sejawat indonesia

Mengapa Banyak Orang Cenderung Menyembunyikan Penyakitnya?

Rahasia. Kita semua memilikinya, bahkan lebih dari satu. Rahasia hanyalah bagian dari kehidupan dan di antara rahasia-rahasia tersebut, bisa jadi adalah rincian tentang kondisi kesehatan kita. Sekitar seperempat hingga sepertiga orang dengan penyakit fisik serius menyembunyikan penyakitnya dari rekan kerja, bahkan keluarga, dan teman. Data ini bahkan akan lebih besar jika kita mempertimbangkan masalah kesehatan mental yang lebih sering untuk dirahasiakan.

Mengapa demikian? Apa yang membuat seseorang memilih menyembunyikan kondisi kesehatan mereka?

 

“It’s part of the privilege of being human that we have our moment when we have to say goodbye.” - Patti Smith

 

Sayangnya, tidak semua dari kita memiliki keistimewaan tersebut. Kabar duka seringkali datang dengan tiba-tiba tentang seseorang yang baru beberapa saat atau terakhir kali berjumpa masih tampak sehat dan baik-baik saja.

Beberapa di antara orang-orang tersebut adalah mereka yang dengan penuh kesadaran, menyembunyikan kondisi kesehatan mereka. Menyisakan pertanyaan yang pada akhirnya membuat kita berspekulasi bahwa itu mungkin sebuah sikap tentang menikmati hidup–dan mati–tanpa campur tangan orang lain, seperti kata Jimi Hendrix:

“I'm the one that's got to die when it's time for me to die, so let me live my life the way I want to.”

 


BACA JUGA:


Tentu saja, kita semua tahu bahwa privasi mengenai kesehatan seseorang adalah sebuah hak; kita “memiliki” status kesehatan kita, dan berhak memutuskan siapa saja yang perlu mengetahuinya. Namun terkadang, membagikan atau tidak membagikan kondisi medis kepada orang lain dapat menimbulkan konsekuensi yang signifikan, baik itu yang mengalami, mereka yang diinformasikan, maupun mereka yang dipilih untuk tidak diinformasikan.

Lalu, apa yang menjadi pertimbangan seseorang untuk tidak memberitahukan kondisi kesehatan mereka? Berikut beberapa kemungkinan alasannya:

1. Kekhawatiran akan Stigma

“Bagaimana orang lain memandang penyakit saya? Akankah orang-orang berspekulasi tentang bagaimana saya bisa menyebabkannya terjadi, apakah stres atau gaya hidup? Apakah pandangan mereka tentang siapa saya akan berubah? Apakah penyakit saya akan dianggap merugikan dalam lingkungan profesional atau sosial? Apakah saya akan ditolak mendapatkan pekerjaan yang saya inginkan? Apakah saya akan ditolak dalam hubungan romantis dan seksual?”

Stigma, dilakukan oleh orang lain, tetapi berujung akan diinternalisasi, bahkan sebelum itu terjadi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah bagian dari internalisasi stigma yang akhirnya menyebabkan seseorang merahasiakan kondisi kesehatan mereka.

2. Kekhawatiran akan dikasihani

Balzac (sekitar tahun 1825) menulis: “…perasaan dikasihani membunuh semangat, memperparah kelemahan kita, melumpuhkan kita.” Ya, ketika kita sakit, kita ingin dan perlu dihibur secara emosional. Namun, rasa kasihan/iba justru memberi efek sebaliknya: ia menjadi suatu hierarki, dengan satu orang (orang yang dikasihani) berada pada posisi yang rendah dan yang lainnya (orang yang merasa kasihan) berada pada posisi yang lebih tinggi. 

Segala kompleksitas dari semangat, kekuatan, dan kelemahan individu dikaburkan karena orang yang sakitlah yang menjadi penyakit atau kondisinya, bukan dirinya yang sebelum diagnosis.

3. Kekhawatiran membebani orang lain

Seringkali, kita tidak ingin penyakit kita memberi efek buruk kepada orang lain, apalagi kepada orang yang kita sayangi. Seorang ibu merahasiakan diagnosis kankernya dari anak-anaknya untuk melindungi mereka dari kecemasan yang diakibatkan oleh status kesehatannya. Seorang perempuan muda, yang baru-baru ini menghibur sahabatnya yang patah hati, memutuskan bahwa dia tidak dapat menambah kepedihan sahabatnya dengan berbagi kondisi medisnya. Seorang anak dewasa bersikeras bahwa dia harus menyembunyikan diagnosis Multiple Sclerosisnya dari orang tuanya yang lanjut usia karena hal itu dapat membunuh mereka.

Setiap rahasia memiliki kelemahan, termasuk alasan-alasan yang disampaikan di atas. Misalnya, tentang kekhawatiran soal stigma, bisa jadi hanyalah rasa rendah diri seorang individu tumbuh menjadi prasangka akan pandangan orang lain.

Namun, pertama-tama harus diakui bahwa alasan-alasan tersebut adalah sesuatu yang valid dan kemungkinan besar dipicu secara struktural yang sudah berlangsung lama di masyarakat kita. Misalnya, kekhawatiran akan stigma, cenderung lahir dari masyarakat yang tak terbiasa dengan inklusivitas, menganggap mereka yang sakit tidak dapat berkontribusi lagi di masyarakat. Begitu juga dengan kekhawatiran akan dikasihani atau membebani orang lain, kemungkinan dipicu dari struktur sosial yang selalu menuntut seorang individu untuk tetap kuat apapun kondisinya.

Bagaimanapun, jatuh sakit adalah bagian dari hidup, sekitar separuh dari kita akan menghadapi kondisi kesehatan yang serius dan sekitar satu dari lima dari kita akan mengalami dua atau lebih penyakit serius sekaligus.

Tidak ada keluarga atau individu yang kebal. Penyakit serius dapat menyerang orang-orang dari segala usia, kekayaan, profesi dan tingkat pendidikan.

Jadi, alih-alih menuntut solusi dari individu untuk tidak merahasiakan kondisi medis mereka, hal pertama yang harus dilakukan adalah menciptakan masyarakat yang menerima dan menganggap bahwa menjadi sakit adalah bagian dari kehidupan, sehingga mereka yang sakit tetap bagian dari masyarakat. 


Referensi:

  1. Munro, H., Scott, S. E., King, A., and Grunfeld, E. A. (2015), Patterns and predictors of disclosure of a diagnosis of cancer. Psycho-Oncology, 24, 508–514. doi: 10.1002/pon.3679.
  2. Australian Institute of Health and Welfare, Media release.
  3. The Business Leaders ‘Hiding’ Chronic Illness, Dr. Peter Ghin and Professor Susan Ainsworth, University of Melbourne.
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaTerapi Antisense untuk ALS: Perkembangan Saat Ini & Potensinya di Masa Depan

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar