sejawat indonesia

Ketika Pasien Meminta Perawatan yang Sia-Sia, Apa yang Harus Dilakukan?

Konsep kesia-siaan medis (Medical Futility) mungkin sudah setua ilmu kedokteran itu sendiri. Plato menulis:


Bagi orang-orang yang hidupnya selalu berada dalam kondisi penyakit batin, Asclepius tidak berusaha untuk meresepkan suatu rezim untuk membuat hidup mereka menjadi kesengsaraan yang berkepanjangan… kehidupan yang disibukkan dengan penyakit dan mengabaikan pekerjaan tidaklah layak untuk dijalani. (Schneiderman, 2011)


Meskipun konsep ini telah dikenal sejak lama, dan banyak penulis yang mencoba mendefinisikannya, namun masih belum ada konsensus mengenai definisi pasti tentang pengobatan yang sia-sia, karena terbukti sulit untuk menentukan kriteria spesifik yang dapat digunakan, misalnya, untuk penghentian pengobatan secara sepihak. Sebaliknya, pendapat dokter ICU yang berpengalaman terbukti dapat memprediksi kelangsungan hidup pasien secara lebih akurat dibandingkan kebanyakan sistem penilaian prognostik berbasis komputer. Namun, tidak selalu mudah atau memungkinkan bagi dokter untuk melihat bahwa pengobatan tertentu adalah sesuatu yang sia-sia. Misalnya, dokter yang bekerja di unit gawat darurat seringkali memulai pengobatan yang nantinya dianggap sia-sia.


Zona Abu-abu

Ada kesepakatan umum bahwa pengobatan akan sia-sia jika tujuannya tidak tercapai. Menetapkan tujuan pengobatan terkadang menjadi tantangan. Konsep otonomi pasien berarti pasien terlibat langsung dalam pengambilan keputusan mengenai pengobatannya. Hal tersebut tidak berarti bahwa mereka dapat memaksakan diri dan menerima pengobatan apa pun yang mereka inginkan, namun mereka hanya dapat memilih di antara pilihan-pilihan yang menurut dokter mungkin bermanfaat bagi kondisi pasien. 


Selain itu, pasien juga mempunyai hak untuk menolak pilihan tersebut. Pasien dan keluarga mereka seringkali memiliki ekspektasi yang tidak realistis dan mungkin bersikeras untuk menjalani berbagai perawatan dan prosedur invasif meskipun tindakan tersebut tidak akan mempengaruhi hasil akhir. Di sisi lain, dokter terkadang merasa berkewajiban untuk menggunakan intervensi teknologi yang berbeda bukan karena mereka merasa pasien akan mendapat manfaat dari intervensi tersebut, namun hanya karena intervensi tersebut tersedia bagi mereka. Belum lagi kenyataan bahwa selalu penting untuk tidak mengabaikan keyakinan agama dan moral pribadi banyak dokter yang bertentangan dengan kode profesi organisasi medis tempat mereka berada.


Sehingga, tujuan pengobatan harus ditetapkan berdasarkan konsensus antara dokter dan pasien atau keluarga mereka bila memungkinkan. Meskipun, hal ini mungkin terdengar sederhana, terkadang menentukan tujuan pengobatan bisa menjadi peroalan yang rumit.


Jenis-jenis Futility:  

Quantitative Futility mengacu pada intervensi yang memiliki peluang kecil untuk memberikan manfaat bagi pasien; angka yang paling sering digunakan memiliki peluang sukses kurang dari 1%.  


Qualitative Futility menggambarkan situasi klinis di mana kualitas manfaat suatu intervensi dirasakan sangat buruk. Salah satu contohnya adalah memperpanjang hidup melalui penggunaan sirkuit oksigenasi membran ekstrakorporeal yang sangat bergantung pada pasien yang sakit parah dan oleh karena itu kemungkinan besar tidak akan pernah meninggalkan ICU.   


Physiologic futility mungkin merupakan jenis kesia-siaan yang paling jelas dan paling tidak kontroversial. Ini menggambarkan intervensi klinis yang tidak memiliki alasan fisiologis (yaitu, penggunaan antibiotik untuk infeksi virus).


Proses pengambilan keputusan

Ketika tujuan ditetapkan berdasarkan konsensus dengan pasien atau wali sahnya, akan lebih mudah untuk mengambil keputusan: tidak memulai pengobatan tertentu atau menghentikan pengobatan yang terbukti sia-sia dan memulai dengan tindakan lain yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas hidup pasien. 


Dalam kasus di mana tim perawatan dan pasien atau wali sah pasien tidak dapat mencapai konsensus, pengambilan keputusan menjadi rumit; terlebih lagi jika pasien tidak sadarkan diri dan tidak dapat mengambil keputusan sendiri. 


Bukan hal yang aneh jika pasien atau wali sahnya tidak setuju dengan tindakan yang diusulkan oleh tim perawatan medis. Dalam kasus di mana tidak ada kepastian apakah pasien akan mendapat manfaat dari pengobatan, atau dalam kasus di mana pasien (atau di mana mereka kehilangan kapasitas, keluarga, atau wali sahnya) sangat menentang penghentian pengobatan lebih lanjut yang menurut dokter sia-sia, ada saatnya uji coba terbatas dapat membantu.


Misalnya, untuk pasien yang tidak sadarkan diri setelah resusitasi jantung paru, masa perawatan intensif dan perawatan pendukung kehidupan dapat dilakukan. Tujuan dari prosedur tersebut adalah untuk memberikan keluarga lebih banyak waktu untuk menerima kenyataan bahwa pasien akan meninggal dan memungkinkan mereka untuk menerima kenyataan tersebut. Namun, dalam situasi ini dokter dapat menghadapi dirinya sendiri berhadapan dengan prinsip-prinsip etika yang bertentangan. Salah satu prinsip etika dasar dalam kedokteran adalah jangan membahayakan. 


Di sisi lain, melanjutkan pengobatan lebih lanjut akan meningkatkan biaya perawatan mengingat keterbatasan sumber daya. Situasi ini dapat menjadi lebih rumit dengan adanya potensi kerugian bagi keluarga sehubungan dengan biaya perawatan. Selain itu, jika tidak ada kepastian bahwa tindakan pengobatan akan meningkatkan kesehatan pasien, kita dapat memulai dengan pengobatan dan kemudian, setelah beberapa waktu, mengevaluasi hasilnya. Agar uji coba terbatas waktu menjadi efektif, harus ada kontrak tertulis antara dokter dan pasien atau wali sahnya. 


Dalam kontrak tersebut, tujuan pengobatan yang jelas harus ditentukan dan jika tujuan tersebut tercapai, pengobatan akan dilanjutkan. Jika tujuan tersebut tidak tercapai, dokter tidak wajib memberikan pengobatan lebih lanjut dan dapat menghentikan tindakan bantuan hidup atau memindahkan pasien ke institusi lain jika keluarga atau wali yang sah mendesaknya. Kontrak juga harus menentukan jangka waktu setelah efek pengobatan akan dievaluasi, yang dapat berkisar dari beberapa hari hingga beberapa minggu. Pendekatan seperti ini seringkali membantu keluarga untuk menerima kenyataan bahwa pengobatan lebih lanjut adalah sia-sia dan juga membantu tim perawatan karena mereka merasa telah melakukan apa yang mereka bisa. 


Patut diingat bahwa sebagian besar persoalan yang hadir dalam Medical Futility adalah persoalan komunikasi antara dokter dan pihak pasien. Sehingga, kemampuan inilah yang pertama-tama harus dilakukan oleh seorang dokter setelah menentukan untuk menghentikan pengobatan.

Apa yang harus dilakukan dokter ketika pihak pasien bersikeras untuk tetap diberikan perawatan meskipun itu sia-sia?

Secara etis dan hukum, dokter tidak berkewajiban untuk menawarkan perawatan yang sia-sia atau tidak bermanfaat kepada pasien. Prinsip-prinsip etika memberikan pedoman yang berguna bagi praktisi dan pengadilan, namun pengadilan dapat memutuskan untuk tidak mengikutinya.

Ketika dokter akhirnya menerima permintaan perawatan medis agresif yang sia-sia dari pasien yang mampu membayarnya atau melalui walinya, mereka harus mempertimbangkan hal-hal berikut:

  • Tentukan apakah perawatan yang diminta itu sia-sia atau tidak dan konfirmasikan hal ini dengan meminta pendapat lain dari dokter spesialis di bidangnya.
  • Menggunakan prinsip etika otonomi pasien dalam mempertimbangkan permintaan perawatan tersebut oleh pasien atau walinya; kemudian gunakan prinsip lain yang berkaitan untuk mengambil keputusan.
  • Menggunakan prinsip etika beneficence dan nonmaleficence untuk memutuskan apakah tindakan tersebut akan menguntungkan atau merugikan mereka. Seimbangkan manfaat dengan beban melanjutkan pengobatan, termasuk apakah pengobatan tersebut dapat menimbulkan efek plasebo.
  • Setelah memutuskan bahwa pengobatan tersebut sia-sia, dan secara etis dibenarkan untuk menghentikannya, jelaskan alasan keputusan tersebut kepada pasien atau walinya.
  • Pastikan bahwa jika pengobatan dihentikan, pasien diberikan perawatan paliatif.
  • Memberikan kesempatan kepada pasien atau walinya untuk memindahkan pasien ke perawatan praktisi atau fasilitas lain yang dapat membantu. 

BACA JUGA:



Rekomendasi tentang Futile Care di Indonesia

Futile Care di Indonesia diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2014. Beberapa poin dalam peraturan tersebut adalah sebagai berikut:


  • Kebijakan mengenai kriteria keadaan pasien yang terminal state dan tindakan kedokteran yang sudah sia-sia (futile) ditetapkan oleh Direktur atau Kepala Rumah Sakit. 

  • Keputusan untuk menghentikan atau menunda terapi bantuan hidup tindakan kedokteran terhadap pasien dilakukan oleh tim dokter yang menangani pasien setelah berkonsultasi dengan tim dokter yang ditunjuk oleh Komite Medik atau Komite Etik.

  • Rencana tindakan penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup harus diinformasikan dan memperoleh persetujuan dari keluarga pasien atau yang mewakili pasien. 

  • Keluarga pasien dapat meminta dokter untuk melakukan penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup atau meminta menilai keadaan pasien untuk penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup.

  • Dalam hal terjadi ketidaksesuaian antara permintaan keluarga dan rekomendasi tim yang ditunjuk oleh komite medik atau komite etik, di mana keluarga tetap meminta penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup, tanggung jawab hukum ada di pihak keluarga. 


Kesia-siaan adalah konsep subjektif sehingga keterlibatan pasien dan keluarga mengenai nilai-nilai dan tujuan pengobatan mereka sangatlah penting. Seperti yang diidentifikasi oleh banyak dokter dalam berbagai penelitian, komunikasi adalah kuncinya. Dan tentu saja, dokter perlu didukung secara institusional untuk melakukan hal ini. Meluangkan waktu untuk berdiskusi perlu dianggap sebagai bagian dari pekerjaan sehari-hari mereka, aktivitas yang sama pentingnya dengan mengurangi daftar tunggu operasi atau efisiensi di unit gawat darurat.



Referensi:

  • Lo JJ, Graves N, Chee JH, Hildon ZJ. A systematic review defining non-beneficial and inappropriate end-of-life treatment in patients with non-cancer diagnoses: theoretical development for multi-stakeholder intervention design in acute care settings. BMC Palliat Care. 2022 Nov 9
  • Aghabarary M, Dehghan Nayeri N. Medical futility and its challenges: a review study. J Med Ethics Hist Med. 2016 Oct 20
  • McQuoid-Mason, D J. (2017). Should doctors provide futile medical treatment if patients or their proxies are prepared to pay for it?. SAMJ: South African Medical Journal, 107(2), 108-109.
  • Šarić, L., Prkić, I. & Jukić, M. Futile Treatment—A Review. Bioethical Inquiry 14, 329–337 (2017).
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaMungkinkah Kita telah Keliru Memahami Alzheimer?

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar