Disney Plus? Yup, ketiganya adalah serial yang diangkat dari kisah nyata tentang penipuan yang dibangun di atas janji tentang Kesehatan. Satu topik yang mengingatkan kita tentang betapa rentannya banyak orang terhadap penipuan kesehatan.
Meskipun berbagai skema yang dihadirkan serial-serial tersebut akhirnya gagal, namun mereka telah membuktikan bagaimana para penipu dapat mengeksploitasi bias psikologis dan budaya untuk memikat orang-orang ke dalam perangkap kesehatan.
Tak peduli tingkat pendidikan, kelas sosial, dan wilayah tempat tinggal, semuanya bisa menjadi korban. Dari penjual obat tradisional di pasar lokal, hingga influencer di feed media sosial kita, bisa setiap saat menjadi pelaku penipuan kesehatan.
Mengapa Banyak Orang Begitu Mudah Ditipu Janji-Janji Kesehatan?
Bagian dari budaya kita mencakup mitologi dan simbol kolektif yang membantu kita memahami dunia. Kisah-kisah dan simbol-simbol ini tampaknya membuat hidup kita lebih "efisien" dengan melampaui pemeriksaan fakta yang membosankan. Seiring berjalannya waktu, kode-kode budaya tersebut tertanam dalam psikologi kita, beroperasi sebagai bias yang membentuk pengambilan keputusan.
Beberapa jenis bias tersebut, meliputi:
- Bias konfirmasi membuat seseorang lebih menyukai informasi yang mendukung keyakinannya. Itulah sebabnya penipu membuat pesan yang sesuai dengan kekhawatiran atau harapan targetnya.
- Bias optimisme menyebabkan seseorang melebih-lebihkan kemungkinan terjadinya hal baik sekaligus meremehkan kemungkinan terjadinya hal buruk.
- Bias otoritas menunjukkan kecenderungan untuk lebih patuh kepada figur otoritas. Penipu mengandalkan hal ini dan secara teratur mencoba meniru otoritas yang dianggap berwenang, seperti pemerintah atau organisasi.
Heuristik, atau jalan pintas mental yang kita gunakan untuk membuat keputusan sehari-hari, juga berperan. Sistem praktis kognitif yang efisien; mempercepat pengambilan keputusan dan seringkali akurat. Namun, itu juga membuat seseorang rentan terhadap kesalahan dan pilihan yang buruk.
Misalnya, jika mempercayai ulasan daring telah menghasilkan keputusan pembelian yang baik di masa lalu, kita cenderung lebih memercayainya saat membuat pilihan berbelanja. Penipu memanfaatkan heuristik ini dengan membuat ulasan dan testimoni palsu. Karena tampak autentik, kita yakin bahwa ulasan dan testimoni itu pasti benar, yang dapat menyebabkan ketergantungan berlebihan pada sumber informasi tersebut dan mengabaikan tanda-tanda bahaya.
Obsesi terhadap kemurnian dalam tubuh
Salah satu mitos kesehatan yang tersebar luas menyatakan bahwa kesehatan dapat ditemukan dalam kondisi tubuh yang “murni”, dan bahwa penyakit terjadi ketika kontaminan luar mencemari tubuh.
Seperti yang dicatat oleh antropolog Mary Douglas, kita secara simbolis menyamakan "bagian dalam" dengan kemurnian dan bagian "luar" dengan polusi. Hal ini menyebabkan upaya untuk melindungi diri kita dari ancaman luar. Kita muak dengan gagasan tentang "bagian luar" yang berbahaya yang masuk ke dalam dan merusak tempat suci bagian dalam tubuh.
Simbolisme tersebut dapat dengan mudah kita temui dalam berbagai diet yang menganjurkan penghapusan jenis makanan tertentu, seperti gula atau gluten, untuk mencapai keadaan kemurnian diri yang berujung pada kesehatan.
Demikian pula, berbagai pola makan "makan sehat " akan secara khusus menghubungkan makanan tertentu dengan kebersihan dan yang lainnya dengan kekotoran. Dalam bentuk yang paling ekstrem, pola makan ini merupakan orthorexia, suatu kondisi klinis yang didefinisikan oleh "obsesi" dengan makan sehat.
BACA JUGA:
- Mengunjungi Dokter yang Sama dapat Memperpanjang Harapan Hidup Pasien
- Bagaimana TikTok Mengubah Cara Kita Memandang Kesehatan
- Mengapa Pasien Bisa Berbohong Kepada Profesional Kesehatan?
Daya tarik 'kebijaksanaan lama'
Setiap hari kita dihadapkan pada serangkaian pilihan yang sangat banyak, mulai dari produk yang kita gunakan hingga cara kita membangun identitas kita. Sebagai orang yang hidup dalam masyarakat modern dan makmur, kita, sebagaimana dikatakan Jean-Paul Sartre, “dikutuk untuk bebas”.
Dalam konteks kelebihan pilihan dan kelelahan keputusan ini, kebijaksanaan kuno menawarkan kesederhanaan yang menggoda: kembali ke masa yang lebih sederhana.
Pada tahun 1953, psikoanalis Jacques Lacan mengamati bahwa kita memiliki nostalgia terhadap zaman keemasan yang diidealkan (terlepas dari apakah zaman itu benar-benar pernah ada). Kita mendambakan era mistis kesederhanaan, keamanan, dan kebahagiaan. Bias psikologis terhadap masa lalu ini terwujud sebagai penghormatan yang mendalam terhadap "kebijaksanaan kuno" yang tampaknya diwariskan dari generasi ke generasi dan tidak ternoda oleh pengaruh modern.
Preferensi tersebut dapat dilihat dari kepercayaan naluriah kita terhadap pengobatan kakek-nenek dan praktik penyembuhan tradisional, bahkan ketika bukti ilmiah tidak selalu mendukungnya. Para penipu memanfaatkan nostalgia tersebut dengan menjual produk yang menghubungkan kita dengan masa lalu.
Kecurigaan pada produksi skala industri
Pikiran kita seringkali curiga terhadap proses manufaktur berskala besar dan kompleks, dan seringkali merendahkan nilai produk yang diproduksi secara industri.
Keraguan terhadap skala ini berasal dari asosiasi negatif dengan pekerjaan pabrik, standar yang dipertanyakan, dan sejarah perusahaan multinasional yang memprioritaskan keuntungan daripada manusia. Sebagai masyarakat, wajar saja jika kita semakin lelah dengan perusahaan multinasional yang pengaruhnya tampaknya tidak dapat kita hindari. Politisi seringkali melanjutkan narasi ini dengan mengklaim bahwa globalisasi – menggantikan industri rumahan lokal dengan perusahaan-perusahaan besar yang terindustrialisasi – merugikan orang-orang kecil.
Para penipu memanfaatkan kecurigaan yang berkembang terhadap industri farmasi berskala industri untuk mempromosikan produk kesehatan "buatan sendiri" miliknya. Barang-barang buatan lokal seringkali memiliki nilai lebih tinggi hanya karena dibuat dalam skala yang lebih kecil, terlepas dari kualitas atau bahannya.
Kita melihat dinamika tersebut terjadi dalam penolakan vaksin COVID-19, yang sebagian berasal dari kecurigaan terhadap perusahaan farmasi.
Preferensi pada bahan alami dibanding buatan
Secara budaya, konsep “alami” memiliki makna yang kuat, menempatkan benda-benda yang ditemukan di alam sebagai sesuatu yang secara inheren lebih unggul dibandingkan benda-benda yang diproduksi oleh manusia (dianggap “buatan”).
Dikotomi alami/buatan ini membentuk kerangka simbolis di mana pengobatan alami, makanan mentah, dan keaslian mewakili tatanan "yang tepat" dari segala sesuatu – bagaimana kehidupan seharusnya. Bias "daya tarik alam" tetap ada karena hal tersebut selaras dengan intuisi kolektif kita bahwa kehidupan modern entah bagaimana telah memisahkan kita dari kebenaran sejati atau cara hidup yang lebih sehat.
Penelitian telah menunjukkan bahwa kita cenderung memiliki hubungan positif dengan konsep "alamiah", yang kita pahami sebagai objek yang tidak diubah oleh campur tangan manusia. Preferensi ini bukan sekadar estetika. Preferensi ini juga mencerminkan keyakinan kita pada tatanan moral.
Pola tersebut sering kita temui di seluruh industri kesehatan, di mana para influencer dan perusahaan memasarkan produk dengan menekankan asal-usul alami dan pemrosesan minimal. Klaim-klaim yang memanfaatkan bias psikologis kita terhadap pengobatan alami, meskipun bukti ilmiah atas kemanjurannya masih sangat terbatas.
Referensi:
- Tomasello M, Carpenter M, Call J, Behne T, Moll H. Understanding and sharing intentions: the origins of cultural cognition. Behav Brain Sci. 2005 Oct;28(5):675-91; discussion 691-735. doi: 10.1017/S0140525X05000129. PMID: 16262930.
- Douglas, P.M., & Douglas, M. (1996). Purity and Danger: An Analysis of Concepts of Pollution and Taboo (1st ed.). Routledge. https://doi.org/10.4324/9781315015811
- Do You Suffer From Decision Fatigue?, The New York Times Magazine, August 2011
Log in untuk komentar