Manfaatkan Teknologi dan AI, Peneliti Berikan Suara Lagi ke Penderita Locked-In Syndrome
Sindrom tubuh terkunci (Locked-In Syndrome) adalah kondisi neurologis yang sangat langka di mana seseorang mengalami kelumpuhan total di hampir seluruh tubuhnya, termasuk otot-otot wajah, tangan, dan kaki, tetapi mempertahankan kesadaran sepenuhnya dan kemampuan kognitif yang normal.
Orang yang mengalami sindrom terkunci dapat memahami percakapan dan lingkungan sekitarnya, tetapi tidak dapat berkomunikasi atau bergerak secara fisik, kecuali dengan gerakan mata atau berkedip.
Sindrom tubuh terkunci sendiri adalah kondisi medis yang relatif jarang terjadi. Jumlah penderitanya bahkan kurang dari 1.000 orang di Amerika Serikat. Penyebab umumnya disebabkan oleh kerusakan pada bagian batang otak yang dikenal sebagai pons.
Kerusakan ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk stroke, peradangan saraf, tumor otak, infeksi, atau kondisi neurologis lainnya seperti ALS (Amyotrophic lateral sclerosis).
Implan eksternal yang digunakan oleh tim peneliti University of California, San Fransisco, Amerika Serikat, dalam memberi perangkat komunikasi pada penderita sindrom tubuh terkunci. (Dok. University of California San Fransisco/Noah Berger)
Walaupun penderita sindrom terkunci kehilangan kemampuan untuk mengendalikan gerakan otot sadar, mereka tetap memiliki kemampuan kognitif yang utuh, memungkinkan mereka untuk berpikir normal dan memahami komunikasi yang diarahkan kepada mereka. Namun, kelainan ini bisa mempengaruhi fungsi pernapasan dan kemampuan menelan makanan.
Komunikasi menjadi tantangan utama bagi individu dengan sindrom tubuh terkunci. Beberapa metode yang digunakan untuk berkomunikasi meliputi gerakan mata, berkedip, atau menggunakan teknologi bantu seperti antarmuka (interface) otak-komputer, perangkat sensor kepala agar gerakannya bisa menjadi mouse pointer dalam memilih kata, atau sensor pergerakan mata yang disesuaikan dengan fitur inframerah.
Upaya Teknologi Menjadi Bantuan penderita Locked-In Syndrome
Sejauh ini, memang belum ada pengobatan spesifik yang tersedia untuk mengatasi sindrom ini. Pengobatan biasanya ditujukan untuk mengatasi penyebab mendasari kondisi ini, sering melibatkan terapi fisik dan terapi bicara.
Namun, tim peneliti dari University of California San Fransisco baru saja merintis cara agar penderita sindrom tubuh terkunci tetap berkomunikasi lengkap dengan ekspresi wajahnya. Caranya sendiri memadukan implan otak dan avatar digital yang digarap Artificial Intelligence. Hasil penelitiannya sendiri sudah dipublikasikan dalam jurnal Nature pada 23 Agustus 2023 lalu.
Sebagai inovasi lebih lanjut dalam bidang teknologi komputer dan AI, penelitian baru mengungkapkan potensi implan otak dan avatar digital sebagai solusi komunikasi baru bagi penderita sindrom terkunci. Teknologi ini memungkinkan ekspresi wajah dan emosi normal melalui avatar digital, dengan bantuan implan otak. Salah satu contoh penelitian ini melibatkan seorang wanita bernama Ann, yang mengalami sindrom tubuh terkunci akibat stroke batang otak sejak tahun 2005.
Animasi penanaman implan yang digunakan oleh tim peneliti University of California, San Fransisco, Amerika Serikat, dalam memberi perangkat komunikasi pada penderita sindrom tubuh terkunci. (Dok. University of California San Fransisco/Ken Probst)
Implan otak ini merekam aktivitas saraf saat penderita mencoba berbicara, menerjemahkan sinyal tersebut menjadi kata-kata yang diinginkan, mengabaikan kelumpuhannya. Teknologi ini memiliki potensi untuk memberikan sarana komunikasi baru dan meningkatkan kualitas hidup bagi penderita sindrom tubuh terkunci.
Dr. David Moses, asisten profesor bedah saraf University of California San Francisco dan salah satu penulis utama penelitian ini, berbicara kepada Medical News Today pada 30 Agustus 2023 untuk membahas tentang cara kerja metide yang mereka lakukan.
Ia menjelaskan bahwa ketika manusia berbicara, pola kompleks aktivitas saraf di korteks motorik bicara (bagian otak yang mengoordinasikan saluran vokal kita) disebarkan melalui jalur saraf yang melalui batang otak. Sinyal tersebut kemudian berakhir ke sistem artikulator seperti ke bibir, lidah, laring, dan rahang.
Ann sendiri menderita stroke batang otak, di mana jalur sarafnya rusak sehingga sinyal dari korteks motorik bicara tidak sampai ke sistem artikulator. Implan elektronik yang ditanam di kepala Ann sendiri berfungsi merekam aktivitas saraf dari korteks saat Ann mencoba berbicara, Alat tersebut langsung menerjemahkannya ke dalam kata-kata yang diinginkan Ann, "mengalahkan" kelumpuhan yang sudah dideritanya.
Dr. Moses dan timnya sendiri harus terlebih dahulu membuat perangkat AI yang dilatih pada data saraf saat Ann mencoba mengucapkan banyak kalimat secara diam-diam. Ann sendiri tidak benar-benar bersuara saat mencoba mengucapkannya. Perempuan tersebut mencoba yang terbaik dalam "mengucapkan" kata-kata dalam kalimat.
Perangkat AI yang dipakai kemudian mengurai proses pemetaan antara aktivitas otak dan ucapan yang diinginkan. Setelah proses pemetaan oleh AI rampung, tim peneliti kemudian dapat menggunakan model ini secara real-time dalam menerjemahkan aktivitas otak Ann menjadi ucapan.
Ann, penderita sindrom tubuh terkunci, sedang menggunakan perangkat komunikasi yang diberikan oleh tim peneliti University of California, San Fransisco, Amerika Serikat. (Dok. University of California San Fransisco/Noah Berger)
Agar komunikasi Ann semakin mudah dan luwes, Dr. Moses menyebut bahwa perangkat yang dipakai menggunakan sistem "representasi ucapan menengah yang fleksibel." Ini memungkinkan dekoder mengeluarkan kalimat belum pernah dilatih oleh Ann selama beberapa tahun usai terkena stroke batang otak.
Baca Juga :
- Transplantasi Ginjal Babi ke Manusia Sukses Dilaksanakan, akan Jadi Terobosan Terbaru?
- AI dalam Onkologi, Sudah Sejauh Mana?
Cara Tim Peneliti "Memberi" Suara pada Ann
Lantas bagaimana cara Dr. Moses beserta kolega "memberi" suara lagi kepada Ann? Pertama-tama, mendapat implan perangkat dengan 253 elektroda yang ditempatkan pada area otak yang penting untuk berbicara. Sebuah kabel menghubungkan implan tersebut dengan komputer khusus yang sudah disiapkan timnya.
Selama berminggu-minggu, Ann kemudian bekerja dengan para peneliti untuk melatih algoritma AI dalam mengenali dan merespons sinyal unik otaknya untuk berbicara. Di saat bersamaa, tim peneliti juga membuat avatar digital Ann lewat perangkat lunak, lengkap dengan simulasi animasi gerakan otot wajah ketika berekspresi dan mengucapkan kata.
Setelah algoritma AI dirasa sudah dirasa mampu melakukan tugasnya, tim kemudian menyatukan perangkat lunak buatan mereka dengan sinyal yang berasal dari otak Ann. Sinyal tersebut, setelah melalui proses pembacaan oleh software, kemudian diubah menjadi animasi Ann yang sedang berbicara dengan kata-kata pilihannya. Singkatnya, Ann kembali berkomunikasi dengan perantara teknologi.
Bagaimana dengan suara Ann? Ilmuwan menciptakannya berbekal arsip puluhan video yang diambil sebelum Ann mengalami stroke batang otak. Ini membuat ketika ia berbicara melalui avatar digital, yang terdengar adalah suaranya dan bukan suara bawaan dari perangkat.
Apa Langkah Selanjutnya dan Tantangan yang Bisa Lahir?
Lantas seperti apa langkah yang akan dilakukan selanjutnya? Dr. Moses menyebut timnya masih memiliki segudang evaluasi. Mulai dari meningkatkan kemampuan perangkat, hingga mencari tahu potensi membuatnya dalam versi nirkabel-portabel yang tetap terhubung pada implan.
Selain itu, mereka juga mencari tahu kemungkinan agar sistem tersebut bisa digunakan oleh Ann untuk menulis email dan menjelajahi internet. Kemajuan dalam AI modeling sendiri juga dipastikan akan meningkatkan output sinyal dari otak Ann, sehingga ia bisa semakin luwes dalam memilih kata dan waktu pemrosesan.
Tim peneliti University of California, San Fransisco, Amerika Serikat, sedang mengamati aktivitas otak Ann yang menjadi partisipan penelitian. (Dok. University of California San Fransisco/Noah Berger)
Di sisi lain, muncul pula kekhawatiran lain. Dilansir oleh laman Science.org pada 1 Mei 2023 lalu, Alexander Huth selaku ahli komputasi saraf di University of Texas, Austin, mengaku sedikit was-was dengan kemungkinan teknologi ini akan meniru beberapa jenis pembacaan pikiran. Meski implan dan decoder hanya bisa digunakan oleh satu orang, Huth mengaku peneliti perlu mempertimbangkan potensi buruknya.
Lebih jauh, Nita Farahany yang merupakan ahli bioetika di Duke University menyebut para peneliti harus mengkaji implikasi penelitian mereka kepada privasi penggunanya. Ini demi mengembangkan perlindungan terhadap penyalahgunaan sejak dini. Farahany menggarisbawahi bahwa perubahan besar dari penelitian ini juga disertai dengan dampak yang tak kalah besarnya.
Referensi :
Metzger, S. L., Littlejohn, K. T., Silva, A. B., Moses, D. A., Seaton, M. P., Wang, R., Dougherty, M. E., Liu, J. R., Wu, P., Berger, M. A., Zhuravleva, I., Tu-Chan, A., Ganguly, K., Anumanchipalli, G. K., & Chang, E. F. (2023). A high-performance neuroprosthesis for speech decoding and avatar control. Nature, 620(7976), 1037–1046. https://doi.org/10.1038/s41586-023-06443-4
Pelc, C. (n.d.). Locked-in syndrome: Woman regains “speech” thanks to ai. Medical News Today. https://www.medicalnewstoday.com/articles/ai-tech-gives-back-voice-to-woman-with-post-stroke-locked-in-syndrome
Marks, R., & Kurtzman, L. (2023, August 29). How artificial intelligence gave a paralyzed woman her voice back. UC San Francisco. https://www.ucsf.edu/news/2023/08/425986/how-artificial-intelligence-gave-paralyzed-woman-her-voice-back
Lloreda, C. L. (n.d.). Scientists use AI to decipher words and sentences from brain scans - AAAS. Science.org. https://www.science.org/content/article/scientists-use-ai-decipher-words-and-sentences-brain-scans
Log in untuk komentar