sejawat indonesia

Smartphone untuk Foto Klinis Pasien, Bagaimana Pandangan Etisnya?

Penggunaan ponsel pintar untuk memotret momen sehari-hari memang sudah lazim. Tapi, bagaimana untuk foto klinis oleh dokter? Seiring dengan perkembangan teknologi yang kian pesat, banyak dokter yang merasa tak perlu menggunakan lagi kamera profesional. Praktis dan mudah digunakan jadi dua alasan utama dokter untuk memakai ponsel.

Tren penggunaannya untuk foto klinis memang meningkat. Dalam survei oleh Canadian Society of Plastic Surgeons pada 2014, sebanyak 89,1 persen dari ahli bedah yang menjadi responden mengaku menggunakan ponsel untuk mengambil foto pasien. Bahkan, 57 persen menyebut memotret menggunakan ponsel pribadi mereka.

Lebih jauh, sebanyak 73 persen ahli bedah mengaku menyimpan foto klinis tersebut di antara foto-foto pribadi. Selain itu, 73 persen percaya bahwa persetujuan lisan untuk mengambil foto klinis dengan ponsel pribadi sudah cukup untuk memastikan privasi sang pasien dihormati. Memang persetujuan tertulis diperlukan, tapi 83 persen mengaku ingin melakukannya jika ada metode lebih efisien.

Lantas seperti apa cara dokter menggunakan ponsel pintar? Apakah berbeda dengan proses foto yang dilakukan oleh fotogafer khusus? Ternyata tidak terlalu rumit. Dalam artikel berjudul "Medical photography using mobile devices" yang terbit di jurnal BMJ pada 26 Agustus 2022, ada lima hal yang harus diperhatikan yakni pencahayaan, fokus, lokasi dan tingkat keparahan, kontras warna dan perspektif.

Gambar : Pedoman singkat cara penggunaan ponsel kamera ponsel pribadi untuk foto klinis bagi para dokter.

Lantas bagaimana jika foto-foto klinis pasien tersebut secara sengaja atau tidak justru dilihat oleh anggota keluarga dan/atau teman? Ternyata, ada 26 persen dari responden surbei Canadian Society of Plastic Surgeons mengaku tak sengaja melakukannya.

Memang menjadi masalah tersendiri mengingat ini berurusan dengan privasi pasien. Tapi bukannya ini tanpa solusi. Setengah dari seluruh responden survei ini sepakat bahwa mereka menaruh minat tinggi pada aplikasi yang menggabungkan proses persetujuan tertulis dan menyimpan foto klinis pasien secara eksternal (cloud storage).


Baca Juga :


Namun, ada ketidaksesuaian antara praktik penggunaan ponsel pintar pribadi milik dokter dan persepsi atas praktik ini. Dalam artikel ilmiah berjudul "Should 'smart phones' be used for patient photography?" yang diterbitkan jurnal Plastic Surgery pada 2016 silam, masalahnya ada pada zona abu-abu pada privasi pasien, ketiadaan peraturan resmi tertulis terkait penggunaan ponsel pintar, dan etika profesionalitas. Tapi, fakta di lapangan justru menunjukkan bahwa aspek legalitas yang mengambang ternyata tak bisa mencegah praktiknya.

Sekali lagi, risiko menerabas privasi pasien kerap tak dipedulikan. Alhasil, seperti yang diakui oleh dokter bedah pada survei di Kanada, foto-foto klinis tersebut secara tak sengaja dilihat oleh keluarga atau teman. Ini tentu berlawanan dengan kode etik universal kedokteran yang menjunjung tinggi kerahasiaan pasien.

Memang foto-foto klinis pasien jadi lebih mudah terekspos ke publik, tapi survei yang sama menyebut bahwa para responden ini mengaku lebih percaya dengan keamanan ponsel pribadi mereka. Mulai dari perlindungan kata sandi, cloud storage yang terenkripsi, dan bisa dikunci dari jarak jauh. Ini semua adalah fitur keamanan yang tak didapatkan dari kamera biasa.

Biasanya, jasa fotografer medis profesional memang digunakan oleh banyak Rumah Sakit di luar negeri. Tapi, artikel jurnal tersebut menggarisbawahi hambatan yang kerap ditemukan. Sang fotografer kerap dihadapkan pada masalah jam kerja terbatas tapi dengan volume pasien yang sangat besar. Belum lagi jika ia sibuk dan menerima banyak klien. Maka. memakai kamera ponsel pribadi dipandang sebagai solusi jangka pendek.

Persetujuan pasien secara lisan jadi salah satu masalah yang menjadi fokus Amal Al Balushi, salah satu petinggi Kementerian Kesehatan Oman, dalam artikel ilmiah berjudul "The Ethics and Legality of Using Personal Smartphones to take Medical Photographs" yang terbit pada Mei 2019 silam.

Baginya, persetujuan lisan saja tak cukup. Menurutnya harus ada persetujuan tertulis sebagai praktik standar. Baginya, informed consent ini mutlak jadi tanggung jawab dokter, bahkan meski didelegasikan ke anggota stafnya.

Amal menyebut bahwa dokter harus menjelaskan dan mendiskusikan tujuan fotografi medis, potensi manfaatnya dalam pengelolaan kondisi pasien, risiko terkait, dan siapa yang bisa mengakses ke foto-foto tersebut. Pokoknya, semua poin tersebut harus tercantum dengan jelas dalam formulir persetujuan. Belum lagi risiko pengungkapan identitas pasien secara tak sengaja yang tak bisa dipandang sebelah mata.

Selain itu, pasien harus diizinkan untuk memilih tujuan foto medis mereka, seperti untuk memantau perkembangan kondisinya, untuk tujuan pendidikan atau malah keduanya. Bisa juga penggunaan di masa mendatang seperti penelitian, publikasi, atau penggunaan pendidikan. Syaratnya, harus dinyatakan dengan jelas dengan opsi sang pasien bisa menarik persetujuan kapan saja, kecuali yang sudah terbit untuk tujuan pendidikan.

Secara teoritis, foto-foto pasien masih menjadi milik mereka, selama foto-foto tersebut hanya ada dalam file klinis mereka. Tapi, saat dipublikasikan ke publik, foto-foto tersebut bukan lagi milik pasien. Amal menyebut hal ini harus diketahui secara rinci oleh pasien.

Hak pasien lainnya adalah didampingi oleh kerabat atau teman selama proses foto klinis, apa lagi jika dokternya memiliki jenis kelamin berbeda. Nama si pendamping perlu dicatat dalam formulir persetujuan dan catatan klinis. Bagian tubuh pasien yang jadi obyek foto pun harus dibatasi, bahkan hasil akhirnya ditunjukkan pada pasien untuk persetujuan akhir.

Tak sampai di situ, jika pasien enggan atau tak mau saat hendak difoto ulang, fotografer medis harus menghormatinya. Belum termasuk kebebasan pasien untuk memilih antara fotografer khusus medis atau wewenangnya diserahkan pada dokter yang merawat. Sekali lagi, hak pasien tak sebatas pada apakah mereka bersedia difoto atau tidak.

Keamanannya berkas fotonya pun harus terjamin, baik dalam bentuk fisik atau digital. Amal menulit bahwa foto-foto medis cuma boleh disimpan dalam sistem komputer rumah sakit tempatnya dirawat, terlebih jika obyek fotonya adalah area tubuh pribadi.

Untuk perkara penggunaan ponsel pintar milik pribadi, Amal mengambil sikap tegas: praktiknya tidak diperbolehkan. Tapi, tetap boleh asalkan dokter bisa mendapat persetujuan tertulis dan harus dihapus setelah konsultasi.

Dari berbagai masalah seperti privasi pasien, keterbatasan jam kerja fotografer klinis dan keamanan fotonya, ternyata masih ada alternatif lain. Harus ada ponsel yang disediakan khusus untuk mengambil foto klinis, serta dapat digunakan untuk menerima konsultasi berdasarkan foto medis, bahkan meskipun fotonya diambil di luar rumah sakit.

Di Indonesia sendiri, belum ada data dan penelitian pasti terkait tren penggunaan ponsel pribadi milik dokter untuk keperluan foto klinis. Tapi, isu ini patut untuk dibahas sebab menyangkut privasi pasien, sesuai yang disinggung secara eksplisit dalam Pasal 16 Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).


Referensi :

  • Al Balushi A. A. (2019). The Ethics and Legality of Using Personal Smartphones to take Medical Photographs. Sultan Qaboos University medical journal, 19(2), e99–e102.
  • Zoltie, T., Blome-Eberwein, S., Forbes, S., Theaker, M., & Hussain, W. (2022). Medical photography using mobile devices. BMJ (Clinical research ed.), 378, e067663.
  • Chan, N., Charette, J., Dumestre, D. O., & Fraulin, F. O. (2016). Should 'smart phones' be used for patient photography?. Plastic surgery (Oakville, Ont.), 24(1), 32–34.
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaProses Panjang Ilmuwan hingga Menemukan Diagnosis Penyakit Alzheimer

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar