sejawat indonesia

Proses Panjang Ilmuwan hingga Menemukan Diagnosis Penyakit Alzheimer

Penyakit Alzheimer adalah penyebab paling umum dari demensia. Yayasan Alzheimer Indonesia menjelaskan bahwa selama seseorang mengalaminya, zat kimia dan struktur otak ikut berubah. Ini berujung pada kematian sel-sel otak.

Alzheimer ini memang erat kaitannya dengan demensia, yang digambarkan sebagai serangkaian gejala yang mencakup kehilangan memori, perubahan suasana hati, masalah dengan komunikasi dan penalaran. Gejala ini terjadi ketika otak mengalami kerusakan oleh penyakit atau kondisi tertentu termasuk penyakit Alzheimer.

Dalam laporan pada tahun 2015, Kementerian Kesehatan RI menyebut ada sekitar 46 juta jiwa yang menderita penyakit Alzheimer di seluruh dunia. Di negara maju seperti Amerika Serikat. ada lebih dari 4 juta orang berusia lanjut penderita Penyakit Alzheimer. Angka ini diperkirakan akan meningkat hampir 4 kali lipat pada tahun 2050.

Di Indonesia sendiri, diperkirakan ada sekitar 1.2 juta orang dengan demensia pada tahun 2016. Jumlahnya disebut akan meningkat sepanjang tiga dekade mendatang. Diperkirakan menjadi 2 juta di 2030, kemudian 4 juta orang pada tahun 2050.

National Institute of Neurological and Communicative Disorders and Stroke (NINCDS) dan Alzheimer's Disease and Related Disorders Association (ADRDA, sekarang dikenal sebagai Alzheimer's Association) menetapkan Kriteria Alzheimer NINCDS-ADRDA yang paling umum digunakan untuk diagnosis pada tahun 1984 dan diperbarui secara ekstensif diperbarui pada tahun 2007.

Kriteria ini mengharuskan adanya gangguan kognitif, dan dugaan sindrom demensia, dikonfirmasi dengan pengujian neuropsikologis untuk diagnosis klinis penyakit Alzheimer yang mungkin terjadi. Konfirmasi histopatologi, termasuk pemeriksaan mikroskopis jaringan otak, diperlukan untuk diagnosis definitif. Keandalan dan validitas statistik yang baik telah ditunjukkan antara kriteria diagnostik dan konfirmasi histopatologis definitif.

Meski baru mendapat nama resmi dan diteliti secara terperinci pada awal abad ke-20, Alzheimer bukan sesuatu yang asing dalam dunia kesehatan. Para filsuf dan dokter era Yunani kuno sudah mengetahui "sebuah keadaan di mana seseorang yang berusia lanjut cepat lupa dengan hal-hal di sekitarnya."

Diamati Lebih Dulu oleh Phytagoras

Pythagoras, dokter yang hidup pada abad ke-7 SM, membagi siklus hidup manusia dalam lima fase yakni 7, 21, 49, 63 dan 81. Dua fase terakhir disebutnya sebagai masa penurunan dan pembusukan tubuh manusia disertai kemunduran kapasitas mental. Ia menyebutnya "kemampuan ingatannya kembali seperti saat masih bayi."

Plato dan muridnya Aristoteles menulis dalam buku-buku mereka bahwa usia tua sukar dipisahkan dari menurunnya kemampuan fisik, mental dan ingatan. Sedangkan Aristoteles tidak pernah menulis bahwa fungsi mental dan ingatan manusia akan tetap bertahan hingga usia senja. Alhasil, Aristoteles berpotensi menganggap bahwa penurunnya kemampuan ingatan selalu beriringan dengan penuaan.

Proses pencarian penjelasan ilmiah penyakit ini sempat menghilang dari literatur Eropa abad ke-3 hingga ke-16. Ini tak lepas dari periode kemunduran ilmu pengetahun dan sains yang terjadi sepanjang masa tersebut. Tapi, hal sebaliknya justru terjadi di Timur Tengah.

Selangkah lebih maju dari para panutannya di masa Yunani Kuno, Ibnu Sina (Avicenna) tak cuma menjelaskan tentang kondisi "merosotnya kondisi ingatan dan mental di tahun-tahun terakhir jelang kematian seseorang." Ia menulis dalam bukunya yang termahsyur yakni Al-Qanun fi Al-Tibb (The Canon of Medicine) yang terbit pada 1025 bahwa bunga saffron (Crocus sativus) bisa digunakan untuk mengobati dan mengurangi efek kondisi tersebut.


Baca Juga :


Dari Istana Inggris ke RSJ di Prancis

Masuk abad ke-17, beberapa ilmuwan mulai secara rinci menulis secara rinci perilaku dan konsep kondisi ini. Selain itu, sebagai diseksi dari tubuh manusia menjadi ditoleransi, ada tren yang meningkat yakni usaha pencarian perubahan fisiologis yang mendasar di otak yang mungkin menjadi sumber gangguan jiwa.

Thomas Willis (1621–1675), seorang ahli anatomi asal Inggris dan dokter pribadi Raja Charles II, menawarkan klasifikasi yang tepat dari demensia di 1684 dalam sebuah bab dari Practice of Physick (1685). Willis mengidentifikasi, berdasarkan pengetahuan klinis dan anatomisnya, bahwa ada "kebodohan atau morosis yang menandakan cacat akal dan mental, tapi belum diperhitungkan secara benar apakah ini penyakit kepala atau otak."

Willis kemudian menjelaskan beberapa faktor risikonya. Mulai dari bawaan, usia, cedera kepala, penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan tertentu, penyakit yang berefek langsung ke otak, dan epilepsi berkepanjangan. Tapi, ahli anatomi lain saat itu masih berusaha menemukan korelasi yang tepat.

Jelang akhir abad ke-18, penelitian terhadap otak dan sistem saraf mulai rinci. Salah satu ahli patologi yang mencuat adalah William Cullen, seorang ilmuwan asal Skotlandia. Ia menawarkan penjelasan dari konsep patogenik bahwa titik asal semua penyakit adalah sistem saraf. 

Pada tahun 1776, dalam buku Institutions of Medicine. Part I. Physiology, ia mengklasifikasi ulang semua penyakit menjadi empat kelas di mana salah satunya berjudul Neuroses (penyakit saraf). Cullen menggolongkan demensia dalam neurosis, diakui pertama kalinya sebagai entitas di dunia medis, serta didefinisikan sebagai "penurunan persepsi dan ingatan di usia tua."

Masuk abad ke-19, penjelasan dari Willis dan Cullen menjadi pijakan berharga bagi para ilmuwan Eropa. Duo guru-murid ilmuwan Prancis Phillippe Pinel (1745–1826) dan Jean-Étienne Dominique Esquirol (1772-1840) yang membawa kondisi ini ke arah yang lebih klinis. Ini berasal dari pengalaman berurusan dengan para pasien penderitanya di rumah sakit jiwa.

Lebih jauh, Esquirol membuat perbaikan definisi demensia. Ia menarik haris batas perbedaan mendasar antara "demensia" dan "amensia" (keterbelakangan mental). Dalam tesisnya yang terbit pada 1805, Esquirol menulis bahwa demensia adalah "hilangnya kemampuan mental akibat penyakit." Saat itu, orang-orang menganggap dua kondisi tersebut adalah sama.

Hasil observasi Pinel dan Esquirol memberi dampak pada sosial. Mereka jadi lebih memahami perbedaan masalah mental dan penyakit ingatan, dan mengubah persepsi masyarakat secara luas. Barulah pada tahun 1901 muncul terobosan baru dari Alois Alzheimer, seorang psikiater asal Jerman yang saat itu bekerja di RSJ Frankfurt.

Alzheimer Mengamati Derita Nyonya Deter

Alzheimer meneliti kondisi yang dialami Auguste Deter, seorang pasien berusia 51 tahun yang memiliki gejala perilaku aneh, termasuk kehilangan ingatan jangka pendek. Selama beberapa tahun, Alzheimer kemudian mencatat seluruh wawancara dan observasinya pada Deter hingga sang pasien meninggal pada 8 April 1906.

Setelah mangkat, Alzheimer membawa seluruh catatan medis dan otak Deter ke Muenchen untuk diteliti dalam laboratorium milik Emil Kraepelin, psikiatris sekaligus atasannya. Selama otopsi, Alzheimer menemukan sejumlah kondisi patologis. Antara lain penyusutan korteks, adanya belitan-belitan neurofibriler dan plak neuritik. Plak dan belitan dianggap cukup khas untuk menjamin diagnosis demensia pikun, yang kemudian dikenal sebagai penyakit Alzheimer.

Selama lima tahun setelah temuan Alzheimer, sebelas kasus serupa dilaporkan dalam jurnal ilmiah, beberapa di antaranya bahkan sudah menggunakan istilah "Penyakit Alzheimer." Penyakit ini pertama kali dijelaskan sebagai penyakit oleh Kraepelin usai menelaah beberapa gejala klinis (delusi dan halusinasi) dan patologis (perubahan arteriosklerotik) yang terkandung dalam laporan medis Deter.

Kraepelin juga memasukkan penyakit Alzheimer, yang ia sebut sebagai "demensia prasenil", sebagai subtipe demensia pikun dalam edisi kedelapan Textbook of Psychiatry yang terbit pada 15 Juli 1910.

Kriteria Baru untuk Penyakit Alzheimer

Hingga awal dekade 1970-an, diagnosis penyakit Alzheimer digunakan pada individu dari rentang usia antara 45 dan 65 yang mengembangkan gejala demensia. Tapi terminologi ini berubah setelah 1977, ketika sebuah konferensi tentang penyakit Alzheimer menyimpulkan bahwa manifestasi klinis dan patologis dari demensia prasenil dan pikun hampir identik.

Ini membuat diagnosis penyakit Alzheimer kemudian tak lagi mengenal kriteria usia. Kemudian sebutan "pikun demensia tipe Alzheimer" (Senile Dementia Alzheimer Type, SDAT) digunakan untuk menggambarkan kondisi pada mereka yang berusia di atas 65 tahun, dengan penyakit Alzheimer klasik digunakan untuk menggambarkan mereka yang lebih muda.

Akhirnya, istilah penyakit Alzheimer secara resmi diadopsi dalam nomenklatur medis untuk menggambarkan individu dari segala usia dengan pola gejala umum yang khas, perjalanan penyakit, dan neuropatologi.

Kaskade Amiloid sebagai Petunjuk Penting

Pada tahun 1984, identifikasi protein beta-amiloid dalam pembuluh darah pasien Down Syndrom dan penyakit Alzheimer menunjukkan bahwa kromosom ke-21 mungkin memegang petunjuk untuk memahami patologi AD. Penemuan penting ini dilaporkan oleh George Glenner, peneliti dari University of California AS.

Hal ini terbukti benar ketika beta amiloid diidentifikasi pada tahun 1987 sebagai komponen penting dari plak penyebab senile dan dikaitkan dengan gen yang terletak pada kromosom 21. Segera setelah temuan Glemmer, laporan terperinci terkait penemuan mutasi pendorong produksi protein beta-amiloid berlebihan pada penderita penyakit Alzheimer muncul pada dekade 1990-an awal.

Ini juga menambahkan bukti pada apa yang menjadi hipotesis "amyloid cascade", yaitu teori bahwa patologi penyakit Alzheimer dihasilkan dari akumulasi plak amiloid di otak yang mengarah ke respons inflamasi dan penghancuran sel otak. Mutasi ini, masing-masing dengan caranya sendiri, meningkatkan kadar beta amiloid dan meningkatkan risiko mengembangkan penyakit Alzheimer klinis.

Protein Tau Si Biang Kerok

Meski banyak, tapi tidak semua dari upaya penelitian penyakit Alzheimer dalam beberapa tahun terakhir didorong oleh hipotesis kaskade amiloid. Akan tetapi, teori-teori yang saling bersaing atau saling melengkapi juga mendesak pertimbangan pentingnya kelainan protein tau, yang mengarah pada pembentukan belitan-belitan neurofibriler.

Protein tau membentuk bagian dari struktur yang disebut mikrotubulus, yang membantu mengangkut nutrisi dan zat penting lainnya dari satu bagian sel saraf ke bagian lain. Tapi, pada otak penderita penyakit Alzheimer, protein tau justru tidak normal sehingga struktur mikrotubulus kolaps.

Perubahan patologis pada protein tau, seperti yang ditunjukkan oleh pendukung teori tau yang dilaporkan oleh Magnus Sjogren pada 2001, punya hubungan paralel dengan perubahan klinis yang terjadi kemudian pada penderita penyakit Alzheimer.

Penulisan Ulang Definisinya dan Temuan Era Pandemi COVID-19

Temuan inovatif dalam deteksi dan pengobatan klinis penyakit Alzheimer dilaporkan pada tahun 2011. Berkat bukti penelitian selama puluhan tahun dengan metode biomarker dan neuroimaging, para ahli merekomendasikan agar ilmu pengetahuan mendefinisikan kembali penyakit Alzheimer.

Mereka menjelaskan bahwa Alzheimer tidak lagi harus dianggap hanya sebagai sindrom klinis demensia. Tapi juga harus dipahami sebagai proses patologis yang berkembang menjadi penyakit klinis selama beberapa dekade.

Sebelum penurunan kognitif terjadi pada seseorang, bibit penyakitnya harus terus aktif selama fase klinis awal tanpa gejala yang dapat bertahan selama bertahun-tahun. Selama periode tersebut, akumulasi amiloid dapat ditunjukkan dengan menggunakan teknik neuroimaging canggih atau pemeriksaan cairan serebrospinal.

Dalam penjelasan baru ini, gejala mulai muncul selama tahap pra-demensia ringan kedua yang disebut gangguan kognitif ringan atau gangguan neurokognitif ringan. Patologi disebut terus berkembang, dengan gejala klinis tetap terbatas. Kinerja tugas motorik yang lebih kompleks memang terpengaruh, tapi penderitanya masih beraktivitas secara notmal.

Hanya pada fase ketiga penyakit Alzheimer yakni fase demensia (sekarang disebut "gangguan neurokognitif utama", major neurocognitive disorder), terjadi perubahan karakteristik yang mengikis fungsi kognitif dan perilaku penderitanya.

Namun, apakah penelitian tentang Alzheimer berhenti di sini? Tentu saja belum. Perkembangan teknologi, sains dan situasi dunia terkini membuat ilmuwan kembali berpeluang melaporkan hal baru. Salah satunya dalam Journal of Alzheimer's Disease edisi 13 September 2022, di mana peneliti menemukan bahwa pandemik COVID-19 meningkatkan faktor risiko seseorang terkena Alzheimer.


Referensi :

  • Berchtold, N. C., & Cotman, C. W. (1998). Evolution in the conceptualization of dementia and alzheimer’s disease: Greco-roman period to the 1960s. Neurobiology of Aging, 19(3), 173–189.
  • Dos Santos-Neto, L. L., de Vilhena Toledo, M. A., Medeiros-Souza, P., & de Souza, G. A. (2006). The use of herbal medicine in Alzheimer's disease-a systematic review. Evidence-based complementary and alternative medicine : eCAM, 3(4), 441–445.
  • Maurer U., Maurer K. (2003). Alzheimer: The Life of a Physician and the Career of a Disease. New York: Columbia University Press. p. 270.
  • Berrios G.E. (1990). "Alzheimer's Disease: A Conceptual History". International Journal of Geriatric Psychiatry. 5 (6): 355–365.
  • Boller F., Forbes M.M. (June 1998). "History of dementia and dementia in history: an overview". Journal of the Neurological Sciences. 158 (2): 125–133.
  • McKhann G., Drachman D., Folstein M., Katzman R., Price D., Stadlan E.M. (July 1984). "Clinical diagnosis of Alzheimer's disease: report of the NINCDS-ADRDA Work Group under the auspices of Department of Health and Human Services Task Force on Alzheimer's Disease". Neurology. 34 (7): 939–944.
  • Dubois B., Feldman H.H., Jacova C., Dekosky S.T., Barberger-Gateau P., Cummings J., et al. (August 2007). "Research criteria for the diagnosis of Alzheimer's disease: revising the NINCDS-ADRDA criteria". The Lancet. Neurology. 6 (8): 734–746.
  • Wang, L., Davis, P. B., Volkow, N. D., Berger, N. A., Kaelber, D. C. & Xu, R. (2022). Association of covid-19 with new-onset alzheimer’s disease. Journal of Alzheimer's Disease, 89(2), 411–414.
  • Ricciarelli, Roberta, and Ernesto Fedele. “The Amyloid Cascade Hypothesis in Alzheimer's Disease: It's Time to Change Our Mind.” Current neuropharmacology vol. 15,6 (2017): 926-935.
  • Sjogren, M. (2001). Both total and phosphorylated tau are increased in alzheimer's disease. Journal of Neurology, Neurosurgery & Psychiatry, 70(5), 624–630.
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaSeberapa Penting Peran Advokasi Isu Sosial oleh Dokter di Era Modern?

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar