sejawat indonesia

Mengapa Perundungan tetap Terjadi di Dunia Kedokteran Kita?

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat 2.621 laporan perundungan yang terjadi pada Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) dalam setahun terakhir. Inspektur Jenderal Kementerian Kesehatan RI, Murti Utami menuturkan, dari total tersebut, 620 di antaranya terkonfirmasi sebagai kasus bullying. 

"Sejak tahun lalu sudah membuka akses layanan pelaporan perundungan. Sampai 30 Maret, kami sudah mendapatkan pelaporan sebanyak 2.621 kasus. Yang masuk kategori perundungan sebanyak 620." - Murti Utami dalam konferensi pers di Gedung Kemenkes, Jakarta Selatan, Senin (21/4/2025). 

Murti menjelaskan, dari 620 laporan perundungan PPDS, 363 terjadi di Rumah Sakit Vertikal (RSV) dan 257 kasus dari luar RSV. 

Perundungan (Bullying) masih menjadi momok di Dunia Kedokteran kita dan tidak terbatas pada peserta PPDS. Sebuah studi yang terbit pada tahun 2020 dari Australia yang menelisik tentang bullying dan harassment di lingkungan klinis memberikan sedikit gambaran tentang mengapa bullying terus mengakar di dunia kedokteran meskipun secara ilmiah sudah diketahui dampak negatifnya bagi para dokter.

Hierarki dalam dunia kedokteran

Sistem hierarkial layaknya pada satuan militer merupakan sistem yang prominen dalam kedokteran. Dengan adanya hierarkial ini, akan mempermudah membentuk chain of command dalam melakukan pelayanan medis, termasuk dalam keputusan medis.

Sayangnya, beberapa orang kemudian melakukan abuse terhadap sistem hierarkial tersebut, hingga menjadikan orang pada posisi terbawah (dalam hal ini junior) seolah-olah sebagai pelayan mereka.

Karena sistemnya bersifat hierarkial, maka akan sangat mudah bagi seorang junior yang kemudian menjadi senior, akan melanjutkan sistem ini.

Intelectual humiliation yang dialami oleh para korban bullying dapat mengubah nilai-nilai yang dimiliki para korban dan menyesuaikannya dengan para pelaku bullying (atasan mereka) untuk bertahan hidup. Hal tersebut akan membantu budaya ini terus bertahan.

Menurut ahli psikologi, peserta didik yang berhasil melewati abuse dari sistem hierarkial ini cenderung akan berpindah ke posisi otoritas yang lebih tinggi dan kemudian mendorong perilaku dan praktik abuse yang sama.


BACA JUGA:


Faktor Budaya

Dalam menjalani pendidikan kedokteran, ada beberapa budaya yang tertanam sangat dalam, misalnya konsep self-sacrifice. Di mana banyak dokter percaya bahwa untuk dapat berhasil dalam pendidikan kedokteran, seorang dokter harus mengorbankan dirinya sendiri, termasuk mengorbankan kehidupan personal seperti memiliki anak.

Sebab sebagian dokter percaya bahwa self-sacrifice ini penting untuk memberikan pelayanan maksimal kepada pasien. Bahkan overworked akhirnya menjadi produk dari self-sacrifice ini.

Budaya yang kedua adalah resiliensi atau ketangguhan. Seorang dokter harus selalu tangguh, sehingga segala macam tindakan mempermalukan atau bullying dianggap sebagai bagian untuk melatih ketangguhan mereka.

Selain itu, ada pula praktik penghormatan kepada dokter senior, sehingga junior merasa untuk harus selalu berusaha untuk bersikap baik kepada dokter senior tersebut.

Pada studi di Inggris tahun 2004, muncul istilah hidden curriculum dalam kedokteran, yang isinya merupakan sebuah standar pembelajaran informal yang menanamkan hierarki, kompromi terhadap integritas etika dan netralisasi emosi. Hal ini dapat berujung pada pelecehan dan intelectual humiliation yang justru dapat merusak profesionalisme.

Tidak ada jaminan bagi pengaduan bullying

Mayoritas responden dalam studi tersebut menyatakan bahwa tidak ada jaminan kerahasiaan terhadap pelaporan, tidak ada kejelasan terkait kebijakan pengaduan, dan kekhawatiran dampak terhadap karir di masa depan juga menjadi faktor yang mencegah para korban untuk melapor.

Beberapa dokter bahkan percaya bahwa tidak akan ada penindakan yang jelas meskipun korban sudah melapor. Ada juga kekhawatiran bahwa pelaporan justru akan membuat seseorang tidak terlihat kredibel dalam menjaga chain of command dalam kedokteran, sehingga berdampak pada karirnya.

Umumnya, hanya orang-orang yang merasa nothing to lose yang berani melaporkan.

Untuk memutus rantai praktik bullying di lingkungan kedokteran, Menteri Kesehatan telah mengeluarkan Instruksi Menteri Kesehatan terkait pencegahan dan penanganan perundungan. Selain itu, Kementerian Kesehatan RI juga sudah menyediakan situs web dan hotline untuk pelaporan perundungan di lingkungan rumah sakit vertikal Kemenkes. 

Namun, regulasi dan sanksi tidak akan pernah cukup tanpa penerapan yang ketat dan konsisten di setiap instansi kedokteran. 


Referensi:

  • Colenbrander, L., Causer, L. & Haire, B. ‘If you can’t make it, you’re not tough enough to do medicine’: a qualitative study of Sydney-based medical students’ experiences of bullying and harassment in clinical settings. BMC Med Educ 20, 86 (2020). https://doi.org/10.1186/s12909-020-02001-y
  • Kemenkes Catat Ada 2.621 Kasus Bullying PPDS, Paling Banyak di RS Vertikal, Kompas.com,  https://nasional.kompas.com/read/2025/04/21/15040201/kemenkes-catat-ada-2621-kasus-bullying-ppds-paling-banyak-di-rs-vertikal.

 

Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaKetika Dokter Menjadi Pasien

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar