sejawat indonesia

Postingan di Media Sosial tentang Tes Medis Berpotensi Overdiagnosis

Ketika Kim Kardashian berbagi di Instagram saat dirinya menjalani MRI Full Body Scan, ia dengan antusias mengatakan bahwa tes tersebut dapat “menyelamatkan nyawa”, mendeteksi penyakit pada tahap paling awal sebelum gejala muncul.

Hal yang tidak disebutkan Kardashian adalah tidak ada bukti bahwa pemindaian mahal tersebut dapat memberikan manfaat bagi orang sehat. Ia juga tidak menyebutkan bahwa pemindaian tersebut dapat menimbulkan bahaya termasuk diagnosis yang tidak perlu dan perawatan yang tidak tepat.

Apa yang dibagikan Kim Kardashian adalah tipikal postingan dari banyak (Mungkin sebagian besar) Selebriti & Influencer di media sosial tentang tes kesehatan: Hanya menyebut sebagian, sehingga dapat memicu kesesatan informasi.

Dalam studi baru yang diterbitkan 26 Februari 2025 di JAMA Network Open, para peneliti menganalisis hampir 1.000 unggahan Instagram dan TikTok tentang lima tes medis populer. Kelima tes tersebut dapat menimbulkan lebih banyak bahaya daripada manfaat bagi orang sehat, termasuk pemindaian MRI Full Body Scan.

Tes medis yang berpotensi overdiagnosis

Meskipun tes-tes tersebut dapat bermanfaat bagi sebagian orang, kelimanya mengandung risiko diagnosis berlebihan bagi orang-orang yang sehat secara umum. Diagnosis berlebihan adalah diagnosis suatu kondisi yang tidak akan pernah menimbulkan gejala atau masalah. Diagnosis berlebihan (Overdiagnosis) menyebabkan pengobatan berlebihan yang dapat menyebabkan efek samping dan stres yang tidak perlu bagi seseorang, serta pemborosan sumber daya bagi sistem kesehatan.

Overdiagnosis merupakan masalah global dan sebagian disebabkan oleh orang-orang sehat yang menjalani tes-tes serupa. Seringkali, berbagai tes tersebut dipromosikan dengan kedok skrining dini, sebagai cara untuk seseorang "mengendalikan" kesehatannya. Namun, kebanyakan orang sehat, justru tidak membutuhkannya.


BACA JUGA:


Berikut lima tes tersebut:

  1. Pemindaian MRI full body mengeklaim dapat mendeteksi hingga 500 kondisi, termasuk kanker. Namun, tidak ada manfaat pemindaian yang terbukti bagi orang sehat, dan ada risiko nyata berupa perawatan yang tidak perlu akibat diagnosis "alarm palsu".
  2. Tes hormon anti-mullarian (AMH) seringkali dipromosikan secara keliru sebagai tes kesuburan untuk perempuan sehat. Meskipun tes tersebut mungkin bermanfaat bagi perempuan di klinik kesuburan, namun itu tidak dapat secara akurat memprediksi peluang seorang perempuan untuk hamil, atau memulai menopause. Hasil yang rendah dari tes tersebut dapat meningkatkan rasa takut dan cemas, serta menyebabkan perawatan kesuburan yang tidak perlu dan mahal.
  3. Tes darah deteksi dini multikanker dipasarkan secara luas sebagai "holy grail of cancer detection", dengan klaim bahwa tes tersebut dapat mendeteksi lebih dari 50 jenis kanker. Kenyataannya, uji klinis masih jauh dari selesai. Belum ada bukti kuat bahwa manfaatnya akan lebih besar daripada bahaya diagnosis kanker yang tidak perlu.
  4. Uji mikrobioma usus pada tinja menjanjikan "kesehatan" melalui deteksi dini berbagai kondisi, mulai dari perut kembung hingga depresi, lagi-lagi tanpa bukti manfaat yang kuat. Ada juga kekhawatiran bahwa hasil uji dapat menyebabkan pemborosan sumber daya.
  5. Pengujian testosteron pada pria sehat tidak didukung oleh bukti berkualitas tinggi, dengan kekhawatiran iklan langsung ke konsumen menyebabkan pria melakukan pengujian dan menjalani terapi penggantian testosteron secara tidak perlu. Penggunaan terapi penggantian testosteron memiliki risiko potensi bahaya tersendiri dengan keamanan jangka panjang terkait penyakit jantung dan kematian yang sebagian besar masih belum diketahui.

Sebagian besar postingan dapat menyesatkan

Penelitian bersama dengan sekelompok peneliti kesehatan internasional tersebut menganalisis 982 unggahan yang berkaitan dengan pengujian di atas dari Instagram dan TikTok. Unggahan yang dinilai berasal dari para influencer dan pemegang akun dengan sedikitnya 1.000 pengikut, beberapa di antaranya memiliki beberapa juta pengikut. Secara total, kreator unggahan yang disertakan memiliki hampir 200 juta pengikut.

Bahkan, jika tidak memperhitungkan bot, pengaruhnya sangat besar (dan kemungkinan tidak mencerminkan jangkauannya yang sebenarnya kepada non-pengikut juga).

Sebagian besar postingan menyesatkan, bahkan tidak menyebutkan kemungkinan bahaya yang timbul akibat menjalani salah satu tes. Berikut beberapa temuannya:

  • 87% postingan menyebutkan manfaat pengujian, sementara hanya 15% yang menyebutkan potensi bahayanya
  • hanya 6% postingan yang menyebutkan risiko overdiagnosis
  • hanya 6% postingan yang membahas bukti ilmiah, sementara 34% postingan menggunakan cerita pribadi untuk mempromosikan pengujian tersebut
  • 68% influencer dan pemegang akun memiliki kepentingan finansial dalam mempromosikan tes tersebut (misalnya, kemitraan, kolaborasi, sponsor, atau penjualan untuk keuntungan mereka sendiri dengan cara tertentu).

Analisis lebih lanjut mengungkapkan bahwa postingan dari para dokter, berbagi informasi dengan sedikit lebih berimbang. Mereka cenderung menyebutkan bahaya dari tes tersebut, dan cenderung tidak memiliki nada promosi yang kuat.


Gambar 1. Postingan Media Sosial tentang Tes Medis: Manfaat, Bahaya, Overdiagnosis, dan Nada (Tone)

 

Gambar 2. Postingan Media Sosial tentang Tes Medis: Bukti, Anekdot, Dorongan, dan Kepentingan Finansial


Seperti semua penelitian, penelitian tersebut pasti memiliki beberapa keterbatasan. Misalnya, tidak menganalisis komentar yang terkait dengan postingan. Sesuatu yang dapat memberikan wawasan lebih jauh tentang informasi yang diberikan tentang lima tes tersebut dan bagaimana pengguna media sosial melihat dan meresponnya.

Meskipun demikian, temuan tersebut menambah bukti yang berkembang yang menunjukkan informasi medis menyesatkan tersebar luas di media sosial.

Apa dapat dilakukan?

Para ahli telah mengusulkan berbagai solusi termasuk strategi pra-bunking, berarti secara proaktif mendidik publik tentang teknik misinformasi umum.

Namun, solusi seperti itu seringkali menempatkan tanggung jawab pada individu. Dan dengan semua informasi di media sosial yang harus ditelusuri, itu merupakan hal yang besar, bahkan bagi orang-orang dengan pengetahuan kesehatan yang memadai.

Hal yang sangat dibutuhkan adalah regulasi yang lebih kuat untuk mencegah informasi yang menyesatkan dibuat dan disebarkan sejak awal. Apalagi, penting untuk mengingat bahwa platform media sosial termasuk Instagram mulai menjauh dari metode pengecekan fakta.

Sementara itu, patut diingat bahwa jika informasi tentang tes medis yang dipromosikan oleh para influencer kedengarannya terlalu bagus untuk menjadi kenyataan, kemungkinan besar memang demikianlah kenyataannya.


Referensi:

Nickel B, Moynihan R, Gram EG, et al. Social Media Posts About Medical Tests With Potential for Overdiagnosis. JAMA Netw Open. 2025;8(2):e2461940. doi:10.1001/jamanetworkopen.2024.61940

Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaBagaimana Sebaiknya Faskes dan Perawatan Kesehatan Merespon Bulan Ramadan?

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar