Ketimpangan Gender dalam Spesialisasi Kedokteran
Perhatian masyarakat pada isu akses perempuan pada pendidikan dan pekerjaan memang sejak lima dekade terakhir. Salah satu bidang yang merasakannya adalah dunia kedokteran. Beberapa hal bisa dicapai sejak 1970-an sehingga menghapus secara perlahan stereotipe bahwa dokter hanya pekerjaan milik kaum lelaki.
Contoh pencapaian tersebut adalah proporsi perempuan yang masuk dunia kedokteran meningkat lebih dari dua kali lipat sejak 1980-an. Selain itu, lebih banyak wanita yang terjun ke praktik pediatri dan ginekologi. Memang terdengar progresif, tapi ternyata masih banyak spesialisasi yang tak memiliki banyak dokter perempuan.
Bias gender ternyata masih kental untuk pendidikan spesialisasi kedokteran. Dalam wawancara dengan Magdalene.co pada Juni 2021 lalu, Putri Widi Saraswati (peneliti dan dokter umum yang sedang kuliah magister di Belanda) menyebut ada bidang-bidang tertentu yang terbagi berdasarkan gender.
Dalam pengamatannya selama beberapa tahun terakhir, spesiaslisasi obgyn, bedah dan ortopedi masih didominasi laki-laki. Putri menyebut bahwa memang sudah ada perempuan di spesialisasi tersebut, tapi proporsinya belum seimbang.
Apa yang dikatakan Putri ternyata tak cuma terjadi di Indonesia, melainkan jadi masalah berskala global. Situs kedokteran Amino.com pada tahun 2016 lalu menyusun statistik berdasarkan profil lebih dari 900 ribu dokter yang mereka miliki. Hasilnya cuma ada empat bidang spesialisasi dengan kisaran jumlah perempuan mencapai 45-56 persen yakni pediatri, ginekologi, dermatologi dan endokrinologi.
Sedang pada 21 spesialisasi lainnya, keberadaan perawat hanya 41 persen ke bawah. Yang paling sedikit adalah bedah ortopedi, cuma 7 persen.
(Gambar : Data survey Amino.com tentang persentase perempuan di 25 spesialisasi kedokteran.)
Baca Juga :
- Eradikasi dan Vaksin Polio di Indonesia
- Langkah-Langkah yang Ditempuh Jika Melakukan Medical Error
- Mengurai Bias Gender dalam Kedokteran
Kenapa bisa seperti ini? American Pediatric Society menyebut bahwa ini terjadi karena saat perempuan pertama kali masuk ke bidang kedokteran pada akhir abad ke-19, mereka hanya berfokus pada bidang pediatri karena lebih bisa diterima oleh nilai masyarakat yang ada saat itu.
Alhasil, sejarah mencatat bahwa banyak generasi awal dokter-dokter perempuan di AS berfokus pada perawatan anak dan kesehatan wanita. Contohnya Elizabeth Blackwell (1821-1910), perempuan pertama yang mendapat gelar pendidikan kedokteran.
Perempuan memang dominan di spesialisasi pediatri. Lantas bagaimana dengan bidang lain di mana kehadiran mereka sangat sedikit seperti bedah ortopedi? Ian Mwangi, berbicara pada Mayo Clinic di tahun 2016 silam, menyebut ini terjadi lantaran banyak perempuan menganggapnya spesialisasi bedah ortopedi sebagai "klub anak laki-laki" sejak masih kuliah. Dan stereotipe tersebut bertahan hingga kini.
Selain itu, Ian juga menjelaskan bahwa menjadi ahli bedah ortopedi berarti butuh ketahanan fisik seperti atlit karena harus jalani operasi selama berjam-jam. Berkembang pula persepsi buruknya work-and-life balance para ahli bedah ortopedi, hingga kurangnya usaha untuk membuat citra spesialisasi itu ramah perempuan sejak mereka masih kuliah.
Bernasib sama dengan ahli bedah pediatri, data Animo.com menyebut cuma ada 9 persen perempuan yang bekerja di spesialisasi urologi. Dr. Leslie Rickey, kepada National Public Radio pada 2015, menyebut ini terjadi akibat salah kaprah bahwa bidang ini selalu menangani masalah bagian privat laki-laki. Mulai dari kanker prostat hingga disfungsi ereksi.
Perbedaan cara pandang laki-laki dan perempuan atas kariernya juga jadi salah satu faktor penentu jumlah partisipasi di spesialisasi tertentu. Dan ini sudah terjadi sejak mereka masih menimba ilmu di tingkat universitas. Hal tersebut tak cuma terjadi di Amerika Serikat saja.
Pada Maret 2021, Kanhua Yun beserta kolega menerbitkan hasil penelitian berjudul Gender Differences and Influencing Factors in Specialty Choices: Findings From One Medical School in China di jurnal Frontiers Public Health.
Bertindak sebagai partisipasi adalah 648 mahasiswa-mahasiswi dengan usia rata-rata 23,9 tahun (283 laki-laki dan 365 perempuan) dari enam kelas pendidikan dokter di Fudan University, Cina. Pertanyaan yang diajukan sangat sederhana: apa spesialisasi yang dipilih dan alasannya.
Hasilnya? Sebanyak 88 persen persen mahasiswa laki-laki memfokuskan pilihan mereka hanya pada tiga spesialisasi yakni bedah (63,6%), penyakit dalam (12,3%), dan ortopedi (33, 11,7%). Sebaliknya, pilihan spesialisasi mahasiswi lebih beragam. Yang paling dipilih adalah penyakit dalam (35%), bedah ortopedi (14%), oftalmologi (9%), dan obgyn (9%).
Kanhua Yun dkk juga menulis bahwa ada empat faktor teratas yang menjadi alasan para mahasiswa memilih spesialisasi tersebut. Yakni minat pribadi, prospek dapat pekerjaan di masa depan, dan peluang di bidang akademik, serta gaji tinggi.
Sedangkan bagi para mahasiswi, terdapat lima alasan utamanya yaitu minat pribadi, pengetahuan dan keterampilan khusus, pencapaian, nilai prestise/reputasi hingga life-and-work balance.
Memang hasil penelitian Kanhua Yun dkk sedikit berbeda dengan laporan Amino.com. Tapi tetap ada persamaan yaitu keresahan akan sulit menyeimbangkan karier dan kehidupan pribadi.
Ini tak cuma menjadi momok bagi mahasiswi kedokteran di Cina, tapi juga oleh para perempuan yang berkarier spesialisasi kardiologi di Amerika Serikat. Ini dijelaskan secara gamblang dalam sebuah artikel terbitan jurnal American College of Cardiology edisi Maret 2015.
Masih ada faktor lain. Minimnya kehadiran perempuan pada sejumlah spesialisasi kedokterann tak lepas dari kurangnya panutan atau figur pemimpin di organisasi profesi dan spesialis. Laporan lawas Doximity dari tahun 2011 menyebutkan bahwa jumlah perempuan di tampuk kepemimpinan seluruh organisasi profesi/spesialis di AS hanya 22 persen.
Sudah lebih dari satu dekade berlalu sejak Doximity menerbitkan laporan tersebut. Tapi agaknya, memperbanyak perempuan di tampuk kepemimpinan (based on merit dan bukan alokasi khusus) belum banyak berubah. Ini adalah fenomena yang terjadi di negara maju dan negara berkembang.
Kini, yang diperlukan adalah kesadaran banyak pihak untuk memutus stereotipe yang selama ini melekat ke spesialisasi tertentu. Termasuk di dalamnya meluruskan salah kaprah, mengikis kekhawatiran dengan banyak peraturan pro-dokter, dan lebih menggaungkan keistimewaan pendidikan spesialisasi yang butuh lebih banyak perempuan pada mahasiswi.
Referensi :
- Yin, K., Yang, L., Zhang, R., Zheng, D., Wilkes, M. S., & Lai, Y. (2021). Gender differences and influencing factors in specialty choices: Findings from One Medical School in China. Frontiers in Public Health, 9.
- Oza, N. M., & Breathett, K. (2015). Women in cardiology. Journal of the American College of Cardiology, 65(9), 951–954.
- Spector, N. D., Asante, P. A., Marcelin, J. R., Poorman, J. A., Larson, A. R., Salles, A., Oxentenko, A. S., & Silver, J. K. (2019). Women in pediatrics: Progress, barriers, and opportunities for equity, diversity, and inclusion. Pediatrics, 144(5).
- Mayo Foundation for Medical Education and Research. (n.d.). Pigs' feet and power tools help open door to careers in Orthopedics, engineering " in the loop. Mayo Clinic. Retrieved December 5, 2022, from https://intheloop.mayoclinic.org/2016/01/28/pigs-feet-and-power-tools-help-open-door-to-careers-in-orthopedics-engineering/
- Hail to the chief: A demographic look at physician leaders. Doximity Insider. (n.d.). Retrieved December 5, 2022, from https://blog.doximity.com/articles/hail-to-the-chief-a-demographic-look-at-physician-leaders
- Rutsch, P. (2015, April 29). Why the urologist is usually a man, but maybe not for long. NPR. Retrieved December 5, 2022, from https://www.npr.org/sections/health-shots/2015/04/29/402850925/why-the-urologist-is-usually-a-man-but-maybe-not-for-long
- Kirnandita, P. (2021, June 23). Bias gender Dan objektivitas Yang Sering terjadi di Dunia kesehatan. Magdalene. Retrieved December 5, 2022, from https://womenlead.magdalene.co/2021/06/17/bias-gender-dunia-kesehatan/
Log in untuk komentar